Setelah menampar pipinya sendiri, Rayya langsung menepuk-nepuknya ringan sambil meminta maaf pada sang pipi yang dengan terpaksa harus dia aniaya.
Kini dia merasa jika pipinya itu perih-perih pedas, rasanya digigit semut di seluruh pipinya.
Dia menatap pria di depannya dengan tatapan kikuk. Apalagi saat melihat pria itu menatapnya tajam dan terus menarik napasnya panjang, seolah siap untuk memuntahkan lahar panas amarahnya.
“Rayya minta maaf, Abang.” Bisik Rayya lagi, karena permintaan maafnya belum terjawab, dan Rayya akan terus meminta maaf sampai dia dimaafkan.
“Jangan panggil saya Abang!” Rayyan menyentak dengan tatapan yang sengit, dia menyugar rambutnya kasar dengan aura yang kelam.
“Maaf, Aa.” Ucap Rayya dengan nada polosnya, dan itu membuat Rayyan semakin dibuat naik pitam.
“Memang apa bedanya Abang dan Aa, hah?!” Rayyan kembali berteriak kesal.
Rayya yang mendengar bentakan itu langsung menggigit bibirnya. "Ya ... jelas beda. Kan, tidak ada Aa tukang bakso."
Niatnya Rayya ingin mencairkan suasana, namun dia justru kembali mendapat semprotan amarah dari pria itu.
“Ah, sudahlah! Sekarang saya akan menuntut kamu! Kamu melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepada saya dan melecehkan saya! Kita ke kantor polisi sekarang!”
Rayyan langsung menarik tangannya begitu saja, membuat Rayya langsung kelimpungan.
“Abang … Jangan … Jangan ke kantor polisi … Rayya minta maaf … Ini … urusan kita bisa diselesaikan dengan kepala dingin, kok, Abang.”
Rayya langsung menarik balik tangan Rayyan dan dia menahan tubuhnya dengan cara berjongkok supaya Rayyan berhenti menyeretnya.
Mendengar itu, Rayyan ikut berjongkok dan mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di kening Rayya.
“Saya yang tidak bisa menggunakan kepala dingin menghadapi wanita gila seperti kamu!”
“Tapi … yang tadi … juga ciuman pertama Rayya, Abang. Kalau Rayya bisa milih juga, Rayya ngga mau cium-cium Abang.”
Wanita itu langsung menyembunyikan wajahnya di antara lututnya lalu mulai terisak.
“Diam!” Rayyan langsung menyentak lagi dan melihat ke sekeliling, bisa-bisa dia dikira merudapaksa gadis itu.
“Maafin Rayya aja, ya, Abang. Maaf … Rayya harus apa, deh, Abang. Supaya Abang mau maafin Rayya, tapi mintanya jangan aneh-aneh, ya, Abang?” Kini Rayya menatapnya dengan tatapan yang berlinang air mata.
Rayyan hanya bisa menganga dan memutar bola matanya jengah.
“Ya sudah, saya telepon polisi saja suruh menjemput kamu di sini jika kamu tidak ingin saya seret ke kantor polisi.” Rayyan masih teguh pendirian untuk melaporkan tindakan wanita itu.
Pria itu bahkan sudah kembali berdiri dan mengambil ponselnya.
Rayya langsung ikut berdiri dan tau-tau merebut ponsel itu dari tangan Rayyan dan menyembunyikannya di balik tubuh.
“Kamu!” Rayyan kembali mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan muka Rayya.
“Abang, tolonglah. Sesama manusia harus saling tolong menolong. Tolong lepasin Rayya.”
“Sesama manusia juga harus tau sopan santun dan dilarang melecehkan” Rayyan membalikkan kata-kata wanita itu untuk menyindirnya.
“Ya, makanya ini Rayya minta maaf soalnya udah ngga sopan sama Abang.”
Rayyan mendesah lagi, wanita itu pandai bicara dan memutar kata-kata ternyata.
“Sudahlah, saya malas berurusan dengan perempuan gila seperti kamu. Kembalikan ponsel saya jika kamu masih mau selamat dari kejaran polisi!”
Rayyan memberikan tatapan tajamnya, dan itu membuat Rayya menatapnya dengan tatapan menelisik, mencari kejujuran dari ucapan pria itu.
“Cepat!” Teriak Rayyan lagi membuat Rayya langsung mengembalikan ponsel pria itu.
“Pak Rayyan?” Panggilan yang terdengar tidak yakin itu memutus obrolan keduanya.
“Devin.” Panggil Rayyan melihat asistennya.
“Saya tadi sempat ragu mengenali Anda. Pak Rayyan ada urusan apa di gang sempit ini?” Tanya Devin dengan sopan.
Rayya diam-diam mencuri dengar, dia mengambil shopping bag yang berisi harta karunnya untuk bertahan hidup lalu berjalan di belakang kedua pria itu.
“Ada wanita gila yang hampir menculik saya.” Ucap Rayyan dengan keras, membuat Rayya yang masih ada di belakangnya mendecak dengan bibir mencucu.
‘Ck! Dasar pembual!’ Rayya menggerutu dan mengikuti Rayyan dari belakang untuk keluar dari gang itu.
Devin melirik ke belakang di mana perempuan yang tidak dikenal itu masih berjalan, keningnya mengernyit dalam penuh rasa penasaran atas apa yang akan terjadi, namun dia enggan bertanya lebih lanjut.
Ada yang lebih penting yang ingin dia bahas langsung dengan atasannya saat ini.
“Pak, sebenarnya ada hal urgent yang ingin saya sampaikan.”
Dan entah mengapa, Rayya ingin sekali mencuri dengar obrolan mereka.
“Ada apa?”
“Vincent mengundurkan diri menjadi koki pribadi Anda. Dia hanya mengirim email pengunduran dirinya tiga puluh menit yang lalu, Pak.”
Devin sampai menahan napas saat menyampaikan informasi yang sama yang telah berulang sejak beberapa waktu yang lalu.
“Tidak profesional sekali pria itu!” Rayyan mendecak keras pada koki yang baru bekerja dengannya selama dua bulan ini.
Devin hanya tersenyum kaku dan mengangguk.
Atasannya itu selalu memiliki koki pribadi yang akan mengikutinya ke mana pun dia pergi dan harus siap sedia dua puluh empat jam membuat apa pun yang sedang diinginkan oleh Rayyan.
Dan semua koki yang pernah bekerja padanya harus bisa memenuhi standar rasa untuk lidahnya, dan yang menjadi masalah lain adalah, lidah Rayyan sangat pemilih dan selalu menyusahkan orang.
Rayyan sendiri sangat tidak menyukai makanan western, padahal hampir sebagian hidupnya semenjak kuliah dihabiskan di luar negeri.
Saat tinggal di New York, Rayyan memiliki koki pribadi, beliau adalah pria paruh baya yang sebelumnya sudah bekerja lebih dulu pada keluarganya, namun Paman Aldo sudah pensiun sejak tiga tahun yang lalu.
Sehingga, sejak tiga tahun ke belakang Rayyan selalu mencari koki pribadi yang bisa mengikutinya ke mana pun dia pergi, karena Rayyan memiliki mobilitas tinggi.
Namun, dari belasan koki yang pernah melayaninya, tidak ada satu pun yang bertahan lebih dari tiga bulan, mentok-mentok di dua bulan.
Itu semua karena Rayyan memiliki selera yang tinggi, penuh tuntutan masakannya harus begini dan begitu, pokoknya harus cocok di lidahnya.
“Dan besok pagi Pak Rayyan harus ke Macau selama satu minggu.” Devin melanjutkan ucapannya, inilah yang menjadi sumber masalahnya.
Bosnya itu sangat rewel perihal makan, jika tidak ada masakan yang cocok dengan lidahnya, maka itu akan menjadi kiamat kecil bagi hari-hari Devin setelahnya.
Rayya yang masih mencuri dengar di belakang mereka, tiba-tiba mengulum senyum dengan jantung yang berdegup keras.
Dia bahkan menekan dadanya dan bisa merasakan betapa cepat jantungnya berdenyut. Apakah ini takdir baik yang disiapkan untuknya? Di tengah keputusasaannya tentang kehidupan yang lebih manusiawi?
Setelah lolos dari pengejaran keluarga Raespati dan dia tidak tau harus pergi ke mana, dia bertemu dengan pria yang tampan nan rupawan, dan sepertinya juga seorang taipan, sedang kebingungan mencari koki pribadi yang bisa memenuhi tuntutan lidahnya yang banyak mau.
Rayya harus mengambil kesempatan ini, bagaimanapun caranya, dia harus berhasil. Hingga dia kembali mendengar ucapan pria yang baru dia ketahui bernama Rayyan itu karena pria di sampingnya memanggil demikian.
“Artinya malam ini kamu harus mendapatkan koki yang cocok dengan lidah saya dan besok pagi harus sudah terbang bersama saya ke Macau. Kita seleksi malam ini juga.”
Lihat, kan, nama mereka saja hampir mirip, hanya berbeda satu huruf, sepertinya memang mereka sudah ditakdirkan untuk saling bersinggungan. Rayya yakin akan hal itu.
Rayyan mengatakannya dengan tegas, Devin yang mendengar itu langsung menahan napas. Bosnya itu juga hobi sekali mewujudkan sesuatu dalam semalam, sudah seperti Roro Jonggrang yang minta dibuatkan seribu candi saja. Namun ini versi modern.
“Saya tidak mau tau Devin. Besok harus ada koki yang ikut dengan saya ke Macau. Kita seleksi masakannya jam berapapun itu malam ini! Kamu cari kandidatnya dan hubungi mereka dalam waktu satu jam.”
Masalahnya tidak semudah itu! Semua koki yang profesional dan terkenal pasti memiliki jam terbang tinggi! Ingin rasanya Devin berteriak, namun yang terjadi dia hanya mengangguk dengan rahang yang terkatup rapat.
“Abang, Rayya koki, kok, siap dites!” Rayya tiba-tiba saja mengangkat tangannya dengan senyum sumringah.
Rayyan yang baru menyadari wanita itu masih mengikutinya langsung membalikkan badannya dan menatap tajam pada Rayya dengan aura permusuhan yang begitu kentara.
Berbeda dengan Rayyan, Devin justru merasa terselamatkan, setidaknya sudah ada satu kandidat malam ini.
“Sekali pun kamu koki! Saya tidak akan memakai kamu! Kamu hanya wanita gila! Pergi sana!”
Rayyan mengusirnya dengan tatapan nyalang, dia lalu masuk ke mobil dan menutup pintunya dengan keras.
Devin yang melihat bosnya sudah masuk ke mobil langsung berlari kecil ke kursi kemudi.
Di dalam mobil Rayyan masih memberikan tatapan tajamnya melihat wanita dengan ransel kecilnya itu terlihat tengah menatapnya dengan raut wajah yang terlihat sedang berpikir keras..
Yang tidak diduga adalah, Rayya membuka pintu di samping kemudi dan langsung masuk begitu saja bahkan sudah memasang sabuk pengamannya sambil mencengkram sabuk pengaman itu erat-erat.
“Apa yang kamu lakukan?! Keluar!” Teriak Rayyan dengan kemarahan yang kembali tersulut karena kelakuan wanita absurd itu yang selalu diluar nalar.
Devin juga dibuat terkejut dengan wanita asing itu yang tiba-tiba saja bergabung ke mobil.
“Rayya serius, Abang. Rayya koki, bisa dites dulu. Seenggaknya Abang bisa coba dulu, siapa tau cocok? Katanya besok pagi mau pergi ke Macau, kan? Dari pada belum nemu kandidat terus nanti di Macau ngga makan seminggu? Pulang-pulang Abang tinggal nama gimana?”
Rayya menyerocos dengan nada sok akrabnya, Devin yang ada di sampingnya diam-diam menyembunyikan senyum gelinya.
Bukan hanya ucapannya yang menghibur dan mewakili apa yang ingin Devin sampaikan pada bosnya itu, namun bahasanya yang memanggil dirinya sendiri dengan nama membuatnya merasa geli.
“Tutup mulut kamu! Kamu terlalu banyak ikut campur dan mendengar apa yang tidak seharusnya kamu dengar! Saya bilang keluar!” Rayyan kembali menyentaknya dengan nada ketus, dan itu membuat Rayya langsung menciut dengan bibir yang mengerucut sebal.
Tapi Rayya tidak akan menyerah sampai berhasil. Tidak boleh ada kegagalan kali ini.
“Anggap saja … penebusan dosa Rayya, Abang. Tadi, kan Rayya udah bersalah banget sama Abang. Rayya buatin makan malam, kalo ternyata Abang cocok, Rayya siap besok terbang ke Macau.” Ucapnya lagi dengan tatapan yang dibuat penuh harap dan mengerjap sok manis, membuat Rayyan benar-benar ingin menendangnya keluar dari mobil.
“Pak, apa sebaiknya kita beri dia kesempatan dulu? Sambil saya coba mencari kandidat yang lain malam ini?” Ucapan Devin selanjutnya membuat Rayyan langsung melayangkan tatapan tajam pada asisten yang sudah bekerja padanya selama tujuh tahun ini.
“Kamu sedang coba membelot dari saya, Devin?!” Nada Rayyan menusuk telinga dengan rahang yang mengeras.