1. Pergi Sekarang
Dor! Dor! Dor!
Dentuman keras masih bergema di telinga Sam, menyisakan rasa panas yang membakar di bahu kirinya. Tubuhnya terhuyung, menempel pada dinding bata yang lembap di salah satu gang sempit. Napasnya memburu, berat, tersengal-sengal seperti ada batu mengimpit dadanya.
“Brengs3k!” desisnya serak. Tangan kanannya menekan luka yang mulai meneteskan darah deras, mengalir hingga menodai jas hitamnya.
Malam itu, hujan mengguyur deras kota, menenggelamkan jalanan dalam kilau lampu neon yang pecah di genangan air. Bau tanah basah bercampur aroma logam dari peluru yang baru saja ditembakkan. Ditambah aroma d4rah yang menyengat dan terasa terus merembes, bercampur air.
Dunia mafia bukanlah arena untuk yang lemah. Sam tahu itu sejak awal. Namun malam ini, pengkhianatan datang lebih cepat daripada yang ia perkirakan. Orang-orang yang dulu duduk satu meja dengannya, bersulang dengan gelas kristal mahal, kini mengangkat senjata dan mengincar nyawanya.
Kilat putih menyambar langit, menerangi wajah Sam yang penuh amarah sekaligus sakit. Mata yang biasanya tajam penuh wibawa itu, kini tampak keruh oleh rasa sakit. Ia berusaha melangkah keluar dari gang, tetapi kakinya goyah. Setiap langkah bagai menghantam tanah berlumpur yang ingin menelannya masuk ke dalam kegelapan.
Suara ban mobil berdecit terdengar samar dari kejauhan. Sam yakin itu musuh yang baru saja meninggalkannya di ujung maut. Mereka pasti yakin, peluru itu cukup untuk membuatnya tamat. Namun, Sam berbeda. Ia bukan pria yang mudah menyerah pada ajal.
Tiba-tiba, dari ujung gang, cahaya kecil berpendar. Seseorang mungkin datang. Atau sekadar lewat. Cahaya dari sebuah kendaraan itu perlahan mulai mendekat.
Sam berusaha fokus, tetapi pandangannya berkunang.
Wanita itu Ivone. Ia bukan siapa-siapa di dunia mafia. Bukan bagian dari lingkaran gelap penuh darah, kekuasaan, dan uang. Ivone hanya wanita sederhana yang tidak sengaja melewati jalan malam itu. Ia baru pulang kerja lemburnya. Namun takdir, seperti permainan nasib yang kejam, menempatkannya dekat dengan pria yang separuh hidupnya sudah tercatat dalam dosa.
Sam berjalan terseok-seok ke tengah jalan raya, melambai dengan sisa tenaga.
Mata Ivone melebar begitu melihat seseorang yang telapak tangannya bersimbah darah dan kini tengah terduduk di tengah jalan. Wanita itu memelankan laju sepeda motornya.
“Astagfirullah,” gumam Ivone. Ia ragu untuk menolong atau terus melaju. Atau justru berbalik arah.
“Jangan-jangan, dia orang jahat. Kalo aku tolong, aku yang justru disakiti oleh orang sekelompoknya.” Ivone berhenti agak jauh, sekitar dua meter dari keberadaan pria itu. Ia menoleh ke kanan dan kiri, jaga-jaga takut sindikat pria tersebut tiba-tiba datang menyergap.
“Tolong saya!” teriak Sam di sisa-sisa tenaga. “Saya tertembak!”
Tangan Ivone yang kedinginan, gemetar. Ia makin yakin untuk tidak turun. Wanita yang terbungkus jas hujan tersebut memutar balik sepeda motornya.
“Tolong saya, saya mohon. Saya mungkin bisa mati sia-sia di sini.”
Alarm rasa iba dan takut saling berbunyi di pikiran Ivone. Jika ditolong, mungkin pria tersebut orang yang berniat jahat padanya. Namun, jika dibiarkan, mungkin itu memang seseorang yang butuh bantuan dan bisa saja mati jika dibiarkan.
Ivone menoleh belakang sekilas ke arah pria tadi. Ia lalu menajamkan penglihatan di sela-sela rintik hujan. Pria itu terlihat menahan sakit dan bersimbah darah. Tangannya juga menggapai-gapai, meminta Ivone datang menolong.
Ivone terpejam sejenak. Wanita ayu itu juga mengembuskan napas berat. “Bismillah. Ya Allah, hamba berlindung pada-Mu dari mara bahaya. Jika orang itu jahat, tolong jangan biarkan hamba terluka. Namun, jika dia benar orang yang benar-benar butuh bantuan, bantu hamba untuk menyelamatkannya.”
Dengan tidak yakin, Ivone akhirnya turun. Jas hujan masih melekat di tubuh, helm juga masih melindungi kepala. Ia berjalan pelan mendekat. Sesekali ia siaga melihat sekeliling. Lalu akhirnya sampai juga di samping pria itu.
“A-apa kamu korban tabrak lari?” tanya Ivone terbata-bata. Sebab sejak awal melihat, ia menduga pria ini kecelakaan.
Sam menoleh pelan, menatap Ivone dengan tatapan tajam meski tubuhnya sudah nyaris runtuh.
“Bukan. Saya tertembak,” jawabnya serak.
“Allahu akbar!” Ivone kian ketakutan. Ia kini tahu, sedang mengundang bahaya. Tertembak? Oleh siapa?
Sam juga serba bingung. Meminta bantuan, sama artinya dengan membawa wanita ini terseret ke dalam bahaya. Namun, jika tidak meminta tolong, ia bisa mati sia-sia.
“A-ayo saya bantu ke rumah sakit. Atau saya teleponkan ambulans?” tanya Ivone lagi. Wanita yang memakai pasmina hitam itu ngeri melihat luka dan darah yang keluar dari bahu Sam.
Ivone bukan tipe yang bisa membiarkan seseorang sekarat begitu saja. Nalurinya lebih kuat dari rasa takutnya.
“Tapi bentar, lukamu nggak bisa dibiarkan. Nanti kamu kehabisan banyak darah.” Suaranya gemetar. Tangannya cepat membuka tas dan mengambil pasmina yang biasa dibawa jika pasmina yang dipakai kotor.
Ivone membalut bahu Sam yang terluka tanpa pikir panjang.
Sam meringis, rahangnya mengeras. “Bawa saya ke Heal Hospital.”
Ivone mengangguk. Ia mencoba membantu Sam berdiri, tetapi gagal.
“Ah, s1al!” umpat Sam ketika tubuh keduanya justru limbung dan jatuh. Dengan Ivone ada di pangkuan Sam.
“S-sorry.” Ivone langsung turun.
“Pergi! Kamu hanya membuat saya makin sekarat!”
“Kalau saya pergi, kamu akan mati,” balas Ivone singkat, matanya berkilat berani. “Ayo kita usaha lagi.”
Ivone kembali merangkul Sam yang lemah, tertatih berusaha berdiri.
Hujan makin deras, menampar wajah keduanya. Di antara dingin dan suara derasnya air, waktu seolah-olah melambat. Sam bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari sentuhan Ivone yang hangat, tulus, dan bukan bagian dari dunia yang penuh intrik. Pelukan ini hal yang jarang, bahkan hampir asing baginya.
Peluru di bahu Sam membuat napasnya kian sesak. Pandangannya kabur, tetapi ia masih bisa melihat Ivone yang serius menolong. Wajahnya masih terlihat cantik meskipun air hujan sudah menghapus bersih mekapnya. Matanya bening, walaupun penuh kecemasan.
“Saya … bukan orang baik,” gumam Sam lirih, hampir tidak terdengar.
Ivone mendongak sejenak, menatapnya dengan sorot tegas. “Saya juga bukan malaikat. Tapi saya tidak tega melihatmu mati di sini. Itu pun jika kamu bukan komplotan berandal yang sebenarnya sedang mengancam nyawa saya.”
Kata-kata itu seperti tamparan. Sesuatu yang sederhana, tetapi menghangatkan benteng hati Sam yang dingin. Ia memang berandal dan bisa saja mengundang bahaya untuk Ivone.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah lain.
“Apa itu komplotanmu, hah!” pekik Ivone ketakutan.
Sam menggeleng. “Mereka mungkin musuh. Orang yang sudah men3mbak saya.”
Sam refleks mencoba mengeluarkan pistol kecil dari balik jasnya. Meskipun bahunya tertembak, tangannya masih bisa mengendalikan senjata.
Hampir saja Ivone berteriak kalau saja Sam tidak membekap mulutnya.
“Diam … tetap tenang,” bisik Sam, setengah sadar, menyadarkan Ivone bahwa ancaman mungkin belum selesai.
Benar saja, bayangan hitam muncul di ujung gang. Dua pria bertubuh kekar dengan jas gelap mengintip, memastikan mangsanya sudah mati.
Jantung Ivone berdegup kencang. Ia bukan siapa-siapa, hanya wanita biasa. Namun malam ini, ia bersama pria yang memegang pistol dan menghadapi bahaya yang tidak pernah ia bayangkan.
Sam, dengan sisa tenaganya, menatap Ivone dalam-dalam.
“Kalau kamu mau hidup … pergi saja sekarang. Saya akan mengatasi mereka. Saya tidak ingin melibatkanmu,” bisiknya.