"Ini salah! Aku wanita yang sudah memiliki suami."
Gumaman itu meluncur tegas dari bibir Bianca, memecah keheningan antara dirinya dan Luis. Ia lantas terkesiap, seakan baru tersadar bahwa pelukan yang tadi terjadi antara mereka berdua adalah sebuah kesalahan.
Dad*nya berdegup kencang, campuran rasa bersalah dan panik memenuhi pikiran Bianca. Tanpa berpikir panjang wanita itu mendorong tubuh tinggi kekar Luis dengan kedua tangannya, menjauhkan diri dari pria itu.
"Jangan menyentuhku!" seru Bianca, suaranya tegas, tapi terdengar gemetar.
Luis yang tadinya hanya ingin menenangkan Bianca setelah kejadian nyaris tertabrak mobil, malah dikejutkan dengan reaksi puan bermanik biru laut itu. Wajah yang awalnya penuh simpati berubah menjadi bingung, dan sedikit kesal.
"Kau pikir aku bermaksud buruk?" sarkasnya dengan suara meninggi. "Aku hanya mencoba menyelamatkanmu! Kau yang sembrono tadi, dan nyaris tertabrak mobil karena tidak melihat sekeliling. Aku menarikmu ke tepi agar kau aman!"
Bianca terdiam sejenak mencoba mengatur ritme napas. Ia tahu Luis benar, tapi perasaannya yang campur aduk membuatnya sulit berpikir jernih. "Aku ... aku tahu, tapi—"
Namun, sebelum wanita itu dapat melanjutkan kalimat, suara dering ponsel Luis memotong pembicaraan mereka. Nada dering yang nyaring itu seakan menegaskan urgensi panggilan tersebut. Luis segera meraih ponsel di saku celana. Tak lama, wajahnya berubah serius begitu melihat layar ponsel yang tertampil panggilan dari ruang ICU.
"Dokter Luis di sini," ucapnya dengan suara bariton terdengar berkharisma.
Bianca memperhatikan perubahan ekspresi Luis. Dari rautnya, ia dapat merasakan ada sesuatu yang kurang baik terjadi. Luis terdiam sejenak, mendengarkan seseorang di ujung telepon yang menjelaskan situasi kritis seorang bayi di ruang ICU anak.
"Down? Apa maksudnya down?" desak Luis disertai suaranya hampir bergetar.
Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, Luis langsung memutuskan telepon dan berlari meninggalkan Bianca. Wajah sang dokter spesialis bedah itu pucat, langkahnya cepat, dan sama sekali tidak mempedulikan presensi Bianca lagi.
Sementara itu, Bianca yang masih berdiri di tempat merasa hatinya tiba-tiba terasa berat. Entah mengapa, firasatnya merasa harus mengikuti Luis. Tanpa berpikir panjang, puan itu mengambil langkah cepat-mengikuti arah lari Luis menuju rumah sakit.
Ia tidak tahu apa yang mendorongnya untuk ikut, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang berkata bahwa ia harus berada di sana- yang mungkin sebagai timbal balik rasa terima kasih kepada Luis yang sudah menyelamatkan tadi.
Beberapa saat kemudian.
Luis sibuk berkutat di ruang ICU, seluruh perhatiannya tertuju pada pasien bayi yang diberi julukan bayi R yang kondisinya tiba-tiba drop. Tangannya bergerak cepat, memeriksa monitor-menyesuaikan alat bantu pernapasan, dan memberikan instruksi kepada perawat di sekitarnya.
Raut wajahnya serius, bahkan terlihat pilu saat ia menatap bayi mungil yang terbaring lemah di atas tempat tidur. Tubuh kecil itu dikelilingi oleh berbagai alat penopang kehidupan, membuat hati Luis semakin berat.
Sementara dari balik kaca ruang ICU, Bianca berdiri dengan pakaian khas pengunjung ruang ICU-serba hijau lengkap dengan masker menutupi separuh wajahnya. Ia berhasil lolos masuk dengan mengaku sebagai saudara pasien dokter Luis. Meski jantungnya berdebar-debar, Bianca memaksakan diri untuk tetap tenang dengan mata tak lepas dari sosok Luis yang sedang berjuang menyelamatkan nyawa bayi itu. Hati puan dengan style elegan itu terenyuh, bayi yang sedang diselamatkan mengingatkannya pada putri kecilnya, Ariana.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, kondisi bayi R akhirnya stabil. Luis menghela napas lega, wajahnya yang tegang sedikit melunak. Ia lantas mengangguk pada perawat di hadapannya, memberi isyarat bahwa mereka telah berhasil melewati momen kritis.
Namun, sesaat setelah keluar ruangan tersebut dan belum benar-benar menarik napas panjang, seorang suster mendekati Luis penuh urgensi disertai wajah yang panik.
"Dok, maaf mengganggu," kata suster itu tergesa. "Persediaan ASI untuk pasien bayi R sudah menipis. Bank ASI pun sedang kekurangan pendonor ASI."
Luis mengerutkan kening, matanya menyipit seolah mencerna informasi yang baru saja ia dengar. "Apa kau yakin?" tanyanya mencoba memastikan. "Bayi R masih membutuhkan ASI murni agar kondisi organ dalamnya stabil. Tanpa itu, kondisinya bisa memburuk lagi," tambahnya lagi.
Sang suster mengangguk pasrah, ekspresinya menunjukkan bahwa situasi ini benar-benar serius dan tak ada yang dilebih-lebihkan. Luis pun menghela napas berat, mencoba mencari solusi di tengah keputusasaan.
"Aku bisa mendonorkan ASI-ku."
Suara tegas Bianca tiba-tiba memecah situasi keputusasaan. Luis menoleh ke arah sumber suara, dan matanya langsung terperangah saat melihat Bianca berdiri di sana. Wajahnya penuh tekad, seolah tak ada keraguan.
"Nyonya Miller? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Luis terdengar kebingungan. Ia tak menyangka bahwa sosok Bianca bisa ada di ruang ICU, apalagi dalam situasi seperti ini.
Akan tetapi, Bianca acuh dan malah mendekat, matanya dengan tegas menatap Luis. "Tidak penting alasanku ada di sini. Kebetulan, aku masih menyusui putriku yang berumur satu tahun. Aku bisa mendonorkan ASI-ku untuk bayi itu."
Luis terdiam sejenak, mencerna kata-kata Bianca. Ia tahu ini adalah solusi yang mungkin bisa menyelamatkan nyawa bayi R, tapi di sisi lain, sang dokter juga merasa bingung dengan kehadiran Bianca yang tiba-tiba. Namun, tak ada waktu untuk berpikir lagi imbas situasi darurat, Luis akhirnya mengangguk pelan.
"Baiklah," pasrahnya kali ini, suaranya lembut, tetapi penuh penghargaan.
Bianca tersenyum kecil, meski hatinya masih bercampur aduk tak menentu. Di saat perasaannya sedang sakit dan butuh pertolongan, Bianca malah menolong orang lain. Ia tahu ini bukanlah situasi yang biasa, tapi Bianca juga merasa ini adalah hal yang harus dilakukan. Tanpa banyak bicara, tubuh langsing itu melenggang mengikuti suster yang akan membawanya ke ruang khusus untuk memproses donasi ASI.
Luis menatap Bianca yang perlahan menjauh, perasaannya campur aduk. Di tengah situasi yang penuh tekanan ini, kehadiran Bianca seakan membawa secercah harapan. Ia hanya berharap, pertolongan Bianca ini bisa menjadi titik balik bagi keselamatan bayi R.
Setelah kurang lebih satu jam berada di bilik khusus pemompaan ASI, Bianca berdecak lega telah mendapatkan empat kantong plastik ASI perah dari kedua payudaranya untuk didonorkan.
Namun, tak langsung beranjak, Bianca malah kembali merenung sembari mengompres gunung kembar yang baru saja diperah. Ia pun masuk ke dalam khayal, perihal kejadian yang menimpanya terutama nasib dirinya dan juga Ariana jika sang suami tersadar nanti.
Angannya terlampau jauh memikirkan masa depan pernikahan yang terancam kandas. Meski begitu, Bianca tak ingin menyerah begitu saja karena rasa cinta yang terlampau dalam merupakan alasan dirinya masih akan tetap bertahan.
Di sisi lain, saking larutnya berangan, Bianca tak menyadari Luis dari luar mengetuk pintu beberapa kali.
"Nyonya Miller! Apa kau sudah selesai?" panggil Luis secara berkala. Namun, tetap tidak ada jawaban sama sekali dari dalam.
Tak lama, Luis yang merasa khawatir takut terjadi hal yang tak diinginkan terhadap Bianca, terpaksa membuka pintu lalu menyeruak masuk.
"Nyonya aku sudah menge—"
Kalimat Luis terpaksa terjeda, netranya terperangah saat melihat presensi Bianca yang tidak mengenakan baju atasan-hanya menampilkan BRA yang menyembulkan gunung kembar sintal yang berukuran cukup besar. Di saat bersamaan hasrat liar Luis bangkit melihat pemandangan tersebut.
Tbc ...