Penegasan Lamaran Yang Panas 🔥

1327 Words
Ruang rapat Hartman Corporation mendadak gempar. Riuh rendah suara para pemegang saham bercampur dengan tatapan terbelalak. Nama Aurelia dan Damian menggema di antara dinding kaca yang berkilau, seolah seluruh ruangan menahan degup jantung. “Omong kosong apa ini!” suara lantang Septimus memecah keheningan. Wajahnya memerah, urat di pelipisnya menegang. Ia menatap Damian dengan sorot penuh amarah, lalu melirik ke arah Aurelia seakan menuntut penjelasan. Ricko melangkah maju selangkah, suaranya jernih dan mantap. “Beberapa hari lalu, atas dasar persetujuan langsung dari Nona Aurelia Selene Hartman, sebuah kesepakatan resmi ditandatangani. Dengan itu, Tuan Damian Corvin Constantine secara sah menjadi pemegang saham terbesar kedua di perusahaan Hartman. Memang saham Hartman tak sebanding dengan apa yang sudah dimiliki oleh Tuan Damian, tetapi beliau ingin mempererat hubungan bisnis dengan keluarga Hartman. Dan lebih dari itu, Tuan Damian jatuh hati pada Nona Aurelia.” Seisi ruangan sontak terdiam. Bahkan suara helaan napas pun terdengar jelas. Semua menoleh ke arah Damian yang duduk dengan tenang, senyum tipisnya menambah atmosfer menegangkan. Septimus meradang, telapak tangannya menghantam meja rapat hingga bergema. “Tidak! Aku menolak ini. Aurelia adalah tunanganku! Aku calon suaminya! Lamaran konyol ini tidak bisa diterima!” Aurelia yang sejak tadi duduk tenang akhirnya berdiri. Kursinya bergeser ke belakang, suaranya jernih namun dingin, menghantam keheningan yang mencekam. “Maaf menyela, tapi aku, Aurelia Selene Hartman, ingin menegaskan bahwa sejak detik ini aku dan Septimus Dorian tidak ada hubungan apa-apa lagi. Pertunangan itu aku batalkan.” Suasana ruangan seketika pecah dengan bisikan dan spekulasi. Beberapa pemegang saham saling bertukar pandang, wajah-wajah terkejut bermunculan. “Apa maksudmu, Aurelia?!” seru Septimus tak percaya, matanya melebar, suaranya bergetar antara marah dan takut. Aurelia menatapnya lurus, tatapan penuh kuasa yang sulit ditentang. “Ada perbedaan pendapat yang tidak bisa didamaikan. Dan lebih dari itu, ada indikasi kuat bahwa pihakmu, Septimus Dorian, melakukan tindakan merugikan atas namaku sebagai pewaris sah keluarga Hartman.” Gaby, asisten pribadi Aurelia, melangkah maju. Dengan satu sentuhan di panel meja, layar monitor besar di ruang rapat menyala. Tampilan jelas muncul, memperlihatkan foto dokumen asli yang ditemukan di laci kerja Septimus. Semua pasang mata menatap layar. Tulisan hitam di atas putih tak bisa dibantah. Dokumen itu berisi balik nama saham perusahaan Hartman dari Aurelia Selene Hartman menjadi milik Septimus Dorian. “Tidak… ini tidak mungkin…” bisik salah satu pemegang saham, nyaris tak percaya. Ruang rapat mendadak sunyi. Semua mata menoleh pada Septimus yang kini pucat pasi. Wajahnya berubah, keringat dingin menetes di pelipis, mulutnya terbuka namun tak ada kata yang keluar. Damian melipat tangan, tatapannya menusuk penuh kemenangan. Aurelia berdiri tegak, wajahnya dingin dan berwibawa, seperti pewaris sejati yang baru saja merebut kembali tahtanya. Septimus hanya bisa terperangah, jantungnya serasa remuk. Seluruh ruangan telah melihat bukti pengkhianatannya. “Rapat saya tutup sampai di sini.” Suara Aurelia tegas, jernih, dan berwibawa. Ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan, lalu menambahkan dengan senyum samar yang menusuk, “Kondisi tidak kondusif untuk melanjutkan diskusi. Lagi pula, saya harus membicarakan hal pribadi dengan Tuan Damian. Termasuk mempertimbangkan lamarannya yang… mengejutkan.” Beberapa pemegang saham terhenyak, bisik-bisik kembali pecah. Ucapan itu bagai bara minyak yang sengaja ditumpahkan Aurelia ke wajah Septimus. Dan benar saja, rahang pria itu mengeras, matanya berkilat marah, napasnya memburu. Rapat pun berakhir. Aurelia melangkah keluar ruangan dengan Damian di sisinya. Gaby mengikuti dari belakang, sigap seperti bayangan. “Aurelia!” Septimus berteriak, suaranya memecah lorong kantor. Ia berlari mengejar, menarik lengan jasnya kasar. “Apa kau gila? Kenapa membuat keputusan sepihak begitu?! Aku tidak terima!” Aurelia menoleh perlahan, tatapannya tajam dan dingin, namun ia tidak berkata apa-apa. Gaby segera maju, tangannya menepis genggaman Septimus dengan cekatan. “Jaga sikap Anda, Tuan Septimus,” ucapnya dingin, tubuhnya langsung membentuk perisai di depan Aurelia. Septimus mendengus, nyaris kehilangan kendali. “Kau beraninya ikut campur!” Damian yang sejak tadi tenang akhirnya berhenti melangkah. Ia memutar tubuhnya, menatap lurus ke mata Septimus. Tatapan itu tegas, penuh ancaman dingin. “Jika kau merasa semuanya tidak adil, sebaiknya kau memanggil pengacaramu. Karena setelah ini, masalahmu tidak lagi bisa kau selesaikan hanya dengan teriakan.” Septimus tercekat. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipis. Kata-kata Damian menancap tajam, menyisakan ruang kosong di dadanya. Sementara Aurelia hanya tersenyum tipis, lalu melangkah pergi bersama Damian dan Gaby, meninggalkan Septimus yang tertegun di lorong, sendirian dengan wajah kalah. Septimus masih berdiri di lorong dengan wajah merah padam. Tatapan karyawan yang kebetulan lewat membuatnya makin terbakar. “Apa kau lihat-lihat, hah?! Pergi urus pekerjaanmu!” bentaknya kasar pada seorang staf muda yang langsung menunduk ketakutan. Satu per satu orang yang berpapasan dengannya menjadi sasaran amarah. “Kalian semua pikir aku kalah? Jangan berani menatapku seperti itu!” suaranya menggelegar, membuat suasana kantor tegang. Beberapa orang segera menghindar, tak berani berlama-lama di sekitar pria itu. Septimus benar-benar seperti singa terluka, kehilangan kendali dan harga dirinya di hadapan banyak orang. Di tengah amarah membabi buta itu, ponselnya berdering nyaring. Ia merogoh saku jasnya dengan kasar, nyaris membanting perangkat itu ke telinga. “Apa lagi, Ma?” desisnya dengan nada setengah teriak. Suara Nyonya Desinta terdengar panik. “Septimus, cepat pulang sekarang juga. Bella dan keluarganya datang. Mereka menunggu di rumah.” Septimus terdiam sesaat, dadanya naik-turun menahan marah. Matanya melotot, rahangnya menegang semakin keras. Situasi yang sudah porak-poranda di kantor kini bertambah kacau dengan kabar itu. Tangannya mengepal kuat di samping tubuh, ponsel hampir retak di genggamannya. “Sial…” gumamnya penuh geram. ** Begitu sampai di rumah, suara gaduh langsung menyambut kedatangan Septimus. Nyonya Desinta berdiri di ruang tamu dengan wajah murka, sementara Bella duduk dengan kepala tertunduk, ditemani kedua orang tuanya yang menatap penuh amarah. Ruangan itu penuh hawa panas, nyaris meledak. “Septimus!” suara Desinta melengking. “Kau harus jelaskan sekarang juga! Apa maksudnya Bella hamil?!” Langkah Septimus terhenti, napasnya berat, matanya beralih pada Bella yang menatapnya dengan tatapan takut bercampur nelangsa. “Kau…” gumamnya dalam hati, hatinya membara. Bukankah ia sudah bilang berulang kali agar Bella menggugurkan kandungan itu? Kenapa sekarang malah minta tanggung jawab di depan keluarganya? Nyonya Desinta menunjuk Bella dengan telunjuk gemetar. “Kau pikir ibu ini bisa menerima fitnah murahan semacam ini? Mustahil! Anak dalam kandungan itu bukan milikmu, Septimus! Kau adalah calon tunangan Aurelia Hartman, pemilik Hartman Corp. Mana mungkin kau mengotori dirimu dengan ini!” Orang tua Bella tersinggung berat. Sang ayah berdiri sambil menghentakkan tongkat kayunya ke lantai. “Jaga bicaramu, Nyonya Desinta! Anak saya bukan w************n! Bella tidak berdusta. Dia jelas-jelas bilang Septimuslah yang menghamilinya!” Bella menatap dengan mata berkaca-kaca, suaranya bergetar tapi tegas. “Aku tidak berbohong. Septimus… kau tahu ini anakmu. Aku hanya ingin kau bertanggung jawab. Kau harus menikahiku.” Suasana ruangan makin panas. Nyonya Desinta menepuk meja keras-keras. “Tidak mungkin! Anakku tidak akan menikahi gadis kelas dua sepertimu!” Septimus meremas rambutnya sendiri, frustasi. Kepalanya penuh dengan kekacauan. Di kantor, Aurelia sudah mengumumkan pemutusan pertunangan dan bersiap menjatuhkannya. Di rumah, Bella menuntut pernikahan dengan dalih kehamilan. Seolah semua pintu keluar ditutup rapat di hadapannya. Wajah Septimus pucat pasi. “Kenapa semua ini terjadi sekarang…” batinnya kacau, sementara tatapan Bella terus menusuk, penuh tuntutan. ** Aurelia menyilangkan tangan di d**a, tatapannya penuh percaya diri, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Kau tahu, Damian, aku harus akui langkahmu tadi luar biasa. Menggunakan saham Hartman yang kuizinkan masuk beberapa hari lalu sebagai gebrakan… tepat sasaran. Septimus tidak akan tidur nyenyak malam ini.” Damian duduk santai di kursi kulit hitam, tapi sorot matanya tak pernah lepas dari Aurelia. Ada api yang jelas terbaca di sana, campuran kekaguman dan hasrat. “Aku tidak pernah melangkah setengah hati, Aurelia. Kau memberiku celah, aku akan menutupnya dengan kemenangan.” Aurelia tertawa lirih, meski ada desiran halus di dadanya saat menyadari betapa kuatnya daya tarik pria itu. “Aku senang bisa bekerja sama denganmu. Untuk pertama kalinya, aku merasa tidak sendirian menjatuhkannya.” Damian perlahan berdiri, tubuhnya mendekat hingga hanya berjarak beberapa langkah dari Aurelia. Suaranya rendah, namun menekan. “Jadi… tentang lamaranku tadi. Apa kau menerimanya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD