Wajah wanita itu terlihat gusar dengan badan yang terus bergerak gelisah di bed rumah sakit tempatnya menginap sejak tiga hari yang lalu.
Tatapannya tajam dan penuh kesiagaan ke arah pintu, seolah menunggu sambil menghitung detik demi detik yang menjadi penentuan tentang dua pilihan, antara nyawanya yang melayang atau akan ada orang yang datang menyelamatkan.
Bukan hanya wajahnya yang terlihat gusar, dia juga terlihat pucat pasi dengan perut yang terus bergejolak memikirkan apa yang akan terjadi jika dia tidak bisa kabur hari ini dari rumah sakit.
Hingga handle pintu yang ditekan ke bawah membuat wanita bernama Rayya itu langsung tersentak sambil menekan dadanya.
“Abang…” Bisik Rayya membuat pria dengan jas dokter itu langsung mengangguk penuh makna.
Napas Rayya semakin memburu menunggu pria bernama Arsa itu membuka mulutnya.
“Tolong Rayya, Bang. Tolong, Rayya udah kehilangan Rasya.” Air mata Rayya merebak begitu saja, dia meraih tangan Arsa dan menggenggamnya erat.
Tatapannya putus asa namun juga mengiba, berharap dari puing-puing keputus asaannya itu, masih ada secercah asa untuk hidupnya.
Namun, saat Arsa melepaskan genggaman tangannya, detik itu juga Rayya merasa nyawanya benar-benar akan melayang hari ini.
“Abang minta maaf ngga bisa nolong Rasya. Ini passport kamu.” Arsa tiba-tiba langsung menyerahkan sebuah passport pada Rayya.
“Ini? Maksud Abang?” Tanya Rayya dengan tatapan yang bingung.
“Abang udah urus semuanya, nama kamu sekarang Rayya Kirana, kamu anak adopsi dari pasangan ini." Ucap Arsa sambil menunjukkan sebuah foto wanita dan paruh baya di ponselnya. "Namanya Bu Martha dan Pak Deni. Mereka berdua udah meninggal.”
Rayya menganga dengan apa yang disampaikan oleh Arsa, air matanya langsung tumpah ruah atas apa yang telah dilakukan oleh abang angkatnya itu.
“Akta kelahiran kamu udah Abang urus, semua dokumen-dokumen pribadi kamu udah sesuai dengan nama kamu sekarang. Abis ini ada petugas gizi yang datang, nanti kamu sembunyi di dalem troli, ya? Dia yang bakal bawa kamu keluar dari rumah sakit ini. Di dalam troli itu semua dokumen kamu udah Abang siapin, ada uang cash dua ratus juta buat kamu. Tapi abis ini, Abang udah ngga bisa bantu lagi, ya, Ray? Jadi kamu harus pergi sejauh mungkin, jangan sampe ketangkep, paham?”
Arsa mengusap lembut rambut Rayya, tatapannya terlihat prihatin pada gadis malang itu.
“Abang … Makasih, ya, Makasih banget, Rayya ngga tau kalo ngga ada Abang, mungkin bentar lagi Rayya bakal nyusul Rasya.”
Arsa langsung menggeleng, tangannya terulur untuk mengusap air mata di wajah Rayya dengan senyum getir.
“Abang yang banyak salah sama kamu sama Rasya, gara-gara keluarga Abang, kamu harus hidup kaya gini, maaf, ya? Abis ini, Abang cuma bisa bantu doain kamu, Abang ngga bisa bantu lebih lagi, Ray. Maaf, ya?”
Rayya mengangguk dengan air mata yang justru jatuh semakin banyak. “Ini udah lebih dari cukup, Abang. Udah lebih dari cukup.”
“Sepuluh menit lagi orangnya dateng, Abang harus pergi sekarang. Kamu baik-baik, ya, di mana pun kamu berada. Jaga kesehatan, jangan telat makan, cari bahagia kamu, ya, abis ini? Janji?”
Arsa menepuk-nepuk puncak kepala Rayya masih dengan senyum miris dan ketakutan atas masa depan yang belum pasti.
“Janji, Rayya janji, Abang.” Rayya tersenyum semakin lebar, dia mengusap air mata di wajahnya dan menarik napasnya dalam.
Dia harus berjuang sekali lagi untuk hidupnya, setidaknya kali ini dia memiliki peluang yang lebih besar dan kesempatan untuk merasakan kebebasan itu sebagai manusia.
Semua berjalan sesuai dengan rencana Arsa, sepuluh menit kemudian petugas gizi itu datang dan langsung mengangguk dengan tatapan penuh maknanya pada Rayya.
Rayya langsung turun dari ranjang dan petugas itu memberikan scarf untuk Rayya juga sebuah masker.
“Pakai ini, ya, Mba? Ini ganti bajunya sekalian. Sama ada wig kalo Mba mau pake.” Rayya langsung mengangguk, bahkan mengganti baju di depan petugas wanita itu tanpa perlu ke kamar mandi.
Waktunya tidak banyak dan dia harus berhasil dalam kesempatan kali ini, karena jika dia gagal, maka tidak akan ada lagi kesempatan yang lain.
Jantung Rayya terus berdebar keras dengan helaan napas yang terasa sesak dalam proses pelarian dirinya.
Di dalam troli besi yang sempit dan pengap itu, dia berkali-kali mencoba bernapas dengan benar, namun yang ada justru dia semakin berdebar dengan telapak tangan yang berkeringat dingin.
Saat troli itu dibuka, Rayya langsung dibantu keluar. “Saya hanya bisa membantu sampai sini, Mba.”
Rayya mengangguk lalu mengucapkan terima kasihnya, dia meraih ransel kecil yang berisi ‘bekal’ dari Bang Arsa.
Lalu memakai topi, masker dan kerudung yang dia lilit asal dan keluar dari komplek rumah sakit itu dengan jalan yang sedikit tergesa.
Setelahnya Rayya menyetop taksi, entah ke mana tujuannya, dia juga belum tau, yang penting menjauh sejauh mungkin dari rumah sakit itu.
Perutnya yang terasa lapar karena dia berpuasa selama delapan belas jam sejak kemarin membuat Rayya akhirnya meminta berhenti di salah satu minimarket untuk membeli sesuatu.
Dia butuh mengisi perut supaya bisa berpikir jernih tentang ke mana dia harus melangkah setelah ini.
Rayya melepas scarf yang dia lilit asal tadi, memilih menumpang untuk meminjam toilet di minimarket itu lalu memakai wignya.
Setelah wignya terpasang sempurna, Rayya kembali memutuskan untuk memakai scarf itu dengan benar, supaya menutupi rambutnya dengan baik kali ini.
Kepalanya terus berisik memikirkan apa yang harus dia lakukan. Minimal dia harus menjauh dari Jakarta, ke luar pulau kalau bisa, mungkin menggunakan kapal?
Karena untuk ke luar negeri rasanya tidak mungkin, dia butuh visa dan masa tinggal di setiap negara memiliki batas waktu tinggal, apalagi jika tanpa tujuan untuk kepentingan bisnis sepertinya.
Meski pun identitasnya sudah diubah, namun tetap saja dia takut orang-orang dari keluarga Raespati akan bisa menemukannya.
Dia hanya membeli dua onigiri dan air mineral, memakannya dengan tidak tenang sambil memperhatikan sekitar, dia duduk di bangku depan minimarket yang posisinya paling ujung, tatapan matanya terlihat gelisah penuh waspada.
Takut jika dia benar-benar tertangkap setelah ini.
Malam semakin beranjak, dan Rayya masih belum bisa menentukan ke mana dirinya harus pergi, dia dipenuhi ketakutan, bagaimana jika dia tertangkap begitu melakukan pemesanan tiket entah itu tiket untuk transportasi jalur darat maupun udara.
Ingin check-in hotel juga dia takut, bagaimana jika tidak lama setelah dia check-in, datanya langsung terbaca oleh keluarga Raespati dan dia langsung tertangkap.
Ada ketakutan saat dia menyadari jika mau tidak mau di harus pergi ke pelabuhan malam ini juga, Rayya tau pelabuhan bukan tempat yang aman untuk wanita apalagi dia datang seorang diri.
Antara tertangkap oleh keluarga Raespati atau pria yang mungkin akan menjahatinya, Rayya rasa tidak ada bedanya, makanya dia dilanda kegamangan saat ini.
Kakinya terus melangkah tanpa tau arah, dia berada di kompleks pertokoan yang sebagiannya sudah mulai tutup.
Langkahnya tergesa dan tatapannya awas ke sekitar, hatinya masih diselimuti ketakutan, hingga saat tatapannya menyisir sekitar, tubuhnya langsung menegang sempurna dengan langkah yang refleks mundur, dia langsung membalikkan tubuhnnya secepat kilat.
Itu orang-orang Raespati yang dia kenal. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa mereka juga ada di sini? Sebanyak apa Raespati menyebar orang untuk bisa menemukannya?
Langkah Rayya perlahan semakin cepat, tangannya mulai gemetaran, apalagi saat dia mendengar suara dari mereka yang menegurnya.
“Hei!” Teriakan lantang itu membuat Rayya berjalan semakin cepat.
“Iya, itu dia! Aku melihat sekilas wajahnya tadi! Sialann!” Itu teriakan lain yang membuat Rayya langsung berlari secepat kilat saat mereka mulai mengejarnya.
Rayya berlari tak tentu arah, dia hanya berusaha untuk lari secepat mungkin.
‘Tidak … aku tidak boleh tertangkap. Tidak boleh, bagaimana pun caranya.’ Rayya membatin dengan tekad yang begitu kuat.
Jika dia tertangkap, maka dia bukan hanya kembali karena mereka membutuhkannya, lebih dari itu mereka pasti akan menyiksanya lebih dulu dan membuatnya sekarat sebelum mengambil apa yang menjadi tujuan mereka.
Rayya menoleh pada mereka, yang jaraknya masih begitu jauh, hingga saat dia berbelok ke sebuah tikungan yang menuju ke deretan gedung-gedung tinggi, Rayya melihat seorang pria yang tengah sibuk dengan ponselnya.
Rayya langsung melepas masker juga scarf-nya, lalu mengambil botol air mineral di pocket tasnya.
Lalu dia membuntal botol itu dengan scarf-nya, dan melemparnya sekuat mungkin, melemparnya ke arah yang berlawanan dengan posisinya sekarang.
Dia mengambil shopping bag yang sempat dia beli di minimarket tadi, lalu memasukkan tasnya ke dalam sana dan menyampirkan shopping bag itu ke bahunya.
Setelahnya dia berbalik dan kembali mundur, menuju ke arah pria yang masih sibuk dengan ponselnya itu.
Lalu, tanpa aba-aba, dia menarik kuat tangan pria itu masuk ke gang kecil yang menjadi jalan pembatas antar gedung. Dia jatuhkan shopping bag-nya begitu saja di sisi tubuhnya.
Rayya bisa melihat pria itu sangat terkejut, saat tiba-tiba ditarik paksa dan didorong cukup kuat ke pagar dinding di balik gedung tinggi yang menjulang.
“Abang, tolong Rayya sebentar saja. Ini darurat.” Rayya tau-tau langsung menarik kuat lengan pria itu dan memeluknya erat-erat.
“Sebentar aja, Abang. Tolong sebentar aja, Rayya butuh pelukan.” Bisik Rayya yang mendekap sangat erat tubuh pria yang sialann wangi itu.
Dia bersembunyi di d**a pria itu dan bisa mendengar betapa jantungnya berdegup sangat keras saat mendengar langkah kaki yang berlari dan suara-suara mereka yang saling bertanya pada satu sama lain karena kehilangan jejaknya.
Hingga saat dia mendengar langkah kaki itu menjauh, barulah Rayya melepaskan pelukannya pada pria yang langsung memberikan tatapan tajamnya dan siap memuntahkan amarahnya atas tindakan kurang ajar Rayya.
“Abang … Rayya …” Rayya terlihat gugup, kenapa tatapan pria itu yang mengintimidasi justru terlihat menawan di matanya?
“Abang … Abang … kamu kira saya abang tukang bakso?” Nada suaranya menyentak dan penuh emosi, namun Rayya justru merasa terhibur dengan tanya yang keluar dari bibir seksi itu.
Alih-alih menanyakan hal-hal yang lebih urgent, seperti apa yang dilakukan Rayya dengan tiba-tiba menarik dan memeluknya, atau meminta ganti rugi karena telah melakukan hal tidak senonoh, pria itu justru terganggu karena sebuah panggilan.
Senyum di bibir Rayya terbit begitu saja, senyum yang Rayya sadari sudah lama hilang, dan semua itu karena pria yang baru saja menyelamatkan nyawanya.
Namun, wanita itu kembali dibuat waspada dengan tubuh yang gemetar saat mendengar langkah kaki yang mendekat disusul dengan umpatan dan suara yang sangat dikenalinya.
Rayya langsung menarik kuat jas pria itu, membalik posisi mereka hingga kini Rayya yang bersandar di dinding, lalu menarik wajah pria itu dengan mengalungkan tangannya di leher sang pria.
“Maaf, Abang, tapi kita harus cipokan dulu.” Rayya langsung melumat bibir pria itu dan menekan tengkuk pria itu untuk tetap menunduk.
Hingga pria itu secara refleks menumpukan tangannya ke dinding karena ditarik terlalu kuat oleh wanita asing yang melakukan hal lebih gila kali ini.
Malam itu, Rayya rasanya mengalami hal paling gila sekaligus mengerikan, namun karena pria asing yang menolongnya, Rayya merasakan percikan api yang membuat hatinya entah kenapa terhibur.