Perjanjian Panas 🔥

1392 Words
Aurelia terdiam sejenak, suara Damian barusan menggema kuat di telinganya. Napasnya tercekat, ia tahu undangan itu bukan sekadar pertemuan biasa. Damian adalah pria yang menepati kata-katanya, dan jika ia sudah mengatakan ingin bertemu, maka syarat yang mengerikan itu pasti akan segera ia ajukan. Tangannya yang menggenggam ponsel sedikit berkeringat, namun Aurelia memaksa dirinya menjawab. “Malam ini, aku bisa.” Suaranya nyaris bergetar, tapi ia menekannya agar terdengar mantap. “Bagus,” jawab Damian singkat. “Kuharap kau datang tanpa keraguan.” Aurelia menutup matanya sejenak. Keraguan jelas ada. Bayangan akan dirinya dipaksa tunduk, diperlakukan hanya sebagai alat pemuas di ranjang, menari-nari di kepalanya. Tapi bersama keraguan itu ada sesuatu yang lebih kuat, dendam. “Aku akan datang,” katanya akhirnya, menegaskan keputusannya. “Tapi aku ingin kau berjanji satu hal, Damian. Apa pun yang kau inginkan dariku, harus seizin aku. Jangan lakukan sesuatu tanpa persetujuanku.” Hening beberapa detik. Lalu suara Damian terdengar lagi, berat, menekan, tapi juga seperti menyimpan senyum tipis. “Aku janji. Tapi ingat, Aurelia, setiap janji ada harganya. Dan harga darimu jauh lebih mahal daripada seratus juta dolar.” Aurelia menutup panggilan dengan jantung berdegup kencang. Jemarinya masih menggenggam ponsel erat, seakan benda itu baru saja menjadi saksi sumpah yang tak bisa ia tarik kembali. Ia menatap bayangannya di kaca mobil, melihat sosok yang tampak sama, namun dengan jiwa yang berbeda. Sejak awal ini memang bukan tentang seratus juta dolar. Ia tidak butuh uang itu. Yang ia butuhkan hanyalah sekutu yang cukup kuat untuk menumbangkan Septimus. Jika caranya adalah menjual keperawanannya, maka itu bukan harga, melainkan senjata. Ia menggertakkan gigi, tatapannya semakin tajam. “Kali ini aku yang akan mengatur permainannya,” bisiknya pada dirinya sendiri. Hari ini seharusnya adalah hari jadi hubungan Aurelia dengan Septimus yang kedua tahun. Seharusnya ia mendapatkan ucapan hangat, mungkin juga perayaan sederhana yang menandakan keseriusan cinta mereka. Namun kenyataannya berbeda. Sama seperti yang ia ingat dari masa lalunya, Septimus tidak mengucapkan apa pun. Dulu, Septimus hanya berkata lupa. Ia beralasan ada meeting dengan klien penting yang tidak bisa ditunda, ditemani Bella sebagai sekretaris pribadinya. Aurelia dipaksa mengerti, seolah urusan bisnis lebih penting daripada dirinya. Malam itu ia menunggu sendirian, sementara Septimus dan Bella justru menghabiskan waktu di Hotel Imperial. Kini, di masa saat ia mendapat kesempatan kedua, Aurelia kembali menatap tanggal itu di kalender. Ia tidak menunggu lagi. Ia tidak peduli apakah Septimus ingat atau pura-pura lupa, semua itu tidak penting. Kali ini ia puas karena tahu betul siapa Septimus sebenarnya, pria yang kelak akan mencabut nyawanya dengan tangan sendiri. Aurelia menegakkan bahunya, menarik napas panjang. Malam ini ia juga akan menuju Hotel Imperial, tetapi bukan untuk mencari jawaban dari pria yang sudah menodai kepercayaannya. Malam ini ia akan menemui Damian Corvin Constantine. Bibir Aurelia melengkung dengan senyum tipis. Bukan senyum bahagia, melainkan senyum yang lahir dari tekad dingin untuk membalas semua pengkhianatan yang pernah ia telan sendirian. ** Malam ini ia harus menunjukkan dirinya yang terbaik, bukan untuk Septimus, tetapi untuk Damian, pria yang akan menjadi sekutunya sekaligus ujian paling berbahaya dalam hidupnya. Jemarinya menyentuh kain sutra berwarna hitam yang jatuh anggun, tubuhnya gemetar kecil ketika mengingat sesuatu. Bayangan itu kembali hadir, malam pertama setelah pernikahannya dengan Septimus di masa depan. Ia menunggu dengan hati berdebar, percaya bahwa malam itu akan menjadi awal kebahagiaan. Namun kalimat yang keluar dari bibir Septimus justru menghancurkan hatinya. “Kau sama sekali tidak menarik, Aurelia. Kau tidak membuatku bergairah.” Kata-kata itu menusuk lebih tajam daripada pisau. Ia masih bisa merasakan perihnya hingga kini, meski ia sudah hidup kembali ke masa lalu. Seolah tubuhnya masih menyimpan bekas luka tak kasat mata dari penghinaan itu. Aurelia menatap bayangannya di cermin. Wajahnya dipulas dengan riasan yang sempurna, rambutnya terurai dengan indah, gaun yang membalut tubuhnya membuat setiap lekuk terlihat anggun. Ia mengangkat dagunya, menatap pantulan dirinya sendiri dengan mata yang kini penuh bara. “Jika benar aku tidak menarik, mengapa saat aku melelang diriku seratus juta dolar, semua mata tertuju padaku. Mengapa semua orang menyebutku cantik, menawan, memesona. Hanya Septimus yang buta. Hanya dia yang mencaciku, seakan aku ini sampah.” Senyum tipis terbit di bibirnya, senyum yang penuh dengan tekad. “Aku terlalu berharga untuk pria busuk sepertimu, Septimus. Kau akan melihat, aku bisa merebut hati siapa pun yang kuinginkan.” Ia meraih clutch kecil, lalu melangkah dengan mantap menuju pintu. Malam ini, Hotel Imperial bukan lagi saksi pengkhianatan yang membuatnya hancur. Malam ini, Hotel Imperial akan menjadi saksi awal dari permainannya, saksi kebangkitannya, saksi bagaimana Aurelia Selene Hartman menukar luka dengan kekuatan. ** Suara sepatu haknya bergema di lantai marmer, setiap langkahnya anggun sekaligus tegas. Beberapa tamu sempat menoleh, namun Aurelia tetap lurus menuju ruang privat tempat Damian menunggu. Damian Corvin Constantine berdiri dari kursinya begitu Aurelia masuk. Jas hitamnya membalut tubuh tegap, sorot matanya tajam. Pandangannya menelusuri Aurelia dari ujung kaki hingga wajah, gerakan lambat yang jelas menunjukkan ketertarikan. Aurelia menangkapnya, membaca intensitas itu dengan mudah. “Selamat malam, Nona Hartman.” Suara Damian rendah, terkontrol, menyimpan kekuatan. Aurelia membalas dengan senyum tipis. “Tuan Constantine.” Damian melangkah maju, meraih tangan Aurelia lalu mengecup punggungnya. Gerakannya tenang dan berwibawa, seakan sedang memberi penghormatan pada seorang ratu. Tatapannya tetap terkunci pada mata Aurelia. “Harga seratus juta dolar terdengar berlebihan bagi sebagian orang, namun malam ini aku melihat alasan di balik angka itu.” Jantung Aurelia berdegup kencang, meski wajahnya tetap dingin. Ia menarik tangannya perlahan, lalu berkata datar, “Aku datang untuk membuat perjanjian. Aku ingin kau tahu, aku tidak akan menyerahkan kendali.” Senyum Damian melengkung tipis, sorot matanya semakin dalam. “Perjanjian ini akan menuntut keberanianmu. Aku ingin melihat sejauh apa kau mampu menjaga kata-katamu.” Damian menatap Aurelia tanpa berkedip, sorot matanya tajam sekaligus penuh ketertarikan. Jemarinya mengetuk meja pelan sebelum akhirnya ia mengeluarkan selembar kertas dan meletakkannya tepat di depan Aurelia. “Ini perjanjiannya,” ucapnya datar. Aurelia menarik kertas itu, membaca cepat. Tangannya sedikit menegang. Tertulis jelas, ia harus menyetujui setiap kali Damian menginginkan sentuhan fisik. Sebagai gantinya, ia bebas menyentuh Damian kapan pun ia mau. Damian bersumpah tidak akan menyentuh wanita lain selama setahun, dan Aurelia dilarang keras bersama pria lain. Sebagai imbalan, Damian berjanji akan membantu menghancurkan Septimus dan Bella sampai ke akarnya. Aurelia mendongak, menatapnya tajam. “Kau serius menuliskan ini?” Damian mencondongkan tubuh, suaranya rendah dan panas. “Sangat serius. Aku menginginkanmu sepenuhnya. Satu tahun penuh. Tubuhmu, waktumu, dan dendammu.” Aurelia menghela napas, menahan getar tubuhnya. “Kalau aku setuju, kau tidak akan melakukan apa pun tanpa persetujuanku.” Damian tersenyum tipis, lalu meraih tangannya dan mengecup punggungnya pelan. “Itu janji. Tapi ingat, setiap kali kau mengangguk, kau menyerahkan dirimu padaku. Tidak ada jalan mundur.” Tatapan mereka bertabrakan, panas dan penuh tantangan. Sengatan listrik yang menjalari tiap inci kulitnya. Tanpa sadar bibirnya berucap, lirih namun jelas, “Ya…” Damian tersenyum tipis, senyum seorang pria yang baru saja mendapatkan izin paling berharga. Ia bergerak perlahan, memberi waktu bagi Aurelia untuk menarik diri, namun Aurelia tetap diam, napasnya semakin kacau. Bibir Damian menyambar bibir Aurelia tanpa ragu. Sentuhan pertama membuat tubuh Aurelia menegang, napasnya tercekat. Ia belum pernah dicium sebelumnya, bahkan oleh Septimus. Semua terasa asing, panas, membuat darahnya berdesir liar. Damian menekan lebih dalam, bibirnya bergerak mantap, menuntut respon. Lidahnya menyusup, menguasai, memaksa Aurelia membuka diri. Aurelia sempat terkejut, tapi sengatan rasa itu membuat tubuhnya menyerah. Ia mengikuti gerakan Damian, lidah mereka beradu, saling menekan, saling mencari, sampai napas Aurelia tersengal. Tangannya refleks mencengkeram jas Damian, tubuhnya condong semakin dekat. Panas tubuh pria itu membakar, membuat lututnya goyah. Damian menahan tengkuknya, memastikan Aurelia tidak bisa lari dari ciuman itu. Aurelia mengerang pelan, perasaan asing bercampur nikmat menyergap dirinya. Ia tidak bisa berhenti. Setiap desakan bibir Damian membuat dadanya bergetar hebat, seakan ada sesuatu yang meledak di dalam dirinya. Damian meneguk bibir bawahnya, menjilat lalu menggigit lembut hingga Aurelia terisak kecil. Nafas mereka saling bertabrakan, kasar, panas. Damian menatapnya sebentar, sorot matanya hitam pekat. “Kau liar sekali … bahkan saat ini pertama kali bagimu.” Aurelia terengah, wajahnya merah, bibirnya basah. Ia tidak bisa menyangkalnya. Ciuman ini membuatnya hidup. Damian kembali melumat bibirnya dengan lebih rakus, lidahnya masuk lagi, menuntut lebih dalam, menghisap sampai Aurelia gemetar. Kali ini Aurelia membalas dengan berani, lidahnya menekan balik, menegaskan bahwa ia juga menginginkan rasa ini. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Aurelia merasa dirinya diinginkan, menggairahkan, bukan sampah seperti yang selalu diucapkan Septimus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD