Warning: Adult Content. Please, be wise!
---
"Apa?" Adrian menatap gadis di depannya dengan mata membulat. Suara hujan masih terdengar samar-samar di luar jendela mobil, namun pertanyaan yang baru saja meluncur dari bibir gadis itu membuat suasana di dalam mobil jadi mendidih.
"Mau tidur denganku, nggak?"
Kalimat itu terlontar dengan begitu santai, seperti tawaran makan malam biasa. Vanila menatap Adrian tanpa ragu, tatapannya jernih meski jelas terguncang oleh sesuatu. Mungkin patah hati. Mungkin sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa kehilangan.
"Kamu tanya saya? Orang yang baru kamu kenal, baru beberapa menit kita ketemu?" Adrian berusaha memastikan dia tidak salah dengar.
Vanila mengangguk. "Kenapa nggak? Aku putus sama pacarku karena dia tidur sama sahabatku sendiri. Kamu tau kenapa? Karena aku nggak pernah mau kalau dia ngajak tidur. Aku pikir cinta itu bukan tentang seks. Tapi ternyata aku salah besar."
Adrian terdiam. Antara ingin tertawa getir dan merasa simpati. Gadis ini terlalu jujur, terlalu polos untuk menutupi luka.
"Jadi sekarang kamu mau... kasih itu ke saya? Orang asing?"
Vanila menarik napas. "Kamu nolongin aku. Anggap aja hadiah."
Adrian menghela napas. Kepalanya sedikit berat karena sisa alkohol yang masih bersarang. Tapi pikirannya tetap bekerja cukup jernih untuk tahu, ini salah. Ini... rumit.
"Aku masih virgin," lanjut Vanila. "Dan aku muak harus terus menjaga itu untuk orang yang salah."
Kalimat itu membuat tenggorokan Adrian tercekat. Napasnya tersendat. Matanya menatap Vanila yang kini mulai membuka kancing atas bajunya.
"Hei! Tutup bajumu!" Adrian nyaris membentak saat gadis itu tiba-tiba memperlihatkan bra-nya.
"Aku nggak mau. Aku serius. Kamu nggak tertarik?"
Pipi Vanila mulai memerah, entah karena marah, malu, atau gairah yang mulai muncul akibat emosi yang tak terkendali. Matanya menatap Adrian dengan sorot penuh hasrat yang terbungkus rapuh.
"Tolong, kita bisa ditangkap kalau kamu terus begini. Ini tempat umum!"
Vanila mencibir. "Oke, kalau gitu kita ke hotel aja."
"Gila..." desis Adrian. Ia memejamkan mata sejenak, menahan dorongan dalam tubuhnya sendiri.
Vanila tiba-tiba menangis. Isakannya pecah begitu saja, membuat Adrian bingung antara ingin memarahi atau memeluknya.
"Kenapa sih... orang selalu menyakitiku? Apa salahku?" tangisnya sesenggukan.
Adrian memutar setir. "Oke. Kita ke hotel. Tapi kamu pakai baju dulu."
Vanila hanya mengangguk sambil meraih kembali bajunya dan memakainya dalam diam. Sesekali ia mengusap air mata, lalu menghela napas seperti menyesal—namun juga tak ingin berhenti.
Sesampainya di hotel, Adrian menyewa satu kamar. Mereka masuk tanpa banyak bicara. Vanila duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya, sedangkan Adrian bersandar di pintu, mencoba menenangkan pikirannya.
"Kau tidur di sini, aku pulang," kata Adrian tegas.
Namun Vanila langsung memegang tangannya. "Jangan pergi."
"Kita ini nggak saling kenal. Aku bahkan nggak tau nama lengkapmu."
"Tapi aku tau kamu orang baik," desaknya.
Adrian menarik tangannya. "Saya ini laki-laki. Dan laki-laki juga punya batas. Jangan ganggu batas saya."
"Aku nggak peduli lagi soal batas. Aku udah jatuh dan nggak tau gimana caranya berdiri lagi. Jadi tolong... jangan tinggalin aku."
Vanila lalu mencium tangan Adrian, lalu menempelkan wajahnya ke d**a pria itu. Detak jantung Adrian langsung berpacu cepat.
"Vanila..."
"Mas Adrian... boleh aku minta sesuatu?"
"Apa lagi?"
"Tolong... buat aku lupa semuanya malam ini."
Adrian terdiam. Memandang wajah gadis itu. Tangannya terangkat, menyentuh pipi Vanila yang basah karena air mata. Gadis itu menatapnya dengan pandangan yang tak bisa dibaca. Penuh luka, penuh harap, tapi juga... menggoda.
Vanila maju, mencium bibir Adrian pelan. Ciuman pertama itu ringan, namun cukup untuk membakar syaraf-syaraf Adrian. Ia mencoba menarik diri, tapi Vanila menahannya.
"Kamu nggak suka?"
"Suka, tapi..."
"Jangan mikir apa-apa. Cukup di sini. Cukup sekarang."
Ciuman mereka berlanjut. Kali ini lebih dalam, lebih panas. Tangan Vanila mengelus leher Adrian, lalu turun ke d**a, membuka kancing baju pria itu satu per satu dengan tangan gemetar. Adrian membiarkannya, untuk sesaat melupakan semua prinsip dan logika.
"Kamu yakin?" bisik Adrian dengan napas berat.
Vanila hanya mengangguk. Adrian mendorong tubuh Vanila perlahan ke atas ranjang, tubuh mereka kini saling menindih, saling mencari kehangatan.
Suasana kamar dipenuhi suara napas, erangan kecil, dan dentingan hujan yang masih turun di luar. Vanila menatap langit-langit, lalu ke mata Adrian. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena sedih. Melainkan karena... akhirnya ada seseorang yang benar-benar menyentuhnya, secara fisik dan emosional.
Dan malam itu, waktu seolah berhenti. Hanya ada dua manusia yang saling melupakan dunia untuk sementara.
Ketika semuanya selesai, Vanila bersandar di d**a Adrian, dengan tubuh mereka yang masih saling melekat.
"Mas Adrian... makasih... udah nggak pergi."
Adrian mengusap rambutnya, mendesah panjang. "Saya nggak bisa pergi setelah melihat kamu seperti itu. Tapi jangan salah paham, ini bukan tentang cinta. Ini cuma... pelarian."
Vanila tersenyum tipis. "Aku tau. Dan aku nggak butuh cinta. Aku cuma butuh seseorang yang bikin aku merasa... hidup lagi."
Keduanya diam. Namun diam itu tidak janggal. Justru menenangkan. Di luar, hujan mulai reda. Tapi badai yang ada di dalam d**a Vanila dan Adrian baru saja reda.
Untuk malam itu saja, mereka memilih lupa. Tanpa janji. Tanpa masa depan. Hanya kehangatan sesaat yang terasa lebih jujur dari cinta yang pernah mereka kenal.
Malam pun menjadi saksi dari dua jiwa yang rapuh, yang sama-sama kehilangan arah, membiarkan satu ciuman terlalu lama dan satu pelukan terlalu dalam. Entah batas apa yang telah dilintasi, tapi keheningan setelahnya tak lagi sama seperti sebelumnya.
"Terima kasih untuk malam ini, ya." Vanila tersenyum sebelum matanya kemudian tertutup.