Ternyata Hanya Khayalan

1146 Words
"Dokter Luis?" "Hmm?" Luis terkesiap ketika namanya disebut oleh Bianca. Suaranya yang lembut seperti bel yang menggema di telinganya, membuyarkan lamunannya yang baru saja melayang jauh, bahkan terlampau jauh. Dalam angannya, ia telah membayangkan sesuatu yang terlarang, mencicipi belahan ranum wanita yang telah bersuami di hadapannya merasakan kehangatan bibir Bianca, menelusuri setiap lekuk tubuhnya yang memesona itu. Padahal, kenyataannya, ia hanya membantu membukakan sabuk pengaman yang yang macet. Argh, gairah Luis selalu tak karuan setiap berada di dekat Bianca. "Dokter Luis? Kamu baik-baik saja?" tanya Bianca lagi, matanya menyipit, serupa menyelidik. Luis lantas menghela napas pendek, berusaha mengusir bayangan nakal dari benaknya. "Ah, iya. Maaf, tadi sedikit melamun," jawabnya sambil tersenyum getir. Sabuk yang macet pun berhasil sang dokter lepaskan diikuti tubuh yang menjauh setelahnyt Bianca pun mengangguk, meski sebenarnya sang wanita juga merasakan kejanggalan di antara mereka. Ada ketegangan yang tak terucap, sesuatu yang menggantung di udara seperti aroma setelah hujan—segar, tapi membingungkan. Namun, Bianca pandai menyembunyikannya. Wajahnya tetap tenang dengan raut terkendali, seolah tak ada yang terjadi. "Terima kasih sudah mengantarku," ucap Bianca sebelum membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Luis pun mengamatinya dari balik kaca mobil. Tubuh Bianca yang ramping terlihat elegan dalam outfit sederhana yang masih ia kenakan sejak dari rumah sakit. Rambutnya yang hitam legam berkilau diterpa sinar lampu kediamannya, membuatnya seperti sosok yang melangkah keluar dari mimpinya. Akan tetapi, mimpi itu seketika buyar ketika seorang pria tinggi berdiri di depan gerbang rumah Bianca, menyambutnya dengan pelukan erat. Luis menahan napas. Ada sesuatu yang menusuk di dad*nya—sesuatu yang ia tahu tidak berhak ia rasakan. "Siapapun pria itu, bukan urusanmu, Lu," gumam Luis pada diri sendiri. "Bi, bagaimana kabarmu?" Sosok pria yang dilihat Luis bertanya dengan nada khawatir. "Aku baik, seperti yang kau lihat, Sen." Bianca melerai pelukan lalu mulai bertanya. "Kau sengaja datang kesini? Atau bagaimana?" Pria bernama Arseno William merupakan salah satu teman baik Bianca—anak kolega bisnis sang ayah. Arseno mengaku baru saja tiba dari Singapura setelah mendengar kabar bahwa suami Bianca, Jonathan, mengalami kecelakaan parah dan kini terbaring koma. Arseno ingin ada sebagai teman dan juga sebagai penyemangat. Begitulah yang terlihat di permukaan. Tapi, Luis bisa merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan dalam cara Arseno memandang Bianca. Ada api kecil di matanya, hasrat yang tersembunyi di balik senyum ramah pria tampan blasteran itu. Namun, tak ingin terlalu jauh mengobsetvasi, Luis mulai menancap gas, meninggalkan pelataran Mansion Bianca "Kau tidak perlu datang sejauh ini, Sen. Apalagi jika mengorbankan waktumu yang berharga," kata Bianca tak enak hati. Arseno menggelengkan kepala. "Non sense. Aku tidak bisa tinggal diam setelah mendengar apa yang telah menimpamu." Tangannya dengan lembut menyentuh bahu Bianca, memberikan tekanan yang seharusnya menghibur. Tapi entah mengapa aksi Arseno membuat Bianca sedikit tidak nyaman. "Baiklah tuan Arsen yang sangat dermawan," gurau Bianca sebelum mengajaknya masuk ke dalam rumah. Tanpa Bianca ketahui, Arseno tidak hanya datang untuk memberikan dukungan moral. Di balik kedatangannya yang tampak tulus, tersimpan rencana yang telah ia susun rapi. Ia tahu ini adalah kesempatannya—Jonathan sedang tidak ada, Bianca sedang lemah, dan hatinya mungkin bisa terbuka untuknya. Selama bertahun-tahun, Arseno sudah menyimpan perasaan untuk Bianca. Tapi waktu itu, hati Bianca memilih Jonathan saat dijodohkan. Kini, takdir seolah memberinya jalan. "Aku akan tinggal di Tanah Air untuk sementara," ujar Arseno saat mereka duduk di ruang tamu. "Ayahku ingin aku mengambil alih posisinya sebagai CEO di cabang sini." Bianca mengangkat alis. "Benarkah?" Arseno mengangguk. "Iya. Dan ... aku berharap bisa lebih sering membantumu melewati masa sulit." Bianca tersenyum kecil. Ia menghargai niat teman kolega ayahnya itu, meski hatinya masih penuh dengan kegelisahan. Jonathan masih terbaring di rumah sakit malah meninggalkan teka-teki besar perihal wanita lain yang mengaku istrinya. "Bolehkah aku bertanya, Sen?" "Tentu." "Apa kau pernah mendengar pernikahan kilat di Las Vegas? Aku memang pernah ke Amerika, tapi aku tidak tahu perihal itu. Apa pernikahan tersebut diakui?" "Hmmm, setauku mereka yang menikah di sana termasuk sah dan mendapat sertifikat pernikahan yang diakui. Tapi, belum tentu berlaku di negara ini." "Oh." Bianca lagi-lagi gamang. Entah mengapa ia tiba-tiba ingin bertanya pada Emma untuk melihat sertifikat pernikahan sang wanita dan suaminya. *** Emma duduk sembari termangu, mengingat betapa bahagianya dulu bekerja sebagai sektretaris di perusahaan Jonathan. Mereka saling jatuh cinta dan menjalankan hubungan romansa diam-diam tanpa gangguan berarti hingga jauh selama dua tahun belakangan. Bahkan tak terhitung berapa kali mereka melakukan pergumulan panas di ruang kerja Jonathan, penuh debaran dan getaran yang begitu "Kau sangat binal dan mengagumkan, Sayang. I like it." Pujian Jonathan selalu sama dan masih terpatri di kepala Emma yakni mengagungkan segala hal tentang Emma termasuk kemahirannya melayani kebutuhan s*x. "Aku sangat mencintaimu, Em. " "Aku juga sangat mencintaimu, Jo." Namun hubungan mereka tiba-tiba terancam kandas ketika Jonathan memutuskan menerima perjodohan berlandaskan bisnis atas permintaan ayahnya. Hingga Jonathan bahkan harus memutasi Emma karena khawatir menjadi target sang ayah jika menghalangi pernikahan bisnis teraebut. "Em, kumohon kau pindah dulu. Akan kucarikan perusahaan terbaik. Hmm," pinta Jonathan saat itu. "Kau seolah mengusirku dan lebih memilih pernikahan palsumu, Jo. Aku tidak suka." "Kau tau bukan itu maksudku, Em. Aku tidak ingin kau ditarget ayah, kumohon mengertilah." "Berjanjilah bahwa kau akan tetap memprioritaskanku. Berjanjilan kau tidak akan pernah berubah, Jo." "Pasti, Sayang. Aku berjanji." Namun, menjalani hubungan diam-diam saat kekasihnya sudah menikah ternyata tidaklah mudah malah semakin runyam. Banyak kejadian tak terduga yang bahkan membuat renggang cinta di antara mereka. Aku tidak akan menyerah, Jo. Aku akan selalu ada di sampingmu. Kau suamiku, bukan suami Bianca. "Emma, buka pintunya." Sesampainya di unit apartment Emma, Luis secara tak sabaran menekan bel dan menyerukan nama sang keponakan. "Sebentar." Emma menjawab dengan malas karena cukup lelah imbas barus saja pulang bekerja. "Aku ingin bicara serius denganmu," ujar Luis saat Emma baru saja membukakan pintu. "Jangan menceramahiku, Paman. Aku sedang kesal. Bos baruku baru saja diganti oleh putranya yang cukup angkuh." Emma malah berkeluh kesah "Aku tidak menceramahimu, aku hanya ingin clear jika kau menjauhi Jonathan Miller karena sekarang kau tidak miliki apapun yang tersisa." "Ch! Kau pikir cinta kami main-main huh!? Kami pernah menikah dan aku pernah hamil walaupun keguguran. Tak bisakah kau mendukung keponakanmu sekali saja, Paman? Aku mencintai Jonathan sekalipun dia bukan seorang CEO. Kami saling mencintai." Emma merasa muak, matanya gemetar dan nyaris berkaca-kaca. Di sisi lain rasa simpati Luis untuk keponakannya mulai menyeruak. Namun, Luis lebih kasihan pada Bianca yang berstatus sebagai istri sah, tetapi dipermainkan. Jika benar suaminya menikahi Bianca atas dasar bisnis hingga memiliki anak, itu sungguh diluar nalar Luis. "Kau tahu, Paman. Sebelum kecelakaan terjadi, Jonathan rela datang padaku saat aku menelponnya padahal putrinya sedang berulang tahun." "What!" "Kau bilang tidak ada yang tersisa, huh? Kau salah besar, Paman. Jonathan bahkan memesan cincin pernikahan yang sama dengan miliknya karena baginya, istri yang sesungguhnya adalah aku. Aku akan tetap mempertahankan keteguhanku sampai dunia tahu bahwa kami saling mencintai!" tegas Emma sekali lagi seraya menunjukan cincin yang melingkar di jari manisnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD