BAB 8

2099 Words
Merlin duduk menunggu giliran bersama dengan pasien lainnya. Semua nampak sangat antusias dan bahagia sebab menunggu bersama pasangan masing-masing. Hanya Merlin yang datang sendirian tanpa ditemani oleh sang suami. Merlin sama sekali tidak merasa sedih ataupun berkecil hati kala melihat semua pasangan yang bahagia itu saling bercengkrama satu sama lain ketika menunggu giliran. Sembari memegangi perutnya yang mulai membuncit, Merlin bergumam dalam hatinya. 'Aku tidak sendiri, aku di sini bersama dengan anakku,' ucapnya kemudian mengusap perutnya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Tidak ada gunanya jika Merlin harus merasa sedih. Toh Raka juga tidak akan mungkin datang, bukan? Memangnya siapa Merlin ini bagi Raka? Sama sekali bukan siapa-siapa. Dalam diamnya, Merlin kembali berpikir sesuatu. Meski kehadirannya dalam keluarga Farhan Abimanyu jelas tidak diinginkan, setidaknya anak yang ia kandung saat ini mendapat perhatian khusus. Duduk di sini seperti ibu hamil lainnya. Setidaknya janin di dalam kandungan Merlin juga mendapat pemeriksaan rutin setiap bulannya. Cukup lama Merlin menunggu hingga akhirnya giliran wanita itu pun tiba. Merlin beranjak dari duduknya kemudian berjalan masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Kedatangannya disambut dengan baik dan begitu ramah oleh sang Dokter kandungan. "Selamat sore, Dok," sapa Merlin terlebih dahulu. Wanita itu tersenyum lebar menampilkan deretan giginya. "Selamat sore, Bu Merlin," balas sang Dokter yang diketahui bernama Sofia. Nama itu tertulis jelas pada name tag yang terpasang di bagian daada jas putihnya. "Silakan langsung berbaring saja, Bu," lanjut Dokter Sofia. Merlin pun berjalan ke arah bed kemudian merebahkan tubuhnya di atas sana. Sang Asisten Dokter pun langsung membantu Merlin menutup bagian bawah tubuhnya dengan selimut. Dokter Sofia berjalan mendekati bed lalu memposisikan diri di atas kursi yang terletak tidak jauh dari bed itu sendiri. Dokter Sofia pun menyingkap pakaian Merlin ke atas guna memudahkan dirinya melakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu Dokter Sofia mengoleskan sedikit USG gel. Detik kemudian sebuah alat berukuran kecil yang bernama transducer USG itu pun mulai bergerak di atas perut Merlin. Seperti yang sudah kita ketahui, alat tersebut berfungsi untuk mengetahui kondisi kehamilan pada ibu hamil. Dokter Sofia, wanita yang mungkin saja seumuran dengan Merlin itu menjelaskan dengan detail kepada Merlin tentang perkembangan janinnya. Sedari tadi, kedua mata Merlin tidak beralih sedikit pun dari layar monitor yang tergantung tepat di hadapannya. Sembari kedua indra pendengaran miliknya mendengarkan dengan seksama penjelasan Dokter Sofia. Merlin merasa sangat terharu sekaligus senang, janin yang bersemayam di dalam rahimnya berkembang dengan sempurna. Usai melakukan pemeriksaan USG, Dokter Sofia mengajak Merlin untuk duduk di depan meja kerjanya. Dokter Sofia mulai menjelaskan beberapa hal serta makanan apa saja yang harus Merlin hindari dan konsumsi pada saat usia kehamilannya sekarang. Sama seperti tadi, Merlin mendengarkan dengan baik setiap kalimat yang keluar dari mulut Dokter Sofia. “Apakah ada keluhan yang sedang Ibu rasakan saat ini?” tanya Dokter Sofia sembari menatap Merlin yang nampak terlihat sedikit pucat. Merlin bergumam dengan pelan, kemudian menjawab, “Uhm, akhir-akhir ini saya merasakan pusing dan mual, Dok. Saat pagi, tubuh saya terasa sangat lemas. Saya sampai bangun kesiangan terus, Dok,” sahut Merlin menjelaskan keluhan yang ia rasakan. Dokter Sofia tersenyum ramah. “Hal itu normal terjadi saat menginjak usia kehamilan seperti Ibu sekarang,” sahutnya sembari menyambar selembar kertas untuk menuliskan resep. Mendengar jawaban Dokter Sofia, membuat Merlin tersenyum sedikit masam. Boleh jadi Dokter Sofia mengatakan hal tersebut adalah wajar, namun bagi Imelda tentu saja hal itu tidaklah wajar. Tidak peduli apakah Merlin merasa mual dan tidak enak badan, yang Imelda tahu Merlin harus mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan baik dan benar. Usai menunggu beberapa saat, Merlin pun menerima kertas resep yang diberikan oleh Dokter Sofia. Merlin pun beranjak dari duduknya kemudian keluar dari ruang pemeriksaan dan menuju ke apotik untuk menebus semua vitamin yang diresepkan oleh Dokter Sofia. *** Kendaraan roda empat yang ditumpangi oleh Merlin melaju dengan sedang menuju kediaman keluarga Farhan Abimanyu. Duduk di belakang, Merlin menatap ke arah jendela untuk memandangi lalu lalang kendaraan di luar sana. Tatapan mata penuh kesedihan itu seakan menjadi ciri khas seorang Merlin. Meski tatapan matanya nampak kosong dan nanar, namun percayalah jika saat ini isi di dalam kepalanya tengah berserabut menjadi satu. Bagai gulungan benang yang kusut, seperti itulah isi pikiran Merlin sekarang. Ada begitu banyak hal yang harus Merlin pikirkan. Termasuk bagaimana nanti nasibnya di masa depan. Di balik kemudi, Pak Taufik dapat dengan jelas menyaksikan wajah dan tatapan penuh kesedihan menantu di keluarga Farhan Abimanyu itu melalui kaca spion tengah. Entah apa yang membuat Merlin memasang raut wajah seperti itu, Pak Taufik merasa sedikit penasaran karenanya. Karena selama Merlin datang ke kediaman mewah keluarga Raka, Pak Taufik sama sekali tidak pernah melihat raut wajah bahagia dari wanita yang tengah duduk di kursi penumpang itu. Pak Taufik sedikit berdeham. Membuyarkan lamunan Merlin yang hampir tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Maaf Non, saya perhatikan sejak tadi Non Merlin tampak murung dan lesu. Saya hanya ingin bertanya dan maaf jika sikap saya lancang. Saya hanya ingin bertanya apakah pemeriksaan tadi hasilnya baik-baik saja?” tanya Pak Taufik sedikit ragu. Pria tua itu tidak dapat menahan diri dan tidak ingin mati penasaran jika tidak bertanya kepada Merlin. Merlin menarik kedua sudut bibirnya ke atas. “Tidak apa-apa, Pak. Terima kasih karena sudah bertanya dan hasil pemeriksaan kandungan saya baik-baik saja,” sahutnya. Pak Taufik menghela napas lega. “Syukurlah kalau baik-baik saja, Non. Saya sudah khawatir tadi sebab saya perhatikan Non Merlin sangat murung sejak memasuki kendaraan roda empat ini,” balas Pak Taufik. Merlin masih mempertahankan senyumannya. “Pak, bisa antar saya ke suatu tempat sebentar?” Merlin menatap Pak Taufik melalui kaca spion tengah. Sebenarnya ia ingin ke rumah sang ayah untuk mengambil foto almarhumah ibunya. Merlin mendadak merindukan wanita yang sudah tiada itu. Raut wajah Pak Taufik tiba-tiba berubah menjadi tidak nyaman. “Maaf, Non. Sebenarnya sebelum kita berangkat tadi Nyonya Imelda sempat berpesan. Katanya kita harus segera pulang setelah pemeriksaan.” Merlin mengangguk dengan sedikit lemah. “Uhm, kalau seperti itu keadaannya. Berarti kita langsung pulang saja, Pak,” sahutnya. “Sekali lagi, maaf Non ....” “Tidak apa-apa, Pak. Bapak enggak salah jadi tidak perlu meminta maaf,” balas Merlin sembari mengedarkan kembali tatapan matanya ke arah jendela. Hingga beberapa jarak telah mereka tempuh. Roda mobil tersebut akhirnya berada di kawasan kediaman Farhan Abimanyu. Sesaat Merlin tidak sengaja menangkap keberadaan ayahnya yang berdiri di depan pagar kediaman mewah milik orangtua suaminya. Lantas, ia pun meminta kepada Pak Taufik untuk menghentikan laju mobil sebab ia ingin menghampiri ayahnya itu. “Ayah ...,” panggil Merlin menyapa ayahnya. Suaranya nyaris tidak terdengar sebab Merlin berbisik saat memanggil ayahnya itu. Pak Setyo—ayah Merlin—membalik badannya saat mendengar suara putrinya itu. “Heh ... ada apa dengan keluarga suami kamu ini? Mereka membuat aku menunggu sangat lama di sini karena mereka tidak membiarkan aku masuk. Aku ini kan Ayah kamu!” ucap Pak Setyo dengan nada kesal. Berdiri selama hampir satu jam dan diserbu oleh kawanan nyamuk, memangnya siapa yang tidak kesal jika menjadi Pak Setyo? Terlebih yang ia tahu, pemilik rumah mewah ini adalah besannya. Tapi kenapa mereka sama sekali tidak membiarkan dirinya masuk ke dalam? Sungguh Pak Setyo merasa tak habis pikir. “Ayah! Kenapa Ayah datang kemari?” tanya Merlin dengan suara sedikit bergetar. Ekspresinya nampak panik. “Memangnya kenapa kalau aku datang kemari? Sombong sekali keluarga suami kamu ...,” sahut pria tua berpenampilan semrawut itu. “Ayah nggak boleh datang kemari. Sekarang Ayah pulang, ya?” desak Merlin menyuruh ayahnya untuk pulang. Pak Setyo berontak. Tentu saja ia tidak ingin mengikuti permintaan Merlin yang mati-matian menyuruhnya untuk pulang. Ia ingin masuk ke dalam kediaman mewah itu, bagaimanapun juga. “Berani kamu mengusir Ayah sendiri, huh! Dasar anak tidak tahu diuntung!” ‘Plak!’ Sebuah tamparan mendarat dengan sempurna di pipi Merlin bersamaan dengan sang ayah yang mengucapkan kalimat andalannya. Kata-kata itu, seakan sebuah mantra yang selalu diucapkan oleh Pak Setyo untuk putrinya sendiri. Sebuah kata-kata yang sangat tidak pantas diucapkan oleh seorang Ayah kepada darah dagingnya sendiri. Merlin menutup pipi kanannya yang terasa sakit akibat tamparan ayahnya itu. Sembari memegangi pipinya yang mulai nampak kemerahan, Merlin kembali berusaha meminta ayahnya untuk segera pulang dan menjauh dari kediaman Farhan Abimanyu. Namun bukannya pulang, Pak Setyo malah berniat untuk melayangkan kembali sebuah tamparan di pipi putrinya itu. Di saat tangan pria tua itu tengah berayun dan hampir mendarat di pipi Merlin. Sebuah sorotan lampu dari mobil yang baru saja datang membuat Pak Setyo menahan aksinya. Nyatanya, mobil yang baru saja datang itu adalah milik Raka—suami Merlin. Raka yang saat ini berada di balik kemudi dan melihat sosok pria tua yang sedikit tidak familiar untuknya. Lantas berpikir kenapa pria tua itu hendak menampar Merlin. Meski Raka terlihat sangat dingin, namun ia masih memiliki sisi kemanusiaan saat mendapati Merlin yang hendak ditampar oleh seseorang. Raka membuka pintu mobilnya kemudian turun dari sana dan meninggalkan kendaraan roda empat tersebut masih dalam keadaan menyala untuk menghampiri Merlin. “Ada apa ini?” Suara berat Raka terdengar sangat mengintimidasi bagi kedua orang yang sejak tadi berseteru itu. Merlin menutup kedua matanya sembari menghela napas lirih. Sejak tadi ia berusaha meminta ayahnya untuk pulang karena ia ingin menghindari hal seperti ini. Namun nasi sudah menjadi bubur. Mereka tertangkap basah oleh Raka. “Maaf, Mas ...,” ucap Merlin sembari menundukkan kepalanya. Kedua alis Raka saling bertaut heran. “Kenapa kamu meminta maaf? Seharusnya dia yang meminta maaf sama kamu.” Jari telunjuk Raka menunjuk ke arah Pak Setyo. Membuat pria tua itu membulatkan kedua matanya sebab ditunjuk oleh menantunya sendiri. Sebenarnya, Raka tidak sengaja melupakan wajah ayah mertuanya. Maka dari itu ia sama sekali tidak mengenali Pak Setyo yang malah ia pikir adalah seorang preman yang sedang memalak Merlin. Raka yang baru sekali bertemu dengan Ayah Merlin, lantas membuatnya tidak bisa mengingat wajah pria tua itu dengan jelas. Mereka hanya bertemu satu kali saat ijab kabul berlangsung beberapa waktu yang lalu. “Hei, anak muda! Bukan seperti ini caranya memperlakukan Ayah mertua,” ucap Pak Setyo, membuat Raka langsung mengerjapkan kedua matanya hingga beberapa kali. Sejenak Raka tersadar. Ia dapat mengingatnya sekarang, jika pria berpenampilan seperti preman di hadapannya ini adalah Ayah Merlin. Ayah mertuanya sendiri. Dalam hatinya Raka mengumpat kesal. Bukan karena ia telah melupakan wajah sang Ayah mertua. Tetapi karena pria tua itu memperlakukan putrinya dengan perlakuan yang sama sekali tidak baik. Nyatanya, Raka merasa sangat geram sebab ia menyaksikan sendiri bagaimana pria tua itu menampar wajah Merlin. Bukan karena Raka mencintai Merlin sehingga hal tersebut membuatnya menjadi sangat marah. Tapi sebagai seorang pria yang melihat seorang wanita sedang ditindas. Sebab itulah Raka merasa marah sekali. Raka tersenyum miring kemudian menurunkan jemari telunjuknya. Menjauhkan dirinya dari Pak Setyo kemudian menghampiri Merlin. “Sekarang kamu masuk ke dalam. Aku akan mengurus pria tua ini,” ucapnya pada Merlin. Masih memegangi pipinya yang sakit karena ditampar, Merlin mengangguk setuju kemudian berjalan masuk ke dalam halaman. Meninggalkan Raka dan juga Pak Setyo yang kini berdiri saling berhadapan. Setelah memastikan Merlin telah masuk ke dalam, Raka pun segera membuka suaranya. “Jangan pernah berani untuk datang kemari lagi dan mencari Merlin. Dia sedang mengandung anak saya. Jika Bapak mengganggunya, itu sama saja seperti mengganggu keluarga besar saya. Kejadian malam ini akan saya lupakan, tapi jika saya melihatnya sekali lagi Bapak menampar dan mengganggu Merlin seperti tadi. Maka saya tidak akan tinggal diam,” ucap Raka penuh dengan penekanan. Pak Setyo tertawa miring. “Jadi, kau mengancam ku, huh?” sahutnya tanpa rasa takut sedikit pun. “Ini bukan sebuah ancaman. Tapi sebuah peringatan.” Raka masih menekankan suaranya. “Oke, aku tidak akan datang kemari lagi. Asal kalian rutin memberikan aku sejumlah uang setiap bulannya. Karena sebelum menikah dengan kamu, Merlin bekerja untuk menghidupi ku,” ucap Pak Setyo. Raka tertawa dengan sangat lantang, sungguh ia merasa sesuatu seperti tengah menggelitik perutnya. Kalimat Pak Setyo barusan sangat menggelitik bagi Raka. Menipiskan jaraknya, Raka pun kembali bersuara. “Anda memang seseorang yang sangat tidak tahu diri, Pak. Pertama, keluarga saya sudah melunasi semua hutang-hutang anda tepat setelah putri anda setuju menikah bersyarat dengan saya. Kedua, nominal hutang anda tidak sedikit. Semua bernilai ratusan juta. Ketiga, Merlin sama sekali tidak berkewajiban untuk menafkahi anda yang jelas-jelas seorang pemabuk, penjudi, dan yang paling terpenting anda selalu kasar dengannya.” Pak Setyo menggenggam kuat kedua telapak tangannya. Kedua matanya terasa sangat panas dan ia sangat marah sekarang kepada Raka. Sedangkan Raka, pria itu langsung membuka langkah masuk ke dalam mobil miliknya dan meninggalkan Pak Setyo yang masih berdiri dengan penuh amarah bersarang dalam dirinya. “Lihat saja kamu, Raka! Beraninya kamu memperlakukan aku seperti ini!” ucap Pak Setyo dengan amarah yang membara. Bahkan suara gemeretak gigi terdengar dari mulutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD