Evelyn Bertemu Dokter Devan

1113 Words
"Eh, kok semua diam?" tanyanya sambil tersenyum. "Ngobrolin apa, nih?" “Hanya bertanya kabar El saja, ibu juga kan sudah lama ga ketemu El,” jawab Ratna dengan wajah tersenyum. Evelyn lalu berkata, “kamu harus datang ke pernikahanku. Kalau perlu kamu menginap ya,” pinta Evelyn. Elmira pun berkata, “untuk datang aku bisa usahakan Eve. Tapi untuk menginap kayanya ga bisa.” Evelyn pun memanyunkan bibirnya. Di sisi lain Elmira menatap Evelyn dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, sahabatnya ini masih terjebak dalam ilusi kebahagiaannya sendiri. Setelah berbincang cukup lama, Elmira akhirnya bersiap untuk pamit. Ia menatap Evelyn dengan senyum lembut, meskipun hatinya masih berat memikirkan keadaan sahabatnya itu. "Evelyn, aku pulang dulu, ya. Nanti kita ketemu lagi," ujar Elmira sambil meraih tasnya. Evelyn mengerutkan kening. "Cepat banget, El? Ngobrol lagi, dong. Mumpung belum ada tamu." Elmira tersenyum kecil. "Aku ada janji, lain kali aku ke sini lagi, ya." Saat ia hendak melangkah keluar, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah novel dengan sampul yang sedikit usang. "Oh iya, aku hampir lupa," katanya, menyerahkan novel itu pada Evelyn. "Ini novelmu yang dulu aku pinjam. Maaf baru sempat ku kembalikan." Evelyn menerima novel itu dengan senyum lebar. "Oh, ini! Aku sampai lupa kalau kamu yang pinjam. Aku kira hilang." Elmira mengangguk. "Aku jaga baik-baik, kok." Fandi dan Ratna hanya memperhatikan keduanya dengan penuh perasaan. Mereka senang melihat Evelyn masih bisa tersenyum meski kondisinya belum sepenuhnya stabil. "Baiklah, aku pergi dulu ya, Tante, Om," kata Elmira sambil menyalami Fandi dan Ratna dengan sopan. "Terima kasih sudah mampir, Nak," ujar Ratna dengan hangat. Elmira menatap Evelyn sekali lagi. "Jaga diri baik-baik, ya." Evelyn tertawa kecil. "Kamu kayak mau pergi jauh aja." Elmira hanya tersenyum, lalu melangkah keluar rumah dengan hati yang berat. Dalam pikirannya, ia tahu bahwa Evelyn masih belum menyadari kenyataan yang sebenarnya. Tapi ia berharap, cepat atau lambat, sahabatnya itu bisa bangkit kembali. Ratna baru saja masuk ke kamarnya setelah mengantar Elmira ke pintu. Ia duduk di tepi ranjang, merasa lelah dengan segala yang terjadi dalam beberapa hari terakhir. Baru saja ia hendak merebahkan diri, ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Saat membuka ponselnya, ia melihat pesan dari Elmira. (Elmira: Tante, maaf kalau aku lancang, tapi aku benar-benar khawatir sama Evelyn.) Ratna menghela napas pelan. Ia pun membalas, (Ratna: Tidak apa, Nak. Tante juga khawatir. Kami bingung harus bagaimana.) Tak butuh waktu lama, Elmira kembali membalas. Elmira: Tante, kebetulan kakakku seorang psikiater. Kalau Tante berkenan, aku bisa coba bicara dengannya. Mungkin dia bisa membantu Evelyn. Ratna langsung membalas lagi. (Ratna: Terima kasih El, tapi kebetulan om dan tante sudah konsul dengan psikiater tadi pagi dan Evelyn mungkin akan bertemu dengan psikiaternya besok.) Tak berselang lama kemudian. Elmira membalas. (Elmira: Oh baik Tante. Aku senang mendengarnya. Semoga Eve segera membaik.) Malam harinya, meja makan telah tertata rapi dengan hidangan sederhana. Ratna dan Fandi duduk berseberangan, sementara Evelyn di tengah-tengah mereka. Suasana makan malam terasa hening, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang menyentuh piring. Evelyn sesekali melirik ke arah pintu rumah, lalu kembali menatap ibunya dengan dahi sedikit berkerut. "Bu, kenapa ya belum ada tamu yang datang? Bukannya biasanya saudara-saudara sudah mulai berdatangan kalau acara pernikahan tinggal hitungan hari?" tanyanya polos. Ratna dan Fandi saling pandang sekilas. Ratna berusaha tersenyum, lalu menjawab dengan nada lembut, "Mereka bilang akan datang langsung di hari H, Sayang. Soalnya kita kan nggak jadi masak di rumah, semuanya pakai katering." Evelyn mengangguk pelan, tampak menerima jawaban itu. "Oh, begitu ya. Ya sudah, yang penting nanti mereka datang." Ratna tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. Ia melirik Fandi yang hanya diam, menahan emosi dan kesedihannya. Mereka hanya bisa mengikuti alur Evelyn untuk saat ini, sambil mencari cara terbaik agar putri mereka bisa menerima kenyataan. Makan malam pun berlanjut dalam keheningan, sementara dalam hati Ratna dan Fandi berharap keajaiban segera datang untuk Evelyn. Pagi harinya, Fandi mengajak Evelyn keluar rumah untuk jalan-jalan. Ratna tidak ikut, dan Fandi mengatakan bahwa ia ingin menghabiskan waktu berdua dengan putrinya. "Kita jalan-jalan ya, Sayang. Sudah lama Ayah nggak ngobrol santai sama kamu," ujar Fandi dengan senyum hangat di balik kemudi. Fandi mengemudi sendiri dan Evelyn duduk di kursi penumpang. Mereka benar-benar pergi hanya berdua. Sebenarnya bisa saja Ratna ikut, tapi itu dilakukan agar Evelyn setuju untuk pergi. Evelyn, yang masih percaya bahwa hari pernikahannya semakin dekat, mengangguk senang. "Iya, Yah! Kita mau ke mana?" tanyanya antusias. "Nanti juga tahu," jawab Fandi sambil mulai mengemudi dengan tenang. Di sepanjang perjalanan, Evelyn berbicara tentang banyak hal—tentang dekorasi yang sudah terpasang lagi, gaun pengantinnya, dan harapannya untuk hari pernikahan. Fandi hanya mendengarkan dengan sabar, sesekali menimpali agar putrinya tetap merasa nyaman. Namun, ketika mobil mulai memasuki area rumah sakit, ekspresi Evelyn berubah. Ia melirik ke arah Fandi dengan mata bertanya-tanya. "Ayah sakit?" tanyanya dengan suara sedikit panik. Fandi menoleh sekilas dan tersenyum menenangkan. "Nggak, Ayah baik-baik saja." Evelyn mengerutkan kening. "Terus? Kenapa kita ke rumah sakit?" Fandi menghentikan mobil di area parkir dan menarik napas panjang. Ia menoleh ke arah putrinya dengan tatapan lembut, namun penuh makna. "Sayang, ada seseorang yang ingin Ayah kenalkan padamu. Ayah janji, semuanya akan baik-baik saja." Evelyn semakin bingung. Perasaannya mulai tidak enak, tapi ia tetap diam, menunggu penjelasan lebih lanjut. Setelah memarkir mobil, Fandi menggenggam tangan Evelyn dengan lembut. "Ayo, Sayang. Percaya sama Ayah, ya," katanya dengan suara tenang. Evelyn masih terlihat bingung, tapi ia tetap mengikuti langkah ayahnya memasuki rumah sakit. Fandi sudah mengatur janji sebelumnya, jadi mereka tidak perlu menunggu lama. Langkah Fandi mantap menuju ruangan dr. Devan Aditya Bagas Wicaksana, Sp.KJ, dokter spesialis kejiwaan yang sebelumnya sudah ia temui bersama Ratna. Saat pintu diketuk, terdengar suara ramah dari dalam. "Silakan masuk." Fandi membuka pintu dan masuk bersama Evelyn. Di balik meja kerja, seorang pria muda dengan kacamata dan jas dokter tersenyum menyambut mereka. Wajahnya segar dan ramah, menciptakan suasana yang lebih nyaman. "Selamat pagi, Pak Fandi, Evelyn," sapa dokter Devan dengan suara tenang. "Silakan duduk." Evelyn duduk dengan tatapan penuh tanda tanya. "Ayah, ini siapa?" tanyanya dengan nada waspada. Fandi menggenggam tangan putrinya dengan lembut. "Sayang, ini dokter Devan. Beliau dokter yang akan membantu kamu." Evelyn mengernyit, lalu tertawa kecil. "Bantu aku? Aku baik-baik saja, Yah. Aku hanya menunggu hari pernikahanku dengan Billy." Dokter Devan menatap Evelyn dengan penuh perhatian, lalu tersenyum. "Evelyn, boleh kita mengobrol sebentar? Aku hanya ingin mendengar ceritamu." Evelyn masih terlihat ragu, tetapi tatapan hangat dari dokter itu membuatnya sedikit tenang. Ia menoleh ke ayahnya, yang mengangguk memberi dukungan. "Baiklah, tapi sebentar saja, ya. Aku nggak bisa lama-lama. Aku takut ada tamu yang datang ke rumah," kata Evelyn polos. Fandi dan dr. Devan saling bertukar pandang, menyadari bahwa perjalanan ini masih panjang. Namun, ini adalah langkah pertama menuju kesembuhan Evelyn.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD