Semakin Rumit

1220 Words
"Mengapa kau terkejut, Ayah Mertua? Ada sesuatu yang ayahku dan kau sembunyikan?" Nada Bianca semakin penasaran dan mendesak Henry, pria paruh baya berusia 50 tahunan, yang merupakan ayah kandung suaminya. "Kau bicara apa, Bi?" Henry membenahi sikap setelah sempat terperangah sesaat. "Aku memang terkejut, tapi itu karena untuk pertama kalinya kau mempertanyakan detail bisnis. Dengar, Bi. Tidak semua partner bisnis melakukan merger atau kerjasama walau mereka sudah berteman lama. Begitupun aku dan Giano. Situasi bisnis dengan pertemanan itu berbeda," jelas Henry, suara baritonnya terdengar bijak disertai tata bahasa yang profesional-mampu membuat siapapun segan padanya termasuk Bianca. Niat awal yang ingin menguliti sang ayah mertua pun harus terhenti seketika. "Oh, ya, Bi. Aku dan Lily tidak bisa berlama-lama sekarang karena harus mendatangai sebuah event gala dinner kolega kami. Kau tenang saja dan jangan terlalu mencemaskan hal yang tidak penting dan fokus pada kesembuhan suami serta juga pertumbuhan Ariana. Masalah wanita yang mengaku istri Jonathan, aku sedang mengurusnya." Henry menepuk bahu menantunya sebagai tanda support dua kali diikuti Lily yang menyerahkan Ariana dari pangkuan setelah sempat bermain barusan. Tak lupa Lily memeluk singkat tubuh Bianca yang kini menggendong Ariana. Sepeninggalan kedua mertuanya yang hanya mampir sebentar, Bianca kembali tenggelam dalam berbagai macam pikiran yang tak menentu. Sesekali, ia mencium kening putri tunggalnya yang berusia satu tahun dalam pangkuan, mencoba mencari ketenangan di tengah kegalauan yang melanda. Meski ayah mertuanya telah memberikan kata-kata penguatan, hati Bianca tetap saja gamang. Situasi yang dihadapinya sungguh tak menentu: antara kemungkinan bertemu dengan wanita yang mengaku sebagai istri lain suaminya dan juga memikirkan Jonathan, suami yang menjadi kunci utama kesaksian, tetapi masih terbaring tak sadarkan diri dalam kondisi kritis. "Ariiii! Aunty comming!" Saat kegamangan yang semakin mendalam, tiba-tiba suara familiar memecah kesunyian. Suara berasal dari Sosok tinggi langsing, berkulit putih, berambut panjang lurus hitam kecokelatan bernama Kestrel Amora, sahabat Bianca yang berprofesi sebagai dokter anak. Kehadiran Kestrel seakan membawa semagat yang cukup positif mengingat kepribadiannya begitu riang. Mungkin, dengan dukungan sahabatnya, Bianca bisa menemukan kekuatan untuk menghadapi segala ketidakpastian yang sedang ia alami. "Oh My God, Bi. Berikan Ari padaku. Dia sungguh menggemaskan," puji Kestrel yang langsung menyambar tubuh mungil Ariana. "Hey, bukannya kau pulang dari praktek? Apa kau sudah membersihkan diri?" Bianca mencerca sahabatnya itu demi kesetrilan Ariana yang masih balita. Kestrel lantas menanggapi dengan memutar bola matanya dan lalu berkata bahwa dirinya selalu mandi jika selesai praktek. "Lama-lama kau seperti ibuku yang selalu mengingatkan perihal hal seperti ini, Bi," keluh Kestrel lagi. Perhatiannya kembali teralih kala tangan mungil Ariana memainkan rambut puan yang masih melajang itu. Kestrel pun berakhir bersenda gurau dengan putri Bianca. Sementara raut Bianca kentara tak terlalu bersemangat. "Hey, bagaimana keadaanmu, Bi? Kau baik-baik saja, kan?" tanya Kestrel setelah beberapa saat mengajak Ariana bermain. Sang bocah masih dalam pengawasannya-dalam posisi duduk memegang mainan sementara dari arah belakang Kestrel duduk menjaga. Bianca menghela napas panjang sebelum bercerita. Hanya Kestrel satu-satunya sahabat baik, tempat dimana ia berbagi cerita. Kestrel bahkan sudah Bianca anggap sebagai saudara kandung. "Aku memberanikan diri bertemu dengan Emma Clayton hari ini karena ingin mendengar secara detail pengakuan wanita itu." "Apa!?? Kau bertemu dengannya tanpaku?" protes Kestrel, kedua alisnya menukik tajam. "Kau tahu jika aku alergi palakor, Bi. Aku bisa menghajarnya." "Ergh, justru itu hal yang kuhindari makanya aku tidak membawamu." Kestrel memutar bola matanya dengan malas. Disamping berprofesi sebagai dokter anak, Kestrel memiliki hobi olahraga tinju, sehingga tak jarang jika ada yang menyakiti sahabat atau otang terdekat, Kestrel tak segan membuat perhitungan. "Lalu bagaimana hasilnya?" tanya Kestrel kembali bernada serius. "Aku berharap wanita itu hanya berhalusinasi. Tapi, sepertinya kebalikan." Bianca berkata lirih seraya tertunduk pilu. "Lebih parahnya lagi, Emma mengaku kekasih yang dijanjikan menikah oleh Jonathan. Sedangkan menikahiku hanyalah sebatas bisnis baginya." Emosi Kestrel kembali menggebu. Ingin sekali melampiaskan kemarahan pada Jonathan. "Woah! Jika benar, ini gila, Bi. Untung saja suamimu sedang kritis, jika tidak akan kuberi salam olahraga dari tinjuku ini," ujar Kestrel mengepal tangan kanannya geram. "Apa kau tidak ingin menjambaknya lagi tadi? Bukankah kau hanya bicara empat mata, tapi mengapa kau tahan untuk tidak mencakar wajah palakor itu!?" Cicitan Kestrel masih berlanjut, terdengar sangat sangat sinis. "Aku masih memproses semua ini, Kes. Lagipula, pamannya Emma mempertengahi kami tadi. Jadi, sekalipun aku mau memberi pelajaran pada wanita itu, pamannya akan mencegah kami bertengkar." "Woah, mengapa pamannya terlibat!? Pengecut sekali palakor itu. Cepat katakan, siapa pamannya? Aku akan memberi perhitungan padanya jika dia membela keponakannya yang jelas salah." Kegeraman Kestrel kini menyasar sosok paman dari Emma yang tak lain adalah Dokter Luis. "Dia dokter di rumah sakit ayah." Kestrel sejenak terjeda. "Maksudmu ... di rumah Central?" Bianca pun mengangguk takzim. Dalam sepersekian detik, Kestrel mendesak identitas paman si palakor. "Dokter Luis." "Dokter Luis, spesialis bedah yang menangani operasi suamimu?" Kestrel mengkonfirmasi seraya tangan kanan menutup mulut tak percaya. Bianca pun kembali mengiyakan. Namun, kali ini disertai permintaan bahwa sahabatnya dilarang membagikan skandal ini karena menyangkut taruhan nama keluarga besar dirinya, rumah sakit dan juga suami. "Ayahku dan ayah mertua sepakat untuk menyembunyikan skandal ini dan akan mengurusnya." "Ini benar- benar gila, Bi. Aku tidak habis pikir mengapa drama serumit ini menimpa hidupmu. Aku turut prihatin." "Terima kasih, Kes. Aku sungguh berharap Jonathan cepat pulih dan segera menjelaskan situasi rumit ini padaku. Aku berharap Jonathan tidak seburuk itu." Di sisi lain. "Apa kau masih marah padaku?" tanya Emma diambang pintu kamar sang Pamannya. Emma sengaja menyambangi unit apartemen sang paman yang terpisah untuk berbicara dengan Luis sementara itu, setelah membukakan pintu, Luis kembali berbaring di sofa padahal matanya tak benar-benar terpejam. Pria itu tak ingin ribut dengan keponakannya karena lelah setelah melakukan serangkaian operasi bedah. "Pergilah, Em. Aku sedang tidak ingin berbincang lagi besok. Aku tidak ingin percakapan kita berakhir perdebatan karena aku lelah." "Aku mencintai Jonathan, Paman. Aku mencintai suamiku. Apa aku salah?" "Mencintai pria berstatus suami tentu tidak salah, Em. Hanya saja, sebagai seorang paman aku kecewa, mengapa kau tidak memberitahu situasi sebenarnya?" "Aku takut kau tidak menyetujui kami." Dalam posisi berbaring, masih membelakangi Emma, Luis geram. Meski begitu, ia mati-matian menahan emosi. "Paman mana yang rela jika keponakannya dinikahi pria beristri, Em? Bagaimana aku harus bertanggung jawab pada mendiang ayah dan ibumu?" Nada bicara Luis sedikit menurun. Siapa yang tidak dilema jika ada di posisinya. Kedua orang tua Emma yang sudah meninggal mengamanahi Luis seorang keponakan tunggal yakni Emma untuk dijaga dengan baik. Tapi, malah terjebak di situasi hidup yang rumit. Luis sendiri merupakan adik dari mendiang ibu Emma. "Aku tau tapi Jonathan tidak mencintai Bianca sedari awal, Kak." "Tapi, bukan berarti kau bisa seenaknya menikah dan sampai memiliki momongan," sanggah Luis dengan penekanan nada. "Indikasi test pack itu merupakan fals alarm," aku Emma terdengar sesal. Luis pun terhenyak dan langsung bangun dari posisi berbaring. "Apa maksudmu?" "Aku tidak hamil." "What!?" *** Henry menghubungi Giano yang masih dinas di luar negeri. Setelah sempat mengobrol basa-basi. Keduanya sampai pada topik membahas nama Emma Clayton. " Kerjasama kita tidak bisa berhenti begitu saja, Gi. Kau tahu resiko di pinaltinya bukan," seru Henry. "Lalu, bagaimana dengan mantan sekretaris Jonathan yang mengaku istri putramu, Hen? Bagimana jika Bianca percaya dan memutuskan bercerai dengan putramu? Ergh, situasi ini sungguh kacau sementara aku belum bisa pulang ke tanah air," tanya balik Giano yang sangat berharap solusi. "Kau tenang saja. Aku sedang mengurusnya. Jika perlu akan kugunakan cara kotor jika Emma Clayton masih mengacau," tandas Henry, Ayah kandung Jonathan. TBC ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD