Part 4

1128 Words
"Apa yang uncle lakuin disini?" Tanya Silvania dengan ketus yang membuat Oma Gisna terkekeh mendengarnya. Pria yang duduk di atas sofa berukuran super besar itu memandang Silvania seraya mengangkat sebelah alisnya. "Kamu gak salah nanya?" Tanya pria itu dengan nada ketus yang membuat Silvania mengernyit. "Yang harusnya nanya kayak gitu Uncle ke kamu, bukan kamu ke Uncle. Ini rumah orangtua Uncle, ya wajar kalo Uncle disini. Justru gak wajar kalo kamu yang ada disini, kenapa kamu gak dirumahnya di Mirza?" Tanya Rayyan dengan ketusnya. Silvania mengedikkan bahu. "Mami yang nyuruh aku tinggal disini. Lagian Oma juga terima kalo aku tinggal disini." Jawabnya dengan nada datarnya seraya berjalan mendekati Oma Gisna dan mencium punggung tangan wanita itu. Rayyan mengulurkan tangan kanannya pada Silvania yang dipandang dengan sebelah alis terangkat. Silvania tahu kalau pria itu ingin dia mencium punggung tangannya juga, tapi ia mengabaikannya. "Oma, kapan dia pulang?" Tanya Silvania pada wanita lanjut usia tersebut. "Tadi siang." Jawab Oma Gisna apa adanya. "Oh.." jawab Silvania datar. "Cuma 'Oh' doang?" Tanya Rayyan kesal. Silvania meliriknya dan mengedikkan bahu. "Kamu gak nanya 'apa kabar Uncle', gitu? Gimana perjalanan Uncle? Apa uncle gak jetlag? Atau apalah?" Tanya Rayyan yang membuat Silvania mengernyit jijik. "Harus ya Sisi nanya?" tanyanya yang dijawab anggukkan Rayyan. Silvania mencebik. "Kayaknya gak perlu." Jawabnya lagi yang membuat Rayyan mengernyit. "Uncle udah jelas kelihatan sehat-sehat aja, jadi gak perlu ditanya kabarnya gimana. Masalah perjalanan, tentunya selalu menyenangkan buat Uncle, apalagi kalo ditemenin sama pramugari cantik. Kelihatan kok kalo Uncle gak jetlag sama sekali. So?" Silvania mengedikkan bahu. "Nanya apa Uncle bawain aku oleh-oleh buat Sisi jelas juga gak mungkin, jadi gak ada gunanya bertanya." Ucap Silvania seraya berjalan menjauh dari ruang keluarga. "Kamu mau kemana?" Tanya Rayyan saat Silvania berjalan semakin jauh alih-alih memilih untuk terus duduk di ruang keluarga. "Ke kamar. Mau mandi, bersih-bersih trus cuci mata sama telinga." "Siapa?" Tanya Rayyan yang membuat Silvania menyipitkan kedua matanya. "Yang nanya?" ucap Silvania dengan nada ketusnya yang membuat Rayyan terkekeh mendengarnya. "Udah kuno." Lanjutnya seraya berlalu pergi. Sesampainya di kamar, Silvania benar-benar mencuci mata dan telinganya, berharap dengan demikian dirinya tidak akan melihat atau mendengar hal-hal yang tidak layak dipandang dan tidak enak didengar. Setelah selesai membersihkan dirinya, Silvania memutuskan untuk beristirahat. Bukan karena Silvania malas, tapi dia memang sudah terbiasa tidur siang lebih dulu jika dia memiliki jadwal kuliah pagi sampai siang, baru setelah Ashar dia turun untuk membantu menyiapkan makan malam. Sebelum tidur, Silvania memikirkan hal jahil seperti mengoleskan obat pencahar pada piring atau gelas yang akan digunakan pria itu. Senyum di wajahnya ia bawa sampai terlelap. Beberapa waktu kemudian. "Udah gede, udah bisa pegang pisau sama spatula ternyata." Ucap Rayyan yang berjalan masuk ke dapur kotor dan melihat Silvania yang sedang sibuk dengan bahan makan malamnya. "Padahal dulu sukanya bikin bola-bola dari semen sama pasir." Ledeknya. "Belajar jadi istri Solehah ya?" Ucapnya debgan nada mengejek. "Bukan," jawab Silvania dengan nada lembut. "Sisi lagi belajar cara buat bisa cabik-cabik, iris-iris tubuh orang." Lanjutnya ketus yang langsung di tegur Oma Gisna. "Hus, kalo ngomong jangan ngawur gitu." Tegur wanita lanjut usia itu dengan nada lembut yang membuat Silvania menundukkan kepala seraya cemberut. "Kamu ngapain kesini? Kalo urusannya udah selesai, udah sana keluar." Usir oma Gisna yang hanya bisa dijawab kebisuan oleh Rayyan. "Neng Sisi kenapa sih sama den Rayyan?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari asisten rumah tangga Oma Gisna yang bisa dikatakan merupakan asisten rumah tangga senior di rumah itu. "Dari dulu kayaknya kayak kucing sama tikus. Gak pernah akur." Lanjutnya lagi yang membuat Silvania mengedikkan bahu. "Sisi juga gak tahu kenapa Mbah." Jawab Silvania apa adanya. "Auranya uncle Rayyan sama uncle Mirza itu gelap. Bikin Sisi kesel tiap kali lihat mereka." Lanjutnya jujur. "Mungkin kedua cowok itu mesti di ruqyah Mbah. Biar jin-jin buruknya pada ilang dari mereka." Oma Gisna dan juga Mbah Yati terkekeh mendengar celetukan Silvania. "Jangan terlalu benci loh Non. Lama-lama bencinya berubah jadi benar-benar cinta baru non Sisi tahu rasa." Ucap Mbah Yati yang diangguki Oma Gisna. Silvania malah mencibir dan bergidik mendengarnya. "Amit-amit. Jangan sampai. Kayak diluar sana gak ada cowok lain aja." Ucapnya tanpa disaring yang kembali membuat Oma Gisna dan Mbah Yati kembali terkekeh. Makan malam dikediaman Lucas Levent menjadi lebih ramai tatkala putra-putri pasangan Lucas-Gisna hadir. Falisha dan Gibran beserta putra putri mereka datang dari Bandung. Raia, Fathan dan juga putra putri mereka juga datang. Begitu juga dengan Akara, Rianna dan putra putri mereka. Semuanya datang untuk menyambut kembalinya si bungsu yang sudah lama merantau. Inilah yang sebenarnya Oma Gisna dan Opa Lucas rindukan. Berkumpulnya anak dan cucu mereka dan suasana rumah yang ramai. Raut wajah keduanya juga sangat berubah drastis. Senyum tak lepas dari wajah dan mata mereka tatkala mereka mendengar anak-anak mereka saling berargumen tajam hingga tak jarang Silvania melihat Rayyan dipukul oleh kakak perempuan tertuanya, Falisha. "Makasih udah mau nemenin Mama disini." Ucap Falisha saat mereka tengah mencuci piring bekas makan malam di dapur. "Kenapa Aunty berterima kasih sama Sisi. Sisi yang harusnya terima kasih sama Oma karena mau nampung Sisi disini." Ucap Silvania apa adanya. "Aunty tahu apa yang ada di kepala Mami kamu. Dia mau kamu tinggal disini bukan karena takut kamu merepotkan Aunty Ana atau Om Adskhan, tapi karena Mami kamu mikirin mamanya Aunty karena Mami kamu tahu kalau Mamanya Aunty itu sebenarnya kesepian. Aunty bukannya gak sayang sama Mama. Tapi Aunty sudah jadi seorang istri yang harus mengabdi sama suami. Jadi Aunty harus ikut kemanapun suami Aunty pergi dan dimanapun suami Aunty tinggal. Aunty yakin suatu saat, ketika kamu sudah menikah dan berkeluarga kamu akan mengerti apa yang Aunty maksud." Ucap Aunty Falisha dengan nada sedih. Silvania menyunggingkan senyumnya dan menganggukkan kepala. "Sisi paham kok, Aunty. Aunty tenang aja, selama Sisi ada disini, Sisi akan jagain Oma sama Opa. Dan kalau ada sesuatu sama Oma atau Opa, Sisi janji akan kasih tahu Aunty." Janjinya yang dijawab anggukkan tantenya itu. Falisha mengangkat sebelah tangannya dan mengusap kepala Silvania yang berbalut kerudung dengan sayang. "Makasih ya." Ucap wanita berusia pertengahan tiga puluhan itu dengan sungguh-sungguh yang hanya dijawab anggukkan Silvania. Mereka menghabiskan waktu malam dengan berkumpul di ruang keluarga. Para pria memindahkan sofa ke sudut ruangan sementara para wanita menggelar beberapa karpet besar disana. Setelahnya anak-anak keluar masuk kamar dan membawa bantal dibantu Silvania yang selimut supaya mereka tidak kedinginan saat malam. Para wanita membuat barisan bantal bagi mereka dan juga anak-anak sementara para pria masih duduk di sofa dan berbincang. Mereka menghabiskan malam dengan berbagi cerita. Entah cerita kala mereka masih kanak-kanak atau saat dewasa. Entah menceritakan kenakalan dan prestasi anak masing-masing atau menceritakan rencana masa depan mereka. Silvania hanya berbaring disana, disamping anak-anak dan turut mendengarkan. Ia suka menjaadi bagian keluarga besar. Ia suka mendengarkan cerita orang-orang karena dengan demikian, ia mendapatkan banyak pelajaran hidup. _______________________ Jangan lupa untuk tinggalkan komen ya....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD