Bab 11 | Training Sebagai Calon Istri

1730 Words
Devin terus mengulum senyum sambil menarik tangan Rayya menuju ke kursi ekonomi milik mereka, wajah Rayya masih ditekuk dan pandangannya terus tertuju pada Rayyan yang bahkan sudah duduk nyaman di kursinya. Begitu mereka duduk dan mengenakan seat belt, barulah Devin berbisik sambil tersenyum geli. “Satu lagi, Ray. Dia memang sedikit pelit.” Ucap Devin yang masih melihat wajah kesal Rayya karena menahan malu. “Hey, itu mah bukan sedikit pelit lagi keles! Emang pelit melintir di samping tajir melintir! Buat ukuran taipan kaya raya aja harusnya dia naik pesawat pribadi!” Rayya mendengus lagi sambil bersidekap, melongokkan kepalanya karena dia mendapat posisi kursi di aisle, namun dia sudah tidak bisa melihat wajah Rayyan yang tadi masih tersenyum puas dengan tatapan menjengkelkan. Perjalanan yang memakan waktu sekitar tujuh jam itu akhirnya berakhir, jujur itu adalah perjalanan terlama yang Rayya rasakan. Rayya tidak banyak bertanya apalagi bicara setelah keluar melewati imigrasi, sesungguhnya dia sedikit pusing dan mual, mungkin karena ini pertama kalinya dia terbang dengan waktu tempuh yang lumayan lama. Dia dan Rasya hanya pernah pergi ke Singapura saja selama masih berada dan tinggal dengan keluarga Raespati. Memikirkan hari-harinya yang telah lalu membuat Rayya menggigit bibirnya dengan mata yang terasa memanas. Itu hari-hari mengerikan yang telah menjadi makanannya selama belasan tahun bersama adiknya. Dulu, dia merasa kuat karena ada Rasya yang harus dia lindungi, namun semenjak meninggalnya Rasya, Rayya sempat kehilangan arah hidupnya, hingga tekad untuk kembali bangkit itu tiba-tiba muncul, dia ingin hidup dengan layak dan bebas dari Raespati supaya dia bisa merawat makam Rasya sampai dia tua nanti. Setidaknya, dia tetap bisa melindungi dan merawat adiknya, meski kini melindungi dan merawatnya dengan cara yang berbeda. Rayyan yang tidak mendengar suara Rayya langsung menoleh, dan melihat wanita itu yang terlihat lemas juga sedikit pucat, tatapan matanya juga sayu seperti memiliki beban yang dipendam. Rayya yang merasa diperhatikan langsung menoleh, saat itu senyumnya langsung terbit secerah pelangi. “Kenapa, Abang? Kangen denger suara Rayya? Bilang aja, si, ngga usah gengsi.” Ucap wanita itu tepat saat Rayyan menoleh untuk mengecek keadaannya. Rayyan yang mendengar itu langsung mendengus dan memutar bola matanya malas. “Abang jahat tau sama orang yang berjasa dalam hidup Abang, Rayya ke sini buat bantu Abang supaya Abang pulang ngga tinggal nama, loh, tapi tega-teganya Abang naro Rayya di kursi ekonomi.” Ucapnya masih membahas apa yang terjadi di pesawat. “Saya membayar kamu mahal, dan kamu bukan calon istri saya!” Rayyan pun ingin membahas masalah di pesawat tadi dan memberi peringatan keras pada Rayya. “Yeu! Masa depan siapa yang tau, tau-tau nanti Abang yang ngejar-ngejar Rayya dan jadi cinta mati! Awas kena tulah sama mulut sendiri!” “Mimpi kamu terlalu tinggi, Rayya! Bisa mati muda karena darah tinggi saya jika menyukai wanita berisik seperti kamu!” “Alah! Berisik gini juga bikin Abang kehilangan pas Rayya diem, kan? Udah terbukti!” Rayya memeletkan lidahnya merasa menang. “Buktinya tadi di bandara Abang sampe nanya Rayya sariawan apa ngga! Terus baru aja Abang nengok ke arah Rayya karena Rayya diem aja, kan? Ngaku!” Tandasnya lagi yang membuat Rayyan melotot padanya. “Susah bicara dengan wanita jadi-jadian seperti kamu!” Rayyan langsung berjalan cepat meninggalkan wanita itu, menyusul Devin yang sibuk masih mencari supir yang akan mengantar mereka ke hotel. “Abang butuh bukti apa kalo Rayya ini wanita tulen?!” Sentak Rayya dengan nada kesal, namun pria itu sudah mengabaikannya. Begitu mereka tiba di hotel, Devin langsung melangkah masuk ke kamarnya yang ada persis di depan kamar Rayyan. “Kamu mau apa?! Kamar kamu di sebelah kamar Devin!” Sentak Rayyan karena Rayya yang tau-tau mengikutinya dan sudah masuk. “Rayya sekamar sama Abang aja, ya?” Pintanya dengan nada serius dan sedikit memohon, karena sesungguhnya Rayya takut untuk sekamar sendirian. Pikirannya dipenuhi ketakutan hingga membuatnya menjadi paranoid dengan kemungkinan jika orang-orang Raespati akan muncul dan menyeretnya. “Kamu ini, ya!! Saya tidak ingin mendengar ucapan konyol kamu, Rayya! Pergi ke kamar kamu sekarang!” “Ya, udah, nanti aja, Abang! Rayya masak dulu aja, ya, sebelum Abang pergi meeting? Masih satu jam lagi, kan, meeting, nya?” Ucap Rayya. Dia menemukan alasan yang tepat. Dia tadi mendengar Rayyan dan Devin membicarakan tentang jadwal mereka dalam perjalanan menuju ke hotel. “Rayya bisa buat makanan yang cepet dan tetep enak, satu jam cukup, kok, buat masak. Kata Devin, Abang, kan, tadi ngga ada makan di pesawat soalnya makanannya ngga enak. Kan, gunanya Rayya di sini mastiin perut Abang tetep kenyang.” Barulah saat itu Rayyan membuka pintunya lebih lebar. “Tapi kamu tetap tidur di kamar kamu sendiri nanti malam. Jangan membuat ulah dan membuat kepala saya pusing!” “Iya, Abang. Orang niat Rayya bikin Abang betah sama Rayya dan siapa tau bisa cinta, kok, mana ada Rayya niatnya bikin Abang pusing.” Rayya tersenyum manis dan menggeret kopernya masuk ke dalam. Begitu dia memasuki kamar dengan tipe presidential suit itu, Rayya hanya bisa menganga sambil menahan napasnya melihat betapa mewah desain interiornya. Bahkan meja makannya sangat besar, ada sofa ruang tamu super nyaman dan besar, entah di mana kamar utamanya berada, begitu masuk dari pintu yang bisa Rayya lihat adalah sofa ruang tamu yang begitu mewah dan nyaman dengan pemandangan yang langsung menghadap city view. “Cepat sana memasak! Semuanya sudah lengkap di kulkas!” “Iya, iya, Abang! Sabar kenapa, Rayya mau napas dulu, Ya Allah. Jangan jahat-jahat jadi bos, Abang!” Wanita itu meletakkan ransel kecilnya di sofa lalu duduk di sana dan menyender dengan nyaman. Rayyan pun membiarkan dan masuk ke kamar. Rayya lalu beranjak langsung menuju dapur, entah mengapa, dia merasa nyaman dan aman setiap berada di tempat yang sama dengan Rayyan, seolah keluarga Raespati tidak mungkin mendekati radar di mana ada Rayyan Alastair di sana. Begitu membuka kulkas, Rayya kembali menganga dengan bahan-bahan yang ada, bahkan ada tempe dan beberapa jenis tahu. Sayur mayurnya lengkap dan perdagingan mulai dari ayam hingga salmon. “Wow!” Dan saat Rayya membuka kabinet, perbumbuan di sana juga lengkap, mulai dari lengkuas hingga batang sereh. Semuanya ada! Bagaimana bisa semua sudah disiapkan seapik ini? “Ternyata memang benar, ya, uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Saat kita memiliki banyak uang, semua bisa diusahakan hanya dengan menjentikkan jari.” Rayya menggeleng dengan pikiran tidak habis pikir. Lalu, dia langsung memakai apronnya, mengeksekusi bahan-bahannya dan harus dia selesaikan dalam waktu singkat sambil berpikir bagaimana caranya agar dia tetap tidur di ruangan yang sama dengan Rayyan, dia harus bisa tidur satu ruangan dengan pria itu, di mana saja, bahkan jika harus tidur di karpet sekali pun dia tidak masalah! Itu lebih baik baginya daripada di kamar hotelnya seorang diri! Rayya memasak yang cepat saja, ayam bumbu bali dengan wangi yang membuat perut keroncongan. Semua menu sudah tersaji di meja makan, dia menambahkan sentuhan terakhir di ayam bumbu balinya dengan menaburi potongan cabai meja dan hijau dengan daun bawang, dia juga membuat sayur urap, perkedel kentang dengan keripik tempe sebagai menu pendampingnya. Tepat saat semuanya siap tersaji di meja makan, Rayyan sudah keluar dan terlihat berganti pakaian, kali ini lebih rapi dengan setelan kemeja warna baby blue yang dipadukan dengan celana bahan berwarna navy gelap. "Masya Allah, tampannya calon suami masa depan Rayya." Ucapnya dengan senyum sumringah sambil menarik kursi dan mempersilahkan pria itu duduk. “Saya pulang sekitar jam sembilan malam, jadi pastikan makan malam sudah siap sebelum saya pulang, saya ingin makan malam dengan opor ayam lengkap dengan lontong dan kering kentang juga emping.” Rayya yang sedang melayani mengambilkan nasi dan lauk untuk pria itu langsung mengulum senyumnya. “Iya, Abang. Nanti bukan cuma Rayya masakin sesuai request Abang, Rayya sambut juga kepulangan Abang dengan senyum manis dan wajah yang cantik biar Abang terpesona. Ngomong-ngomong, kok, Rayya kaya lagi training jadi istri Abang, ya, alih-alih jadi koki pribadi?!” Rayya menyerahkan piringnya pada pria itu sambil menaik-turunkan alisnya. Mendengar bualan konyol dari bibir wanita itu membuat Rayyan kembali mendecak, ada saja hal gila yang dibicarakan pria itu. Apa-apaan training sebagai calon istri?! Sinting memang! “Kebanyakan mengkhayal kamu! Sana kembali ke kamar kamu. Saya WA password kamar ini dan kamu bisa datang saat sudah akan membuat makan malam.” Rayyan yang malas mendebat karena dia tau jika terus meladeni celotehan Rayya maka tidak akan pernah selesai akhirnya langsung kembali mengusir pria itu. “Rayya di sini aja ngga si, Abang? Bukannya sama aja?" “Sinting, ya, kamu?! Bagian mana yang sama?! Kamar mandinya hanya satu! Ranjangnya hanya satu! Saya tidak mau kamu memakai ranjang dan kamar mandi saya!” “Harus jadi istri Abang dulu ya kalo mau sharing kamar mandi sama ranjang?” “Rayya! Keluar sekarang! Saya ingin makan. Kamu memiliki waktu untuk istirahat, seharusnya kamu manfaatkan dengan baik.” “Iya, iya, Abang! Selamat menikmati, Rayya keluar dulu.” Ucap Rayya yang justru kembali rebah di sofa ruang tamu dan menghitung detik demi detik yang berlalu sebelum dia kembali mendapat pengusiran dari pria itu. Begitu Rayyan beranjak dari meja makan, dia justru mendapati Rayya yang telentang sambil memejamkan matanya di sofa, Rayyan menarik napasnya panjang sebelum mengeluarkan emosinya lagi untuk memarahi wanita yang sulit diatur itu. “Rayya! Pergi ke kamar kamu sekarang!” Teriak Rayyan membuat Rayya langsung tersentak dari tidur-tidur ayamnya. “Abang! Ihhhh! Jahat banget! Rayya, kan, masih nunggu Abang makan, siapa tau Abang butuh yang lain.” Ucapnya dengan nada yang tetap tenang dan lembut. Rayyan yang mendengar alasan wanita itu seketika terdiam dengan rasa sesal yang seketika menelusup ke dalam dadanya. Lalu, hatinya entah kenapa berbisik, mulai membandingkan Rayya dengan koki yang sebelumnya. Rasanya, koki yang sebelumnya tidak pernah seperti ini! Menungguinya makan karena takut dia membutuhkan sesuatu, dan Rayya sudah melakukannya dua kali. Tadi pagi, juga kali ini. Sesungguhnya, manner-nya sebagai seorang koki benar-benar menjadi nilai plus yang membuat Rayyan cukup terkesima. Dulu, semua kokinya, begitu selesai menyiapkan makan, akan menghilang dan pergi entah ke mana, tidak peduli apakah Rayyan membutuhkan sesuatu yang lain atau tidak. Rayyan bahkan jarang bertatap muka dengan mereka, karena begitu dia masuk ruang makan, hanya ada makanan yang tersaji. Namun kali ini, dia merasakan sesuatu yang berbeda, seolah baru kali ini benar-benar merasa memiliki koki pribadi yang membuat makannya terasa lebih nikmat dan jauh lebih enak secara rasa, dan perasaan hangat yang menelusup ke dalam d**a, karena tau ada orang yang menunggunya untuk memastikan Rayyan benar-benar menikmati makanannya tanpa kekurangan satu apa pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD