9. Jadi Pelayan Tapi ...

727 Words
Amelia berjalan cukup cepat menuju ke lantai bawah. Dia sedang berusaha membersihkan kamar Nenek Jeni yang cukup berantakan. Mulai hari kemarin, ia sudah bekerja di rumah besar nan tua ini. Nenek tua sering menyebutnya Amel jika butuh sesuatu. Seperti tadi saat sedang menyuapi Rey, nenek Jeni minta dia mengambilkan tisu yang telah habis di kamarnya. "Kamu apakan kamarku ini?" Amelia menoleh dan tersenyum karena takut salah dalam berbuat sesuatu di rumah ini. Kamar nenek Jeni sangat berantakan dan cukup memusingkan jika terus berada di kamar ini. Sampah-sampah tak berguna sudah dibuangnya dan nenek Jeni meski terlihat marah tapi akhirnya mengucapkan terima kasih karena telah mengubah kamarnya menjadi lebih indah. "Aku memang sering melarang pelayan disini jika merapikan kamarku ini. Tapi, kamu membuatnya seolah benar-benar menjadi bentuk kamar yang sesungguhnya," Amelia mengangguk, dia menjelaskan pada pemilik rumah kalau tadi menemukan banyak perhiasan di kamarnya. Ia mengumpulkannya dan menyerahkan semua perhiasan yang ditemukannya. "Oh ya Allah, kamu menemukan cincin kenangan ini," pekiknya. Amelia tersenyum lalu melanjutkan pekerjaannya. Dia membuang sampah yang telah terkumpul dan berjalan menuju dapur. Rey sudah tidur saat ia meninabobokan dia. Nenek Jeni memberinya kesempatan saat Amelia mengatakan padanya kalau anaknya mengantuk setelah makan. Rumah ini ternyata cukup luas sehingga ia juga mendapat kamar yang cukup besar. Sepertinya bukan kamar pelayan karena bentuknya sangat bagus dan isinya lengkap. Suatu malam, nenek Jeni menyuruhnya memijit kakinya. Amelia berniat duduk di bawah dan mulai memijit kaki wanita tua. Tapi ternyata nenek itu menyuruhnya duduk di kursi dan sejajar dengannya. "Kakiku pegal semua, tadi aku berjalan ke rumah anakku yang paling besar," Amelia mendengarkan ceritanya. Sambil memijit dia mendengarkan cerita sang nenek. "Anakku belum ada satupun yang berniat menikahkan anaknya, cucuku sendiri juga tak berniat membahagiakan aku dengan memberiku cucu atau menantu agar bisa menemani di hari tua ku ini," Wajahnya berubah sedih, rupanya nenek Jeni menangis. Amelia merasa sungkan, ia menyodorkan tisu agar bisa mengusap air matanya. "Nek, jangan bersedih. Mungkin cucu-cucu nenek belum siap menikah," ujarnya mencoba menghiburnya. Nenek Jeni tersenyum, memandang dirinya dan juga Rey yang sedang bermain di lantai dengan mobil mainan barunya. "Kalian ... ya kalian berdua tolong temani nenek sampai akhir hayat, ya? Jangan biarkan aku kesepian," Glek! Sebuah permintaan yang sulit diterimanya karena tidak mungkin ia akan bekerja menjadi pelayan di rumah ini terus. Ada kalanya kebosanan melanda dirinya. Karena baru satu minggu bekerja disini, dia sudah merasa bosan karena rumah ini meski besar terlihat sunyi dan menakutkan. "Amel! Kamu pasti tahu ceritaku dari Farhan, dia cucuku yang sangat berbakat dan pengertian, sayang sekali belum menikah karena kendala karir. Sebagai dokter dia ingin prakteknya maju dan terkenal di kota ini," Amelia langsung teringat kata-kata Farhan yang memang menginginkan sebuah karir yang cemerlang sebagai dokter umum yang melayani lapisan masyarakat dengan hati yang tulus. Percakapan dirinya dengan nenek Jeni memang dilakukan hampir setiap malam. Dari sana Amelia jadi tahu kalau nenek Jeni memang benar-benar kesepian. ** "Tumben nenek sekarang jarang datang, apa sakit?" Arkana tampak mengerutkan keningnya, berpikir tentang sang nenek yang tak kunjung muncul di beberapa minggu ini. Papanya memberitahu kalau nenek Jeni telah mendapatkan seorang pelayan dan bisa menemani dari pagi hingga ketemu pagi lagi. "Yang benar, Pah? Wah, hebat itu bisa kuat menemani nenek seharian penuh," "Dia dibayar, jelas kuat lah mendengar nenek bercerita. Kamu juga berusaha dong kasih nenek kebahagiaan, menikah secepatnya dan jangan ditunda-tunda lagi!" Arkana langsung berdiri, paling tidak suka jika ada yang mengajaknya bicara tentang sebuah pernikahan. Ia bosan dan memilih pergi ketimbang harus berdebat tentang sebuah ikatan pernikahan yang belum siap dilakukannya. "Kamu mau kemana, Ar? Papah belum selesai bicara, lho ini?" Arkana berjalan cepat sementara mamanya baru muncul setelah selera makannya hilang dan langsung masuk ke mobilhya. Suara mesin mobil menderu terdengar cepat dan melaju menghilang dari pandangan. "Ada apa ini, Pah? Arkana seperti orang kesetanan?" Suaminya cemberut dan berwajah masam sampai istrinya langsung mendekat dan menenangkan hatinya. "Jangan ajak Arkana berdebat tentang sebuah ikatan, dia belum siap menikah, Pah," "Umurnya sudah berapa? Mamaku sampai harus membayar seorang pelayan untuk menemani hari tuanya, anak manja biasanya cuma pacaran, ganti-ganti pasangan kalau nggak, ya ..." "Ssttt, jangan ngomong sembarangan, Pah! Arkana itu seorang Presdir, dia bebas melakukan apapun, kita tinggal arahkan saja supaya nanti Nancy bisa meluluhkan hatinya dan menikahinya secepatnya," "Nancy juga sama saja, dia sibuk kuliah dan tidak pernah tahu kalau anak kita itu playboy berat dan harus dibinasakan kebiasaan buruknya," ucapnya kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD