Bab 10. Di rumah Evan

1307 Words
"Om, aku malu. Aku di mobil aja ya," rengek Maira. Sejak tadi, ia sudah merengek. Bahkan setibanya tadi, Maira tak kunjung mau turun. Ia malu. Maira sempat meminta izin berganti pakaian dengan yang sedikit lebih pantas di dalam mobil, tapi Evan tak mengizinkan. Entah mengapa, ia senang melihat Maira kesusahan seperti itu. Merengek manja membuat wajahnya yang memang masih polos khas anak baru gede jadi terlihat semakin menggemaskan. Rasanya Evan ingin mencubit pipi Maira, tapi ia tahan. "Nggak. Masuk," ucap Evan datar. Maira mengerucutkan bibirnya. Maira yang malu, memilih berjalan sambil bersembunyi di balik punggung Evan. Evan membiarkan saja. Evan seperti dibuntuti anak kecil saja. Pembantu yang membukakan pintu untuk Evan terkejut saat melihat Maira bersembunyi di punggung Evan. Ia sampai mengira Evan membawa anak kecil. "Anak siapa yang dibawa Den Evan? Bukannya katanya Den Evan mau ngajak istrinya, tapi mana istrinya? Oh, mungkin gadis itu anak bawaan istrinya. Udah dekat banget mereka. Ternyata di balik sikap dinginnya Den Evan, dia bisa menjadi bapak yang baik dan penuh perhatian," lirih bibi. Kini Evan dan Maira sudah berada di ruang tamu. Nastiti yang melihat kedatangan Evan pun segera menyapa. "Sudah datang kamu, Van? Istri kamu mana? Jangan bilang kamu nggak ajak dia?" Mata Nastiti mendelik tajam. Haidar yang menyadari keberadaan Maira pun menahan tawanya. "Evan ajak kok." "Kalau ajak, mana? Masih di luar?" Nastiti pun beranjak hendak ke depan mencari menantunya. Maira yang tak enak hati pun melongokkan kepalanya dari balik lengan Evan. Nastiti sampai melongo melihatnya. "Tan eh Ma, ini Maira di sini," ujar Maira malu-malu. Tawa Haidar akhirnya pecah. Ia gemas sendiri dengan tingkah Maira. "Maira, lho kok kamu?" Dengan malu-malu, Maira akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan wajah menahan malu, ia berdiri di samping Evan. Nastiti yang melihat penampilan Maira sontak tertawa. Bukan tawa mengejek, hanya saja ia ikut gemas melihat tingkah lucu Maira. "Semoga saja kehadiran Maira bisa mengobati hati Evan," batin Nastiti yang ikut bahagia bisa melihat senyum putranya lagi. Meskipun samar, ia bisa melihat wajah itu terlihat lebih bercahaya dan cerah dibandingkan sebelum-sebelumnya. "Papa pikir kamu nemu anak di mana, Van? Astaga, menantu papa ternyata benar-benar menggemaskan," seru Haidar yang masih tertawa. Naysila yang masih di tangga menatap kesal Maira. Ia kesal karena perhatian kedua orang tuanya sepertinya akan teralih pada Maira. "Kenapa bengong? Ayo, turun!" ucap Aidil menyentak lamunan Naysila. Naysila mendengus. Ia pun turun mengikuti langkah kaki suaminya menuju ruang tamu. Naysila menatap sebal bagaimana kedua orang tuanya yang terlihat begitu terbuka dengan kehadiran Maira. "Apa sih lebihnya gadis itu? Menyebalkan," desis Naysila pelan. Aidil melirik ke arah Naysila, namun setelahnya tatapannya kembali terarah pada Maira yang tersenyum malu-malu karena digoda Nastiti dan Haidar. Makan malam pun akhirnya tiba. Melihat Nastiti melayani Haidar membuat Maira pun mengikutinya. Evan yang awalnya hendak mengambil nasi dihentikan oleh Maira. "Biar Maira aja, Om." "Om?" beo Haidar dan Nastiti yang baru sadar dengan panggilan sang menantu pada putra mereka. Maira mengangguk pelan yang lantas membuat gelak tawa membahana di meja makan. Aidil pun ikut tersenyum geli. Apalagi saat melihat wajah Maira yang memerah, terlihat lucu dan menggemaskan. Evan mendecakkan lidah. Ia yakin, sebentar lagi ayah dan ibunya akan mengejeknya. "Oh, jadi panggilannya Om nih? Kamu sih Van, ketuaan banget. Untung aja Maira mau sama kamu," cibir Nastiti. Evan ingin memutar bola matanya, tapi ia sadar itu tak sopan terlebih kepada orang tuanya. "Palingan dia mau karena Kak Evan kaya, Ma. Zaman gini, nggak ada duit, siapa yang mau," celetuk Naysila cuek sambil mengisi piringnya sendiri. Sementara Aidil pun mengisi piringnya sendiri. Padahal sejak dulu, Nastiti mencontohkan bagaimana caranya melayani seorang suami, namun Naysila justru menganggap hal itu berlebihan. Saat awal-awal mereka menikah, Naysila memang melakukannya, tapi selang setahun kemudian, ia kembali ke setelan awal. "Sila, jangan sembarang bicara!" sentak Haidar tak suka mendengar kata-kata sang anak yang baginya sangat keterlaluan. "Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Sila. Bagaimanapun, Maira adalah kakak iparmu. Jadi jaga sopan santunmu, kamu paham?" timpal Nastiti pelan. Bukannya menurut, Naysila justru membanting sendoknya kasar ke atas piring sehingga menimbulkan bunyi denting yang cukup keras. Lalu ia segera berdiri dan berlalu dari sana dengan jalan menghentak. Maira yang melihat itu menundukkan kepala. Evan kesal bukan main. Ia hendak berdiri memberikan pelajaran pada sang adik, tapi dengan cepat Maira menggenggam tangannya. Evan yang tak ingin Maira semakin tertekan di sana pun mengurungkan niatnya. "Maafkan Sila, Ma, Pa, Van, dan ... Maira. Nanti Aidil akan mencoba menasihati Sila," tukas Aidil yang merasa malu dengan sikap Naysila. Haidar dan Nastiti mengangguk. Mereka tentu tak ingin menyalahkan Aidil karena itu kesalahan Naysila. "Itu bukan salahmu, Dil. Sebenarnya ini pun ada andil kami. Kami terlalu memanjakannya selama ini jadi dia tumbuh menjadi sosok yang egois dan keras kepala. Maira, maafkan Naysila, ya. Nanti Mama dan Papa akan menasihatinya," ujar Nastiti yang benar-benar tak enak hati. "Iya, Ma. Maira nggak papa kok." "Ya sudah, ayo kita makan dulu," ajak Haidar. Maira yang sudah selesai mengisi piring Evan pun mengisi piringnya. Ia sudah kehilangan selera makan jadi ia hanya makan sedikit saja. Suasana yang awalnya riuh kini jadi sunyi. Hanya denting sendok yang terdengar. Tak ingin berlama di sana, setelah makan malam, Evan pun segera mengajak Maira pulang. Perjalanan dari rumah menuju apartemen membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Saat melewati jalanan yang dipenuhi pedagang kuliner kaki lima, Evan jadi teringat kalau Maira tadi hanya makan sedikit saja. "Kau mau membeli sesuatu?" "Sesuatu apa?" tanya Maira menoleh pada Evan. Evan menggestur kepalanya ke arah luar jendela. Maira pun mengikutinya. Terdapat banyak pedagang makanan yang berjejer di pinggir jalan. Tak sedikit pengguna jalan yang memilih berhenti di pinggir jalan demi membeli makanan yang terlihat menggugah selera itu. "Emang boleh?" tanya Maira dan Evan mengangguk. "Aku mau deh kalau be--- eh, nggak jadi deh." Raut wajah Maira seketika berubah. "Kenapa? Apa nggak ada yang pingin kamu beli?" "Bukan nggak ada sih, Om. Kalau bisa sih semua makanan itu mau aku borong semua," ujar Maira cengengesan. "Rakus," ejek Evan sambil tersenyum kecil. "Abisnya semuanya keliatan enak. Aku nggak pernah jajan soalnya." "Hah? Masa'?" Evan tidak bisa mempercayai kata-kata Maira. Tapi itulah kenyataannya. Setiap ada uang, ia akan mengutamakan kebutuhan ia dan neneknya. Terlebih setelah sang nenek dirawat, ia harus rajin menyisihkan uang yang didapatnya dari tempat kerja untuk membeli obat sang nenek. Gaji Maira dibayarkan setiap akhir pekan. Bila kerja lembur, maka ia akan mendapatkan upah tambahan. Bahkan Maira lebih mengutamakan biaya pengobatan sang nenek ketimbang biaya untuk makan. Baginya yang penting ada beras di rumah. Ia tidak begitu peduli dengan lauk pauk dan sayur mayur. Karena itu, menu makanannya tak jauh dari nasi goreng atau nasi kecap kerupuk. "Ya udah kalau nggak percaya," jawab Maira tak acuh. "Jadi ini gimana? Ada yang mau dibeli nggak? Kamu tadi makan sedikit. Entar lapar tengah malam, aku nggak mau ya nyariin kamu makanan." Maira terkekeh. "Om nggak perlu khawatir, aku nggak akan merengek kok. Udah biasa pun. Lagian aku belum ada duit kalau mau beli itu. Pasti mahal 'kan." "Makanan pinggir jalan kayak gitu mana ada yang mahal. Masih standar harganya. Kecuali masuk restoran, baru deh nilainya bisa naik berkali-kali lipat." "Mau murah mau mahal ya tetap sama aja sih, Om. Kalo nggak ada duit, tetap aja bagiku mahal." "Memangnya siapa yang nyuruh kamu bayar?" "Eh ... Maksudnya?" "Aku nawarin kamu kalo-kalo kamu pingin beli makanan. Tenang aja, aku yang bayar. Bahkan kalau mau sama gerobak-gerobaknya, aku bayarin. Siapa tau kamu mau ganti profesi jadi pedagang makanan," ujar Evan membuat mata Maira terbelalak. "Jadi Om mau bayarin? Seriusan? Nggak akan minta ganti rugi ke depannya 'kan? Nanti Om anggap utang lagi." "Ck, kamu ini. Nggak. Puas. Jadi gimana ini? Sebelum makin jauh." Mobil yang dikendarai Evan sebenarnya sudah menjauh, tapi bila Maira memang ingin membelinya, ia bermaksud putar balik. "Kalau Om memaksa, boleh deh," ujar Maira kegirangan. Evan tersenyum kecil. Ia pun segera memutar balik mobil menuju ke jejeran pedagang kaki lima tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD