Bab 5
Jodoh Tak Terduga
Aqila meremas tangannya gugup dengan mata terpejam, sementara batinnya tidak berhenti berdoa untuk keselamatan sang majikan yang sudah memperlakukannya dengan baik selama ini.
Saat ini Aqila bersama Mirna dan Mardi sedang menuju ke rumah sakit untuk melihat kondisi terkini nyonya majikan mereka. Mereka baru saja mendapatkan telepon jika Hilda terkena serangan jantung hingga membuat wanita paruh baya itu dilarikan ke rumah sakit.
Rasa cemas dan khawatir tentu saja menghantui ketiganya. Pasalnya, Hilda adalah orang baik yang memperlakukan mereka layaknya seperti saudara. Jika sesuatu yang terjadi pada Hilda, maka kesedihan akan menerpa keluarga.
"Ya Allah, semoga mbak Hilda enggak kenapa-napa. Ibu cemas banget dengan kondisi mbak Hilda, Pak," ucap Mirna di sela perjalanan.
"Bapak juga cemas, Bu. Semoga saja mbak Hilda enggak kenapa-napa. Kita berdoa yang terbaik untuk mbak Hilda."
Mirna mengangguk setuju. Matanya mulai terpejam dan mendoakan yang terbaik untuk majikan mereka.
Tak lama kemudian, mobil yang disopiri Mardi akhirnya tiba di pelataran rumah sakit. Mirna dan Aqila segera turun sementara Mardi sendiri memilih posisi yang tepat untuk memarkirkan kendaraan.
Setelah menunggu beberapa menit di lobby rumah sakit, Mardi akhirnya muncul membuat Aqila dan Mirna yang sudah menunggunya segera bergegas menuju ruang gawat darurat di mana Hilda berada.
"Pak, bagaimana kondisi mbak Hilda? Apa sudah ada informasi?" Napas Mirna masih tersengal ketika ia menanyakan kondisi Hilda pada Jimmy yang saat ini sedang berdiri di depan ruangan di mana Hilda tengah ditangani.
Jimmy menghela napas berat akan kondisi istrinya yang belum mendapatkan kabar apa pun dari dokter.
"Istri saya lagi ditangani. Dokter belum keluar dari tadi," jawab Jimmy. Terlihat sekali gurat sedih dari ekspresi wajahnya memikirkan kondisi istrinya saat ini.
Seharusnya, dia lebih awal membawa sang istri keluar dari kediaman Salma untuk meminimalisir kejadian seperti ini. Namun, karena didera rasa panik dan cemas membuat Jimmy tidak memikirkan jika sewaktu-waktu penyakit jantung sang istri kumat.
"Sabar ya, Pak. Kita berdoa, semoga saja Mbak Hilda baik-baik saja."
Mardi menepuk pundak Jimmy pelan. Bekerja cukup lama dengan keluarga Jimmy membuat Mardi tidak begitu canggung bersikap akrab dengan Jimmy.
Mereka bersikap layaknya saudara karena memang Jimmy tidak pernah memperlakukannya seperti majikan pada bawahan. Terkadang, kedua pria yang berbeda usia berapa tahun itu seringkali saling mencurahkan isi hati mereka sehingga keduanya sama-sama tahu rahasia masing-masing.
"Terima kasih, Mardi." Jimmy kemudian mengalihkan tatapannya pada Aqila yang berdiri dalam diam di samping Mirna. "Aqila, di sini juga?" tanyanya pada Aqila.
"Iya, Pak." Aqila tersenyum sopan sambil menganggukkan kepalanya pelan. Setelah itu, ia menundukkan kepalanya.
"Sehat, Nak?" tanyanya. Jimmy sendiri sudah tiga hari ini berada di luar kota dan baru pulang tadi subuh untuk menghadiri pernikahan putranya.
"Alhamdulillah, sehat, Pak. Bapak sendiri sehat?" Aqila mendongakkan kepalanya sebentar sebelum akhirnya ia menundukkannya kembali.
"Alhamdulillah, bapak juga sehat."
Jimmy tersenyum melihat sikap Aqila yang begitu menjaga pandangannya. Tiba-tiba pria paruh baya itu ingat beberapa minggu yang lalu istrinya pernah berkata ingin memiliki menantu seperti Aqila yang rajin beribadah dan juga tidak pemalas. Bonus lebihnya, gadis itu memiliki rupa yang sangat cantik meski dalam pakaian sederhana dan mahkotanya adalah kain penutup aurat. Namun, keinginan Hilda memang harus dipendam karena putranya sendiri sudah memilih wanita lain.
Tak selang berapa lama, pintu akhirnya terbuka dan menampilkan seorang dokter paruh baya yang biasa menangani kondisi Hilda.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Jimmy menatap dokter wanita itu penuh tanya.
"Kondisi Bu Hilda sekarang cukup memprihatinkan. Kita berdoa saja, semoga beliau cepat sadar." Dokter Eka menjawab dengan tenang. Namun, dari ekspresi wajahnya semua orang yang berada di sana tahu jika saat ini kondisi Hilda tidak sedang baik-baik saja.
"Tolong, lakukan yang terbaik untuk istri saya." Jimmy menatap Dokter Eka penuh permohonan.
"Kami akan melakukan yang terbaik untuk Bu Hilda. Tapi, Tuhan yang punya kehendak dan rencana-Nya sendiri. Bapak dan keluarga berdoa, semoga Bu Hilda bisa pulih secepatnya."
Jimmy mengangguk pasrah. Pria paruh baya itu dibimbing Mardi untuk duduk di kursi yang tersedia.
"Ya Allah, semoga istriku cepat pulih dan sadar. Aku takut dia kenapa-napa," ucap Jimmy seraya mengusap wajahnya.
"Berdoa ya, Pak, semoga mbak Hilda segera sadar." Mardi berusaha untuk menguatkan majikannya agar tetap tegar.
"Terima kasih, Mardi." Jimmy kemudian mengalihkan tatapannya ke sisi lain diikuti oleh Mardi yang baru menyadari jika di sisi lain depan ruangan ada sosok sang anak majikan yang sudah lama tidak pulang ke rumah.
"Mas Gibran," sapa Mardi sambil menganggukkan kepalanya.
Gibran yang disapa mengangguk kecil. Pria itu diam ditempat tidak mendekat ke arah papanya ataupun menenangkan sang Papa yang sedang kalut. Gibran hanya berdiri dalam diam dengan kedua tangan dia sembunyikan di balik punggung.
"Gibran, apa yang terjadi selanjutnya?" Jimmy bangkit berdiri melangkah menuju sosok sang putra.
"Memangnya apa yang harus terjadi? Pernikahan batal, tentu saja," jawab Gibran tenang.
"Kamu membatalkannya di depan para awak media? Kalau orang lain berpikir kamu bukan pria yang menerima wanita apa adanya, bagaimana?"
"Aku memang mencari calon istri yang sempurna. Perempuan yang tidak bisa menjaga kehormatannya sebelum menikah, bukan tipeku." Gibran masih menjawab dengan nada tenangnya. "Lagi pula, kenapa aku harus memikirkan apa yang dipikirkan orang lain?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat.
Jimmy hanya bisa menghela napas menanggapi ucapan putranya yang memang ada benarnya. Perempuan yang tidak bisa menjaga kehormatannya, bukanlah perempuan yang cocok untuk menyatu dengan keluarga mereka. Jimmy sendiri bersyukur putranya memilih untuk melepaskan Salma. Andai saja Gibran masih tetap ingin bersama Salma, Jimmy tidak bisa menghalangi mereka untuk bersatu.
"Papa bersyukur kamu mengambil keputusan yang tepat. Papa harap, kedepannya kamu bisa memilih calon istri yang baik," ujar Jimmy seraya menepuk pundak Gibran.
"Akan aku usahakan, Pa," balas Gibran.
Ekspresi wajahnya masih tetap datar seperti biasa. Tidak ada yang tahu betapa cemas dan paniknya ia saat ini karena kondisi mamanya sedang tidak stabil saat ini.
Gibran memang sengaja memanggil awak media untuk meliput langsung momen hari ini. Gibran tidak ingin di kemudian hari akan ada berita yang tidak mengenakkan tentang batalnya pernikahannya dan Salma yang disebabkan olehnya. Maka dari itu Gibran sengaja memanggil awak media untuk meliput kejadian di kediaman Salma untuk membungkam mulut orang-orang yang akan berkomentar buruk tentangnya dan keluarganya. Terlebih lagi, Salma bisa memutar balikkan fakta karena akan ada banyak orang yang percaya padanya mengingat statusnya sebagai public figure.