Aurelia keluar dari mobil yang dikemudikan oleh sopir Damian, pikirannya masih dipenuhi dengan persyaratan yang diajukan oleh Damian. Dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan semua ini.
"Dia ingin seks, dan aku ... sama sekali belum pernah tersentuh. Dia ingin seluruh tubuh dan nafsuku."
"Apa aku bisa memenuhi keinginannya, apa aku bisa memuaskan dia?"
Aurelia memikirkan kembali kata-kata Damian. Dia merasa seperti ada sesuatu yang menarik dan menantang dalam tawaran itu, tapi juga ada rasa takut dan kengerian. Bagaimana bisa Damian meminta hal yang sangat diluar dugaan.
"Baiklah, aku harus pikirkan ini matang-matang."
Saat Aurelia berjalan menuju rumahnya, dia melihat Septimus sudah berdiri menunggu di depan rumah. Septimus langsung menghampiri Aurelia dengan wajah yang murka. “Kenapa kau tega melakukan itu padaku, Aurelia?!" katanya dengan nada yang keras.
“Kau membuat rencanaku berantakan, membuatku dipermalukan di pesta penghargaan. Pesta itu seharusnya menjadi panggung megah milikku atas prestasi yang kutorehkan untuk perusahaan."
"Dan kau, sebagai pemegang saham sekaligus pemilik, seharusnya membantu berjalannya pesta agar kondusif, bukan mengacaukannya!"
Aurelia mendehem dan menanggapi Septimus dengan nada yang sarkastis. “Apa kau serius, Septimus? Kau berkata sangat enteng, padahal kau tahu atas dasar apa aku melakukan segalanya."
"Kau tahu, kau selingkuh dengan Bella, itu poin penting yang membuatku melakukan segalanya. Aku bahkan baru melakukan hanya secuil saja atas luka yang kau goreskan.”
Aurelia menatap Septimus dengan mata yang tajam, suaranya penuh dengan emosi. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan? Kau pikir aku tidak merasakan sakit dan pengkhianatan? Aku tahu semua, Septimus, dan aku tidak akan diam saja.”
Dalam hati, Aurelia menambahkan dengan penuh dendam, Bahkan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan saat kau dan Bella tertawa saat aku sekarat di masa depan, saat kalian menghabisi nyawaku.
Namun, dia tidak mengucapkan kata-kata itu secara langsung kepada Septimus.
Septimus menyangkal dengan cepat, mencoba mengelak dari tuduhan Aurelia. “Mana mungkin aku selingkuh? Mana buktinya? Kau tidak bisa asal menuduh aku seperti itu, Aurelia. Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.”
Aurelia menahan emosinya, mencoba tidak menunjukkan bahwa dia tahu segalanya dari pengalaman di masa depan.
“Aku tahu segalanya, bahkan Bella sendiri yang bilang dia merasa dia lebih pantas denganmu, kan?" kata Aurelia dengan nada yang dingin. “Dan aku juga tahu, baju ini yang aku kenakan, adalah baju yang dipilih oleh Bella, kan?”
Septimus terkejut, tidak menyangka Aurelia tahu tentang baju itu. Dia mencoba untuk tetap tenang, tapi wajahnya mulai memerah karena rasa malu dan kesal.
“Itu tidak berarti apa-apa,” katanya dengan nada yang tidak meyakinkan. “Kau tidak bisa menuduh aku berdasarkan spekulasi dan asumsi belaka.”
Aurelia berpikir, benar, Aurelia tak bisa meremehkan Septimus, pria itu pintar menyangkal, playing victim, dia sangat jahat. Kali ini Aurelia merasa semakin yakin harus meminta bantuan Damian.
Saat tengah berpikir, benar saja, Septimus melontarkan tuduhan pada Aurelia.
“Bukankah kau yang selingkuh dengan Tuan Damian? Kau bahkan melakukannya dengan jelas di pesta, tak perlu bukti apa-apa, semuanya jelas! Lucu sekali, kau malah melakukannya seolah-olah karna aku berselingkuh dengan Bella, padahal buktinya saja tidak ada.”
Aurelia tersenyum sinis mendengar tuduhan Septimus. “Kau pikir aku peduli dengan pendapatmu?” katanya dengan nada yang dingin.
“Aku tidak perlu membuktikan apa-apa kepadamu. Dan tentang Tuan Damian, aku tidak perlu menjawab tuduhanmu. Kau tidak berhak untuk menghakimi aku!"
Aurelia merasa semakin yakin bahwa dia perlu meminta bantuan Damian. Septimus tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan, dan Aurelia tahu bahwa dia tidak bisa menghadapi Septimus sendirian.
“Aku tidak akan membuang waktu lagi denganmu,” kata Aurelia, berbalik untuk pergi.
“Aku akan melakukan apa yang terbaik untuk aku, dan kau tidak bisa menghentikannya.”
Septimus tidak mau pergi, dia mengetuk-ngetuk pintu dengan keras saat Aurelia menutupnya dengan kasar. “Aku tidak akan membatalkan pertunangan ini!” teriaknya. “Aku harus tetap bertunangan denganmu, apa pun yang terjadi!”
Dibalik pintu, Aurelia meneteskan air mata, dia menangisi kebodohannya karena percaya dengan Septimus dulu. Dia merasa terjebak dalam nasib yang tragis, diliputi emosi dendam dan penghinaan dari Septimus.
Aurelia mengambil keputusan, dia akan mengakhiri segala penderitaannya, dia akan menerima persyaratan Damian.
“Aku akan melakukan apa saja untuk mengakhiri ini semua,” bisiknya pada dirinya sendiri, dengan tekad yang kuat untuk membalas dendam dan mengambil alih kendali atas hidupnya.
Hatinya diremas oleh rasa sakit yang begitu familiar. Penghinaan demi penghinaan yang ia terima dari Septimus sekarang terasa semakin menyesakkan, terutama karena ia tahu di masa depan pria itu bahkan mencabut nyawanya.
Tangannya gemetar saat menyeka air mata. Pikiran Aurelia melayang, menembus waktu, kembali ke hari ketika semuanya terlihat indah, ketika hatinya masih mampu percaya.
Ingatan itu datang begitu jelas, seperti layar film yang diputar ulang di hadapannya.
Dulu, Septimus hanyalah seorang karyawan biasa di perusahaan keluarganya. Ia bukan siapa-siapa, hanya pria muda dengan kemeja putih sederhana dan sikap cekatan. Namun Aurelia yang saat itu masih ditemani kakeknya sering memperhatikan sosok itu dari kejauhan. Ada kesungguhan di mata Septimus saat bekerja, ada kesetiaan yang seolah tulus pada perusahaan Hartman.
Suatu sore, kejadian itu terjadi. Aurelia baru saja keluar dari butik, menenteng dompet kecil berisi kartu dan sejumlah uang. Jalanan ramai, orang lalu-lalang, hingga tiba-tiba seorang pria menyambar dompetnya dan berlari kencang.
“Dompetku!” teriak Aurelia refleks, wajahnya panik.
Sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, Septimus yang kebetulan berada tidak jauh darinya langsung berlari mengejar si pencopet. Langkahnya panjang, penuh tekad. Aurelia terkejut, melihat sosok karyawan itu rela berlari tanpa peduli pandangan orang.
Kerumunan mulai heboh. Beberapa orang mengira Septimuslah pencopet itu, karena mereka hanya melihat pria itu berlari sambil mengejar.
“Itu pencopetnya! Tangkap dia!” teriak seorang warga.
Orang-orang salah sangka. Tanpa ampun, mereka menangkap tubuh Septimus, memukulinya di pinggir jalan. Tinju dan tendangan mendarat di tubuhnya, membuat Aurelia menjerit.
“Berhenti! Jangan! Dia bukan pencopetnya!” Aurelia berlari ke arah mereka, memohon dengan suara panik.
Septimus terhuyung, darah segar mengalir di sudut bibirnya. Namun dalam genggamannya, dompet Aurelia masih ia pegang erat, terjaga, tidak tersentuh.
Dengan napas terengah, ia menyerahkan dompet itu kepada Aurelia. “Ini… punyamu… Nona Hartman,” katanya lemah, namun matanya tetap tenang.
Aurelia terdiam. Hatinya bergetar melihat pengorbanan yang baru saja dilakukan Septimus. Ia meraih dompetnya, lalu memeluknya erat.
“Kenapa kau begitu bodoh? Kau bisa celaka,” katanya dengan suara lirih, namun sarat dengan rasa iba.
Septimus tersenyum samar, meski wajahnya penuh luka. “Karena itu dompetmu. Aku tidak bisa membiarkan orang lain mengambil sesuatu yang berharga darimu.”
Setelah keributan itu reda, Aurelia membawa Septimus ke ruang medis kecil di kantor perusahaan keluarganya. Luka di wajah dan tubuhnya cukup parah akibat amukan massa yang salah paham, tapi ia tetap duduk tenang sambil tersenyum samar, seolah sakitnya tidak sebanding dengan keberhasilan menyelamatkan dompet Aurelia.
Aurelia membersihkan luka di pelipisnya dengan kapas yang dibasahi cairan antiseptik. Jemarinya bergetar saat menyentuh kulit Septimus yang memar. “Kau seharusnya tidak melakukan itu. Kau bisa saja terluka lebih parah, semua ini karena aku.”
Septimus menatap Aurelia dengan sorot mata lembut, berbeda jauh dari tatapan liar penuh amarah yang Aurelia lihat di masa kini. “Jangan salahkan dirimu, Nona Aurelia. Aku melakukannya karena aku ingin melindungimu. Itu saja sudah cukup.”
Aurelia terdiam, jantungnya berdetak kencang. Tatapan itu, nada suara itu, seolah benar-benar tulus. Ia berusaha mengalihkan pandangan, namun saat ia mengangkat wajah lagi, mata mereka bertemu begitu dekat.
Septimus tersenyum tipis, wajahnya meski penuh luka terlihat berwibawa dalam kesederhanaannya. “Kau tahu, kau adalah gadis yang paling lembut dan cantik yang pernah aku temui. Aku tidak pernah membayangkan bisa dekat denganmu seperti ini.”
Aurelia terperangah, darah berdesir cepat ke wajahnya. Ia ingin membalas, tapi kata-kata tersangkut di tenggorokan.
Septimus melanjutkan dengan nada yang lebih serius, hampir berbisik. “Aku tidak ingin hanya menjadi karyawan di perusahaan keluargamu. Aku ingin lebih dari itu, aku ingin bersamamu. Aurelia Selene Hartman, aku menyukaimu dengan seluruh hatiku.”
Aurelia terpaku, matanya berkaca-kaca. Ia bisa merasakan ketulusan dalam suaranya, atau setidaknya saat itu begitulah yang ia percayai. Senyum samar muncul di bibirnya, dan di dalam hati, ia membiarkan dirinya jatuh.
Momen sederhana itulah yang menjadi awal segalanya. Awal cintanya pada pria yang kini di masa depan menghancurkannya tanpa ampun, tanpa belas kasih sama sekali.
**
Bella menjambak rambutnya sendiri dengan kasar, wajahnya merah padam menahan amarah. Apartemennya yang mewah di pusat kota tampak berantakan, sofa dipenuhi bantal yang ia lemparkan, meja kaca hampir pecah oleh hentakan tangannya.
Ia mondar-mandir seperti singa betina yang terkurung, pikirannya tak bisa tenang.
“Bodoh! Aku bodoh sekali!” pekiknya, suaranya menggema memenuhi ruangan. “Bagaimana mungkin aku melepaskan Damian hanya karena rumor konyol itu?”