Malam itu, bel apartmen Luis berbunyi cukup nyaring, memecah kesunyian ruangannya yang biasa sepi karena dihuni sendiri. Suara itu seperti lonceng kecil yang membawa harapan. Hatinya langsung sumringah, senyum mengembang tanpa disadari. "Bianca benar-benar datang?" pikirnya. Luis sudah menunggu sejak sore, memastikan semuanya sempurna—minuman hangat, lampu temaram yang menciptakan suasana intim. Ia pun bergegas ke pintu, hampir tersandung ujung karpet karena terlalu bersemangat. Jantungnya berdegup kencang, bayangan senyum manis Bianca, rambutnya yang tergerai indah, dan aroma parfumnya yang lembut membuat candu. Tapi begitu pintu terbuka, dunia seakan bergerak dalam gerak lambat. Bukan Bianca yang berdiri di depan pintu melainkan Emma sang keponakan. Matanya langsung menyipit be

