Rabu (09.02), 09 Juni 2021
--------------------
Alan membaringkan tubuh Destia di atas ranjang dalam kamar yang telah diklaim wanita itu sebagai kamarnya. Tidak lupa Alan menata bantal agar Destia bisa berbaring dengan nyaman.
“Sebaiknya ganti pakaianmu dan jangan bilang kau tidak bisa melakukannya sendiri. Kecuali kau memang mau menawarkan tubuhmu padaku.” Ujar Alan masih dengan nada tenangnya.
Refleks Destia menyilangkan lengan di depan d**a. “Walaupun seluruh badanku terasa sakit, tapi aku masih bisa berganti pakaian sendiri.” Ujar Destia dengan wajah memerah malu.
“Istirahatlah. Aku akan membuatkanmu teh.” Setelah berbicara demikian, Alan langsung berbalik keluar kamar.
Langkah tenangnya membawa Alan menuju dapur. Dia melepas jaket kulit berwarna hitam pekat yang dikenakannya lalu menyampirkan jaket tersebut dengan asal di sandaran kursi ketika melewati sofa di ruang tengah. Masih dengan sikap tenangnya, Alan membuat teh dan menyiapkan sepiring omelet agar Destia bisa mengisi perut.
Saat ini penampilan luar Alan bisa menipu semua orang yang melihatnya. Padahal sikap tenang itu merupakan topeng untuk menutupi hatinya yang terasa begitu sakit dan sedang bergejolak hebat. Tapi begitulah dirinya. Dia tidak akan memperlihatkan pada siapapun—kecuali Rafka tentunya—bahwa sekarang Alan sedang berada di titik terendah kemampuannya untuk menjaga perasaan.
Dan selalu saja sama. Keluarga itulah yang selalu berhasil mencabik hatinya hingga begitu hancur.
Alan sudah berusaha mengabaikan keterikatannya dengan keluarga itu. Merelakan semua yang harusnya menjadi miliknya dan memilih menjadi orang yang paling rendah. Tapi rupanya takdir tidak mengizinkan demikian. Mau tidak mau, dia harus siap untuk kembali berhadapan dengan keluarga itu.
Keluarga Rayyandra.
Alan memejamkan mata untuk menghapus lamunannya yang sedang melayang tak tentu arah. Kembali dia menyibukkan diri dengan peralatan dapur.
Dia tahu Destia hanya berpura-pura lemah. Tentu saja wanita itu akan merasakan sakit di sekujur tubuhnya karena aksi sok heroiknya. Tapi hal itu akan terjadi beberapa jam kemudian. Paling tidak besok pagi barulah Destia akan merasakan tubuhnya ngilu di berbagai tempat terutama wajah dan tangannya.
Bukan tanpa alasan Alan mengabaikan hal itu dan bersikap seolah tidak tahu. Dia hanya sedang membutuhkan sesuatu untuk menyibukkan diri. Sebelum kenangan itu datang membajir, dan menyeretnya kembali ke memori paling kelam dalam hidupnya.
Selesai dengan omelet dan teh yang dibuatnya, Alan segera menatanya di atas nampan lalu membawanya ke kamar Destia. Wanita itu terlihat sudah tidur ketika Alan datang. Tapi begitu nampan yang dibawanya diletakkan di meja nakas, Destia membuka mata.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Alan—masih dengan nada tenang—seraya duduk di sisi ranjang.
“Tidak terlalu baik.” Wanita itu mengendus udara seperti anak kecil yang mencium bau kue. “Dan mendadak lapar. Apa yang Kakak buat?”
“Omelet.” Jelas Alan sambil mengangsurkan segelas teh hangat. “Minum dulu.”
Tangan Destia sama sekali tidak bergerak untuk mengambil gelas tersebut dari Alan. Dia malah membiarkan Alan yang membantunya minum.
“Sekarang makan!” perintah Alan sambil menyerahkan piring ke tangan Destia.
“Tanganku—”
“Baiklah, akan aku suapi. Tidak baik terus-menerus berbohong.” Alan berkata dengan telak sambil mulai mengiris omelet lembut itu dengan sendok.
Wajah Destia memerah malu. Dia sangat ingin membantah untuk menyelamatkan harga dirinya. Tapi sepertinya hal itu malah akan membuatnya terlihat sebagai pembohong.
Selama beberapa menit berikutnya kamar itu menjadi hening. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring yang sesekali terdengar.
“Kakak tidak makan?” Destia memberanikan diri bertanya setelah omelet di piring itu tinggal setengah.
“Aku tidak lapar.”
Destia mengunyah pelan untuk mengulur waktu sambil memperhatikan wajah tanpa ekspresi Alan.
“Kakak marah padaku?” tanya Destia lagi ketika merasakan sikap kaku Alan yang seperti robot. Seolah tubuh di depan Destia hanya cangkang tanpa jiwa.
“Tidak.”
“Katakan saja kalau Kakak merasa terganggu dengan sikapku.”
“Sama sekali tidak.”
Ada perasaan kecewa dalam hati Destia. Apa yang sebenarnya dirinya harapkan? Wajar kalau Alan tidak mau berbagi perasaan dengannya karena mereka baru kenal dan tidak memiliki hubungan apapun selain rasa iba Alan hingga mau menampungnya.
Destia sendiri tidak mengerti dengan perasaannya. Dia sangat ingin Alan memperhatikannya. Bahkan dia sangat suka bersikap manja pada lelaki itu padahal biasanya Destia selalu ingin tampak tegar di depan siapapun, termasuk di depan Diaz yang sudah mengenalnya kurang lebih selama sepuluh tahun.
Akhirnya Destia memilih mengalah dan tidak mendesak Alan lebih jauh. Namun dia tidak bisa menghentikan pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Di balik sikap tenang dan tidak peduli yang Alan tampilkan, Destia bisa melihat ada sesuatu yang mengganggu lelaki itu. Dan tampaknya hal itu tidak ada hubungannya dengan kelakuan Destia.
Setelah Destia menghabiskan sepiring omelet, Alan segera membenahi peralatan makan namun tidak beranjak dari tempatnya duduk. Lelaki itu menatap Destia tajam selama beberapa saat, tampak menimbang ingin mengatakan sesuatu atau tidak.
“Apa kau memang tidak peka atau hanya berpura-pura tidak tahu bahwa Diaz menyukaimu?”
Pertanyaan Alan yang tiba-tiba membahas tentang Diaz membuat Destia tertegun bingung. Butuh beberapa saat baginya untuk menyerap maksud pertanyaan itu. Setelah Destia mengerti arah pembicaraan Alan, wanita itu tertawa pelan.
“Kau salah paham tentang hubungan kami, Kak.” Jelas Destia di sela tawanya. “Kami sudah mengenal cukup lama dan sudah seperti saudara. Yah mungkin memang, orang yang baru melihat interaksi kami pasti mengira ada hubungan khusus di antara kami. Padahal tidak ada selain rasa persaudaraan.”
“Diaz menyukaimu bukan hanya sebagai saudara.”
“Dia memang—”
“Kau bisa menyangkal kenyataan itu sekuat tenaga. Tapi jangan kaget kalau nanti kau akan melihat apa yang bisa dilakukan Diaz Rayyandra untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.”
Destia mengerutkan kening dengan bingung akibat pernyataan Alan. “Kakak berbicara seolah sangat mengenal Diaz. Dan lagi, sepertinya aku tidak menyebutkan nama lengkap Diaz.”
Karena begitulah yang akan dilakukan orang yang menyandang nama Rayyandra bukan dari keturunan. Seperti sebuah kutukan.
“Karena begitulah yang akan dilakukan para lelaki ketika apa yang dia inginkan jauh dari jangkauan. Dan kebetulah aku bertanya langsung pada Diaz dalam obrolan tak tentu arah kami tadi di club.” Alih-alih mengucapkan apa yang dia pikirkan, Alan memilih alasan yang paling umum itu.
“Aku benar-benar menganggap Diaz sebagai saudara. Tidak ada perasaan lebih. Aku masih yakin kau salah menduga.”
“Terserah kau mau percaya atau tidak.” Alan berdiri sambil meraih nampan di atas nakas. “Hanya saja, jangan bersikap terlalu kentara bahwa kau sedang berusaha menarik perhatianku di depan Diaz.”
Destia ternganga tanpa sepatah katapun terucap sementara Alan pergi begitu saja dari kamar itu. Dengan syok, wanita itu menyusupkan kepala di bawah bantal lalu berteriak tanpa suara untuk melampiaskan rasa malunya.
Apa selama ini Alan menganggap dirinya sebagai w************n yang berusaha mendekati lelaki itu?
***
Alan duduk di tepi ranjang dengan kedua siku bertumpu di atas lutut. Kedua tangannya yang bebas mengusap wajah dengan frustasi.
Tidak ada lagi yang bisa dikerjakannya. Dan kini, Alan tidak punya alasan lagi untuk melarikan diri dari memori-memori akan masa hidupnya di rumah keluarga besar Rayyandra.
Ingatan pertamanya melayang ke kejadian tadi di club. Perasaan familiar yang aneh begitu pekat dirasakannya ketika untuk pertama kalinya berhadapan secara jelas dengan Diaz. Lalu ketika mereka keluar dari keremangan di dalam club dan menuju ruang bersantai di lantai dua yang cukup terang, Alan seperti melihat sosok Viktor Rayyandra, lelaki yang ditakutinya.
Terakhir yang membuat Alan semakin yakin dengan dugaannya, bekas luka di sudut bibir bawah Diaz yang berbentuk seperti jahitan kecil. Luka itu akibat Diaz yang baru mencapai usia dua setengah tahun, berlari di halaman rumah dengan gesit hingga tersandung batu lalu bibirnya menghantam pinggiran undakan menuju beranda.
Alan tidak mungkin salah. Entah sengaja atau tidak, keluarga Rayyandra telah menemukan keberadaannya. Dan mereka tidak akan berhenti sebelum keturunan Rayyandra yang masih tersisa berhasil dimusnahkan.
Mendadak smartphonenya yang diletakkan di atas nakas berdering memecah keheningan. Tanpa perlu melihat, Alan sudah bisa menduga siapa yang menghubunginya menjelang dini hari seperti sekarang.
Alan menghela nafas sebelum menerima panggilan telepon itu. Kalau memang takdir memaksanya untuk berhadapan kembali dengan keluarga Rayyandra, Alan akan menerimanya dengan tenang. Tapi tentu saja, dia tidak akan diam dan menunggu kutukan yang selalu dikatakan kakek dan neneknya menghampirinya. Sebelum apa yang terjadi pada keturunan Rayyandra terdahulu menimpa dirinya, Alan akan bersiap-siap.
Pikiran itu berhasil membebaskan Alan memutar memori tentang keluarga Rayyandra tanpa rasa takut. Akhirnya, sebuah senyum tersungging di bibir Alan ketika dia menerima telepon dari seorang pengganggu yang tidak akan membiarkan dirinya tidur tenang sebelum sambungan telepon itu diangkat.
***
Alan menggeliat seraya turun dari ranjang. Bisa dibilang ini merupakan rekor karena Alan berhasil bangun pagi tanpa bantuan alarm. Tapi mengingat jam pulang kerjanya semalam yang tidak seperti biasa, wajar kalau dirinya bisa bangun pagi.
Selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, Alan keluar menuju dapur. Dia mengernyit melihat dapur masih rapi, tapi lalu teringat kalau Destia sedang tidak dalam kondisi yang cukup baik untuk memasak.
Rasanya ada yang kurang, pikir Alan sambil meringis.
Dia mulai terbiasa dengan kehadiran Destia. Melihat rumah itu sepi seperti sekarang, rasanya tidak nyaman dan kurang lengkap.
Alan menggelengkan kepala untuk mengenyahkan pikiran itu. Dia tidak boleh membiarkan dirinya tergantung dengan kehadiran Destia. Walau wanita itu terang-terangan menunjukkan perhatian padanya, tapi mungkin itu hanya akan berlangsung sementara.
Dengan cekatan Alan menyiapkan nasi goreng, lengkap dengan irisan sayur dan daging untuk dua porsi. Tadinya dia berniat akan makan terlebih dahulu sebelum mengantarkan makanan untuk Destia. Namun membayangkan dirinya makan sendirian—setelah hampir dua minggu selalu makan bersama Destia—membuat selera makan Alan hilang. Akhirnya dia memutuskan untuk menemani wanita itu makan di kamarnya.
“Kau belum bangun?” tanya Alan begitu sampai di kamar Destia dan kini berdiri di samping ranjang.
Destia tidak menjawab tapi Alan tahu bahwa wanita itu hanya pura-pura tidur. Bisa dibilang dia sedikit menyesal karena menunjukkan pada Destia bahwa Alan mengetahui tentang ketertarikan wanita itu pada dirinya. Pasti saat ini Destia merasa amat malu.
“Kalau sampai hitungan ketiga kau tidak bangun juga, aku akan menyiram wajahmu dengan air minum ini.”
Perlahan Destia menurunkan selimut yang semula menutupi kepalanya. “Kau tidak bersungguh-sungguh, kan?”
“Satu,”
“Baiklah, aku bangun.” Gerutu Destia.
Destia berusaha bangun sambil menahan sakit di beberapa bagian tubuhnya. Dan kali ini bukan lagi pura-pura.
“Sebenarnya aku setuju dengan pendapat Diaz untuk membawamu ke rumah sakit.”
“Jangan bawa-bawa nama Diaz untuk sementara dalam pembicaraan.” Jelas Destia, nyaris tanpa menggerakkan bibir karena luka di bibirnya terasa sakit.
Alan memilih diam dan tidak memperpanjang perdebatan. Ada perasaan iba di hatinya untuk Diaz karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Namun juga ada perasaan lega—yang buru-buru Alan singkirkan—ketika mengetahui Destia tidak memiliki perasaan lebih pada Diaz.
“Mau kubantu?” Alan menawarkan ketika melihat Destia kesulitan menggerakkan tangan. Pasti ada memar di lengannya.
“Aku bisa sendiri.” Sahut Destia ketus. Dia masih kesal akan ucapan Alan semalam. Walaupun hal itu benar adanya, seharusnya Alan tidak perlu mengatakan secara terang-terangan di depannya.
“Aku tidak akan menuduhmu berusaha menarik perhatianku karena aku sendiri yang menawarkan.”
Destia melotot ke arah Alan. Tega sekali lelaki itu masih mengungkitnya. “Lucu, ya?” sindir Destia.
Alan sudah menandaskan nasi di piringnya sedangkan Destia bahkan belum berhasil memakan setengahnya. “Kenapa marah? Selama ini kau sangat senang menggodaku tapi ketika aku membalasmu, kau malah marah.”
Bibir Destia mengerucut kesal. Dia tidak membalas perkataan Alan melainkan kembali menunduk menatap piringnya.
Alan berdehem sejenak karena mendadak muncul keinginan yang tidak masuk akal dari dalam dirinya untuk memagut bibir itu.
Lelaki itu segera bangkit. “Aku harus ke apotik karena tidak ada persediaan obat di sini. Kalau kau tidak sanggup membawa piring dan gelas kotor itu ke dapur, tinggalkan saja di atas nakas. Aku yang akan membereskannya begitu kembali.”
Destia mengangguk masih dengan bibirnya yang mengerucut kesal. Alan sudah berbalik lalu berjalan satu langkah sebelum kemudian berhenti.
Baiklah, sekali ini saja, pikirnya lalu kembali menghampiri Destia.
Tanpa peringatan, lelaki itu menunduk sambil memegang dagu Destia kemudian mendongakkan wajahnya. Dengan amat lembut agar tidak menyakiti lukanya, Alan memagut bibir Destia singkat, lalu segera pergi sebelum dia melakukan hal lainnya.
---------------------
♥ Aya Emily ♥