BAB 3

1550 Words
Merlin terduduk lemas tepat setelah para rentenir itu pergi dari rumahnya. Dipandanginya seisi rumah yang kini sangat berantakan bak kapal pecah. Meski kedua matanya terasa sangat panas sekarang, namun Merlin masih berusaha untuk tidak menangis. Sebuah tangan terulur tepat di depan wajahnya. Namun bukan untuk membantu Merlin berdiri, melainkan ..., “Heh, Merlin. Aku mau beli rokok,” ucap sang ayah. Ya, ayahnya mengulurkan tangan untuk meminta uang kepada putrinya. Membuat Merlin mengepalkan tangan dengan kuat dan semakin benci kepada pria tua itu. Merlin mendongakkan kepalanya ke atas, menatap ayahnya yang tidak tahu malu itu. “Hhh, aku tidak punya uang!” sahut Merlin kesal. Air mata yang sedari tadi berusaha ia tahan, kini akhirnya jatuh bercucuran juga. Merlin meraung tepat di hadapan ayahnya. Namun, tidak ada rasa bersalah ataupun iba di sana. Yang ada, pria tua itu malah melayangkan sebuah pukulan tepat di kepala putrinya karena tidak memberinya uang untuk membeli rokok. ‘Plak!’ ‘Plak!’ Pukulan itu terus mendarat di kepala Merlin yang tengah duduk meraung. “Dasar anak tidak tahu diri! Bisanya hanya menangis!” cerca ayahnya, kemudian meninggalkan Merlin yang masih menangis. Hati Merlin sakit. Sangat sakit. Jika saja ia bisa, ia ingin sekali menghilang dari dunia ini. Namun bukan seperti itu yang diajarkan oleh mendiang ibunya dulu. Merlin tidak boleh menyerah. Merlin harus berusaha dan berjuang melawan kerasnya hidup hingga ia bisa mematahkan takdir hidupnya yang begitu berat. Dan hidup bahagia seperti yang lainnya. Tidak lama setelah ayahnya pergi. Merlin pun menghentikan tangisannya. Wanita itu beranjak, berniat membersihkan rumah yang begitu berantakan ini. Dengan kedua mata yang sembab, Merlin terus merapikan barang – barang yang dilempar oleh para rentenir. Entah apa tujuan mereka mengobrak – abrik seisi rumah ini. Merlin sendiri sudah terbiasa menghadapi hal semacam ini selama berhadapan dengan mereka. Hingga netra miliknya menangkap sebuah bingkai berisi foto mendiang ibunya pecah berserakan di atas lantai. Merlin pun segera meraih lembar foto tersebut. Dipandanginya potret wanita yang meninggalkannya bertahun lamanya itu. “Bu, Merlin benar – benar merasa lelah sekarang,” ucapnya seraya tersenyum dengan hambar, “Jika saja ada ibu di sisi Merlin. Merlin tidak akan merasa selelah ini dan tidak akan merasa sendirian seperti ini,” lanjutnya. Tidak ingin terlarut dalam perasaannya. Merlin pun meletakkan foto mendiang ibunya di atas meja kemudian membersihkan pecahan kaca yang berserakan di atas lantai. Tidak perlu waktu lama untuk Merlin membereskan semua kekacauan di dalam rumahnya. Kini keadaan rumah itu kembali normal seperti sebelumnya. Meskipun bangunan rumah itu tidak terlalu besar dan hanya terbuat dari kayu, namun Merlin selalu menjaga kebersihan dan kerapian rumahnya. ----- Merlin menghempaskan tubuhnya di atas kasur berukuran single miliknya. Hanya di dalam sini, di dalam sebuah ruangan yang tidak seberapa luas itu Merlin merasakan kedamaian dan ketenangan saat ia sangat lelah menghadapi hari. Sama seperti keadaan di luar kamarnya, keadaan di dalam sini juga sama bersihnya meskipun ukurannya sangat sempit sekali. Setiap kali Merlin merasa lelah. Ia akan selalu memandangi sebuah poster yang ia tempelkan pada dinding kamarnya. Di mana poster itu menampilkan sebuah pemandangan yang entah di mana Merlin sendiri pun tidak tahu. Pemandangan di dalam poster itu sangat indah, Merlin selalu jatuh hati setiap kali memandangnya. “Suatu saat, aku pasti akan mengetahui keberadaan kawasan itu. Dan aku akan berkemah di sana,” cicit Merlin dengan kedua tangan yang melipat di belakang kepalanya. Sungguh sederhana keinginan Merlin selama ini. Ia ingin sekali berkemah di tempat yang ada di dalam poster yang ia tempel di dinding kamarnya. Hanya ada dia dan pemandangan alam yang begitu indah. Tidak ada orang lain, tidak ada masalah, tidak ada ayahnya. Hanya ada dirinya. Ah, membayangkannya saja Merlin sudah merasa sangat antusias sekali. Sejenak Merlin melupakan apa yang baru saja terjadi dan apa yang telah ia lalui. Namun seperkian detik kemudian sekelebat bayangan tentang di mana ia terbangun dalam keadaan tanpa busana dengan seorang Pria di sampingnya membuat Merlin menjerit begitu keras. “Aaaaaargh!” Merlin beranjak bangun dari posisi tidurnya. Mengacak rambutnya dengan frustasi dan tak hentinya merutuki dirinya sendiri. “Hah ... hah ... hah, tenang Merlin. Semua terjadi karena kecelakaan,” ucapnya berusaha untuk tenang, “Tapi, tetap saja kamu telah berdosa!” umpatnya lagi, mengumpat pada dirinya sendiri. Siapa yang tidak merasa kesal dan sedih jika menjadi Merlin. Ia telah kehilangan kesuciannya bersama dengan pria asing yang tidak ia kenal sama sekali. Meski kehidupannya tidak mudah namun kesuciannya adalah satu – satunya harta berharga yang ia miliki. Dan sekarang, harta paling berharga itu sudah direnggut oleh orang lain. Oleh pria asing! Sungguh, Merlin tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sebab sekarang, rasa marah, kecewa, sedih, dan kesal telah bercampur menjadi satu. Begitu banyak beban masalah yang Merlin pikul seorang diri. Dalam sehari, ia telah mendapat bertubi – tubi masalah hingga membuat wanita itu berpikir apakah Tuhan begitu membenci dirinya? Hingga memberi cobaan hidup yang begitu berat untuknya. Entah kenapa, padahal hatinya terasa sangat pedih sekali. Namun Merlin tiba – tiba tidak bisa mengeluarkan air matanya seperti biasa. Wanita itu sangat lelah sekarang, hingga ia tidak memiliki kekuatan untuk menangisi takdir hidupnya yang begitu keras. Di tengah perasaannya yang tidak dapat dijelaskan, netra milik Merlin menangkap sebuah tas yang ia gantung di balik pintu kamarnya. Merlin ingat, jika tadi pagi ia sempat mengambil sesuatu dari Pria asing itu. Bukan karena ia adalah orang jahat, Merlin sampai berani mencuri sesuatu milik orang lain. Hanya saja wanita itu perlu sebuah jaminan dari sang pria asing jika kelak terjadi sesuatu hal yang tidak ia inginkan akibat dari perbuatan mereka. Diraihnya benda milik pria itu dari dalam tas miliknya. “Kenapa dia memiliki cincin seperti ini? Apa mungkin cincin ini adalah milik kekasihnya?” gumam Merlin sedikit heran, sebab cincin tersebut memiliki ukuran dan motif untuk seorang wanita. ***** Sedangkan di kediamannya, Raka bertingkah layaknya cacing yang kepanasan sebab kehilangan cincin berharga miliknya. Raka ingat betul jika tadi malam ia membawa serta cincin tersebut saat menghadiri acara pesta ulang tahun Julian. “Astaga! Di mana sih cincin itu? Gue ingat banget kalau tadi malam membawanya!” ucap Raka. Kedua tangan Pria itu mengacak rambutnya dengan frustasi. Tidak dapat Raka bayangkan jika ia sampai kehilangan cincin yang bernilai ribuan dollar tersebut. Cincin permata tersebut sangat berharga untuk Raka. Sebab cincin itu nantinya akan ia berikan kepada perempuan yang akan menjadi pendamping hidupnya. Nyatanya, seorang playboy seperti Raka juga masih memikirkan tentang kehidupan pernikahan. Selama ini pria itu tidak pernah serius dalam perihal percintaan sebab ia belum menemukan wanita yang dapat meluluhkan hatinya. Sebenarnya, dalam lubuk hati terdalam seorang Raka, ia tidak pernah menganggap dirinya seorang playboy. Ia hanya menganggap sikapnya itu hanyalah sebuah bentuk dari pencarian jati diri. Hah, benar – benar sama sekali tidak masuk akal. “Oh my god! Di mana sih cincin itu?” Raka kembali mengerang. Wajahnya benar – benar masam sekarang. Diraihnya kembali pakaian yang ia kenakan saat menghadiri pesta ulang tahun Julian tadi malam. Barang kali karena merasa panik, ia melewatkan cincin tersebut. tetapi, sekeras apa pun Raka berusaha mencari, cincin itu memang benar – benar tidak ada. “Argh! Sial!” umpat Raka lagi, semakin ia merasa kesal saat ini. Karena tidak berhasil menemukan cincin yang padahal sudah bertahun – tahun lamanya telah ia siapkan untuk sang calon istri yang bahkan Raka sendiri tidak tahu siapa. Lantas, membuat pria itu menjadi sangat pening sekarang. ‘Tok Tok Tok!’ Suara ketukan pada pintu yang terdengar begitu lembut membuyarkan Raka. “Raka ...?” suara Imelda terdengar dari balik pintu. Sontak, pria itu berteriak dari dalam kamarnya. Memberi tahu orang yang telah mengetuk pintu kamarnya, jika kamar tersebut tidak dikunci. “Masuk aja ke dalam, Ma. Raka dalam keadaan pakaian yang lengkap kok,” sahut pria itu menjawab kalimat dari ibundanya sendiri. Pintu kamar Raka terbuka dengan perlahan. “Loh, ada apa ini? kenapa kamar kamu berantakan sekali?” tanya Imelda terkejut. Karena biasanya kamar putranya itu tidak pernah seberantakan ini. Raka pun menjelaskan kepada Imelda jika ia sedang mencari cincin permata miliknya yang hilang. Sebab itulah kamar miliknya menjadi sangat berantakan sekarang. Imelda sendiri sudah tahu tentang perkara cincin tersebut. Karena ia sendiri yang membantu Raka mendesain cincin itu untuk calon menantunya kelak. “Kenapa kamu bisa kehilangan cincin itu? Astaga, Raka!” ucap Imelda seraya mengusap dadanya dengan pelan. “Aduh, Mama. Daripada Mama mengomel, lebih baik bantu Raka untuk mencarinya,” sahut Raka dengan wajah yang sangat masam. Imelda mengangguk, melihat ekspresi putranya yang begitu masam ia menjadi tidak tega. Lantas, wanita paruh baya berparas cantik itu ikut mencari cincin yang sejak tadi dicari oleh Raka. Hingga cukup lama keduanya mencari, dan kamar Raka menjadi semakin berantakan bak kapal pecah. Cincin permata itu tidak juga mereka temukan. Kedua ibu dan anak itu terduduk lemas di atas kasur. Tatapan matanya mengunci pada lantai kamar yang dialasi sebuah karpet di atasnya. “Kita sudah mencari cincin itu di seluruh kamar ini, tapi kita tidak berhasil menemukannya. Coba kamu ingat lagi, di mana terakhir kali kamu meletakkannya,” cicit Imelda kepada Raka. “Raka ingat dengan jelas, kalau tadi malam cincin itu Raka bawa saat menghadiri pesta ulang tahun Julian,” sahutnya. Mendengar jawaban dari putranya itu, ada segelintir perasaan kesal muncul dalam benak Imelda sekarang. “Raka, kenapa tidak bilang dari awal! Kalau gitu untuk apa kita mencari di sini, pantas saja kita tidak menemukannya!” pekik Imelda tak habis pikir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD