Bab 20 — Penggoda

2015 Words
Baru saja hendak meraih gagang pintu, lebih dulu pintu terbuka dari arah dalam. Terlihat sang mama berdiri di depan pintu. "Mama belum tidur?" "Gimana mau mau tidur saat anak mama belum pulang? Bilang kalau kejebak di jalan dalam cuaca ekstrim? Ya pasti mama khawatir sama anak perempuan mama satu-satunya ini. Papanya kamu juga nungguin, tapi dia ketiduran duluan." Ratu tersenyum. "Tapi aku kan enggak sendirian, Ma." Harus Ratu akui jika Aditya yang mengantarkannya pulang itu berjasa untuknya. Kalau tidak, Ratu pasti ketakutan sendirian yang tak tahu harus bagaimana. "Oh iya, mana abang dari temanmu itu? Nggak disuruh mampir sebentar? Mama pengen ucapin terima kasih karena udah nganterin pulang anak cantik mama dengan selamat." Zee memajukan kepalanya mengedarkan pandangan ke arah luar pintu rumah. Namun, dia tak menemukan sosok lain di sekitar rumah, kecuali pak satpam. "Mana dia?" "Langsung pulang dia, Ma." Ratu melangkah masuk ke dalam rumah. "Loh, kenapa? Nggak kamu tawarin mampir dulu? Kasihan kan lama di jalan nganterin kamu pulang, tapi nggak mampir walau hanya sekedar minum. Mama kan juga pengen kenal selain ucapin terima kasih. Kan kata kamu, abangnya itu dosen pembimbing kamu juga." "Aku baru aja bilang terima kasih, dia langsung keluar mobil. Bilang mau langsung pulang, terus jalan ke depan sana." Ratu mengedikkan bahunya. "Nggak bakalan mau dia mampir kayaknya juga, semisal ditawarin." "Oalah. Kenapa nggak ditawarin pulang pakai motornya Pak Ujang aja? Atau bawa lagi mobilnya kamu. Besok dibalikin ke sini. Setidaknya malam-malam begini, dia harus cari kendaraan untuk pulang." "Yaah... belum lanjut ngomong lagi setelah bilang 'terima kasih', orangnya udah ngacir. Mau gimana? Dia emang agak lain orangnya." Ratu jadi segar, tak merasakan kantuk lagi. Perempuan itu duduk di sofa, diikuti oleh sang mama setelahnya usai mengunci pintu utama. "Agak lain gimana orangnya? Dia nggak macam-macam sama kamu sepanjang jalan, 'kan?" tanya Zee dengan mata menyipit. Agak risau anaknya pulang bersama seorang lelaki, pasalnya selama ini sang anak tak pernah dekat dengan lelaki mana pun. Tak pernah berpacaran. Lebih sibuk dengan mengejar idolnya, mendatangi setiap ada konser atau fanmeeting. "Enggak sih, Ma." Ratu jadi mengingat ulang bagaimana malam ini dirinya yang tertahan lama di dalam mobil bersama lelaki yang lebih banyak diam itu. Menyebalkan memang. Namun, di sisi lain Ratu merasa secure. Cuaca ekstrim kilat petir menyambar, ada lelaki itu di sebelahnya yang membuat Ratu merasa ada tempat untuk berlindung. Terbayang-bayang oleh Ratu, bagaimana dirinya yang berlindung pada tubuh lelaki itu dengan memeluk tubuh itu. Anehnya, Ratu merasa nyaman memeluk lelaki itu. Dan yaa... Ratu akui jika dia menyukai aroma tubuh lelaki itu. "Atu?" Ratu spontan menoleh. "Dia agak lain gimana maksudnya kamu?" "Kaku kayak robot gitu, Ma. Kebanyakan diam aja, nggak ada ngeluh sama kondisi jalanan sejak ngelewatin banjir sama pohon tumbang itu. Aku udah uring-uringan, eh dia kelihatan tenang aja." Zee sontak tertawa mendengar perkataan anaknya tersebut. "Kok mama malah ketawa?" "Itu bukan aneh dong! Mungkin udah karakternya begitu. Pembawaannya yang tenang dan nggak banyak omong kalau nggak penting. Sama kayak Om Azka itu. Sejak sebelum menikah sama Tante Tasha dulu, Om Azka itu modelannya begitu. Ngomong seperlunya aja. Kalau nggak penting, nggak akan dia ngomong. Diam aja." "Tapi kan aku bete tadi itu, Ma. Kejebak lama di dalam mobil, butuh teman ngobrol—nanggepin aku yang uring-uringan." "Mama rasa kupingnya dia berisik dengar kamu yang terus ngedumel." "Issshhh, Mama! Memangnya aku seberisik itu?" Zee tertawa. "Lagi ya, Tu, dia kan dosennya kamu. Dia pasti jaga image dong sebagai dosen yang berwibawa, meski pun di sisi lain dia itu abang dari temannya kamu. Masa dia ikutan uring-uringan kayak kamu juga?" Ratu menggeleng cepat. "Bagiku dia itu tetap manusia yang paling menyebalkan, Ma." Zee mengernyit, heran. "Ada hal lain apa yang menurut kaku menyebalkan, hingga bikin kamu ambil kesimpulan begitu?" Zee tak yakin hanya sekedar lelaki itu yang banyak diam saja di mobil. Ratu itu memang banyak bicara sama sepertinya, akan tetapi dia tahu persis bagaimana sang anak. Tak akan sebal kepada seseorang dengan alasan sepele. "Dia itu dulu kasih aku nilai C waktu semester lima, Ma. Jelekin lembaran IP-ku aja, kan nilaiku bagus semua. Cuma karena aku telat 5 menit ada telat ngumpulin tugas 1 jam. Intinya, aku kan tetap ngumpulin pada hari itu juga. Tugasku nggak diterima waktu itu. Aku sampai nangis-nangis, tetap dia nggak ada pertimbangan sedikit pun. Nyebelin kan, Ma? Kenapa pula orang seperti itu yang menjadi kakaknya teman baruku? Malah Sukma itu orangnya asik. Seru berteman dengan dia, sama kayak Vika." "Dia cuma pengen menjadi dosen yang tegas dan disiplin kali, Tu." "Mama kenapa sama jawabannya kayak dia tadi waktu aku bahas perihal yang semester lima dulu? Nyebelin." Ratu mengerucutkan bibirnya. "Wajar itu... " Ratu menggeleng tak terima. Nilainya A semua pada mata kuliah lainnya saat itu, selalu begitu sejak semester awal, eh ternoda dengan satu nilai C. Ratu sungguh tak suka melihat huruf itu bertengger di sana. "Mama tahu, aku nggak suka ada nilaiku yang ngga bagus. Meski IP-ku saat itu tetap tinggi dibanding teman-temanku, tetap aja, sebel ngeliat nilai pada mata kuliah itu." "Sampai sekarang masih kebawa-bawa aja sebelnya?" "Masih, Ma. Apa lagi dia nyebelin jadi dosen pembimbing aku. Issh... aku sebel pokoknya sama dia. Tapi... aku akui malam ini dia udah berjasa antar aku pulang ngelewatin badai dan aku terima kasih padanya. Di sisi lain, sikapnya itu enggak bagus. AKu enggak suka." "Terus?" "Nggak ada terusannya lagi. Cukup sekian dan terima uang awal bulan nanti." Ratu memang diberikan uang jajan per bulan oleh orang tuanya. Harus cukup selama sebulan, tak ada tambahan. Ratu bukan tipe perempuan yang boros, jadi uang yang diberikan oleh orang tuanya sering disisihkan untuk menabung. Baik dalam bentuk tabungan biasa saja atau saham. "Iya... nanti mama transfer." "Tetap sama meski aku udah jarang ke kampus, 'kan?" "Iya, sama. Selagi kamu masih tercatat sebagai mahasiswa." "Makasih mamaku yang paling cantik dan menjadi panutanku." "Bisa aja kamu. Oh ya, mama jadi penasaran, abangnya Sukma itu emangnya udah tua? Kan biasanya dosen yang nyebelin itu yang udah tua-tua begitu." "Tua dia itu. Udah 33 tahun, tapi masih single. Nggak laku kayaknya dia itu, udah tua belum menikah juga. Mungkin karena dia orangnya dingin begitu, jadi perempuan pada malas sama dia." "Mana tua 33 itu, Atu. Masih muda namanya." "Tua itu, Ma." Zee kembali tertawa menyadari anaknya yang terlihat begitu membenci dosen sekaligus abang dari temannya itu. "Jangan terlalu sebal—membenci begitu. Nanti gimana kalau tiba-tiba kamu kesemsem sama dia?" "Dih, mama kok mikirnya gitu, sih? Sama kayak Vika? Amit-amit... jangan sampai aku kesemsem sama dia. Ya kali aku suka sama orang yang paling aku sebal." "Dia cakep nggak?" Ratu bergumam malas. Setelah dia perhatikan lekat, lelaki itu agak tampan sebenarnya... "Ganteng nggak?" Zee memang terbiasa mengajak anaknya untuk tak sungkan bercerita apa saja kepadanya. Tak perlu sembunyi-sembunyi jika memiliki kekasih. "Cakep, sih. Tapi tetap, gantengan idolaku di Koreyah." *** "Belom. Kenapa?" Ratu mengangkat telepon dari Vika. Temannya itu batu membalas chat yang tadi Ratu kirimkan. "Sorry baru respon. Tadi gue lagi ribet di luar, hujan dan banjir juga di tempat yang gue lewatin pas mau ke acara teman gue. Udah janji mau datang." "Lo dari mana emangnya?" "Acara ulang tahun." "Teman? Teman yang mana? Curiga gue. Lo lagi dekat sama seseorang?" "Ada lah, tetangga gue dulu waktu masih SMP. Cewek, kok." "Oalah. Kirain ada gebetan baru dan diam-diam nge-date." "Nggak lah. Hmm... Atu, gue boleh nginep di rumah lo aja malam ini? Udah jam segini, nggak enak bangunin Ibu. Gue enggak bawa kunci. Tadi udah bilang sama Ibu kalau nginep di rumah lo semisal kemalaman. Kan lebih dekatnya ke rumah elo dari tempat acaranya teman gue." "Oke. Kabarin aja, gue belum ngantuk. Tadi ketiduran di mobil." "Gue udah mau sampe, sih. Tadi di jalan, ketemu sama Kak Al. Gue bareng Kak Al ini." "Iya, oke." Tak lama kemudian terdengar suara mobil pada keheningan malam, serta suara pagar yang terbuka. Pintu kamarnya Ratu terbuka dari luar, karena Ratu sudah bilang sebelumnya kepada Vika jika pintu tak dikunci. Mata Ratu teralih dari ponsel di tangannya kepada Vika yang baru saja memasuki kamarnya. Vika terlihat begitu cantik dengan dress yang melekat pada tubuh perempuan itu. Riasan di wajah perempuan itu juga tak seperti biasa. "Cantik banget lo malam ini," puji Ratu tulus. Memang Vika terlihat mempesona malam ini dengan dress berwarna hitam. Kontras dengan warna kulit perempuan itu yang putih. "Sampai dandan cakep banget begini pula, ada yang diincar kah di sana?" Vika menggeleng. "Nggak ada, Atu. Masih setia jomblo gue, kan nemenin elo." "Kata siapa gue jomblo? Kan gue pacarnya Sehun." "Iyain, biar senang." Ratu tertawa. "Sana bersihin make up dan muka lo dulu sana! Ganti baju juga. Gue nggak sabar mau cerita banyak sama lo." "Tentang Pak Aditya?" "Siapa lagi emang belakangan ini yang bikin gue uring-uringan?" "Wait lah kalau begitu." Vika menuju lemarinya Ratu, mengambil baju ganti untuknya, sebuah piyama tidur. Sudah biasa begitu sejak zaman SMA. Vika membersihkan make up di wajahnya, lalu ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan ganti pakaian. Keluar dari kamar mandi, dia menuju ke tempat tidur. Ikut berbaring di sebelah Ratu. "Sumpah ya, Vik, gue itu rasanya semobil sama laki-laki gagu. Kok bisa-bisanya si Aditya itu mukanya lempeng-lempeng aja di situasi kayak begitu? Nggak ada ngeluh. Tenang aja dia." "Gue nggak kebayang gimana berisiknya elo." "Jelas gue berisik! Kejebak lama begitu, mana hujan angin kenceng banget. Serem!" Vika meraih ponselnya ketika mendapati layar ponsel di sisinya menyala. Ada notifikasi pesan dari seseorang, yang baru saja pergi dengannya. Ralat, yang ditemaninya mendatangi acara ulang tahun mantan kekasih lelaki itu. Kak Alvaro Kalau Ratu udah tidur, ksini stlah itu Pengen peluk2 🤗 Pengen kayak waktu itu lagi Ga boleh nolak, oke? Vika mendesah pelan membaca pesan dari kakak temannya itu. Seseorang yang dia sukai dari dulu, sampai sekarang juga sebenarnya masih, tapi... "Woy! Lo dengarin gue nggak? Chat dari siapa, sih, malam-malam begini?" "Teman gue. Mastiin gue udah di rumah atau belum. Wait, gue balas dulu." Vika mengetikkan pesan balasan untuk lelaki yang berada di lantai yang sama dengannya saat ini. Ingin pura-pura tidur, tapi lelaki itu pasti akan mengungkit-ungkit perihal bantuan yang diberikan kepadanya. Kak Alvaro Pokoknya gue tunggu Janji ga lama. Stngah jam aja. Setengah jam apanya? Mana bisa dipercaya? Dan Vika sama sekali tak bisa membantah. *** Aditya baru saja melakukan sebuah misi yang disuruh oleh bosnya. Sekarang, dia berada di markas bersama rekannya yang lain. Menunggu sang bos datang. Biasa, bosnya itu tak selalu ada di rumah ini. Ada istri pertamanya yang harus ditemani juga. Istri sirihnya yang masih muda di rumah ini, paling mengingap di sini selama 2 kali malam. Jika weekend, baru seharian di sini atau pergi membawa istri mudanya itu berlibur. Lapar, Aditya hendak memasak mie di dapur. Asisten rumah tangga di sini memasak untuk penghuni rumah, bukan untuk mereka anak buahnya sang majikan. Aditya berniat memasak mie instan. "Aditya... " Aditya seketika menoleh mendengar suara lembut seorang perempuan memanggil namanya. Yang tak lain adalah istri dari bosnya. Perempuan itu menggunakan gaun tidur dengan outer tipis. Namun, belahan dadanya membuat Aditya langsung mengalihkan pandangannya. Menunduk dengan tangannya membuka bungkus mie instant. "Kamu mau masak mie?" "Iya, Bu." "Duh, kamu ini kenapa manggil saya itu 'Ibu'? Kan kita nggak beda jauh umurnya. Kamu 33 tahun, 'kan? Saya bahkan lebih mudah dari kamu, masih 30 tahun. Panggil nama aja, Megan." "Nggak sopan rasanya." Aditya menyahut tanpa menoleh. "Nggak apa-apa, kok. Panggil saya Megan aja kalau lagi berdua begini." Aditya mengernyit. Ada yang aneh dari kalimat perempuan itu. "Saya juga pengen bikin mie. Udah lama nggak makan mie, kebetulan banget kamu lagi bikin juga. Mau saya bikinin sekalian." "Enggak usah, Bu. Terima kasih." Aditya tetap menjawab dengan nada rendah. "Nggak apa-apa, Adit. Biar saya yang bikinin sekalian. Kamu tunggu duduk aja di meja makan." Aditya menggeleng. Ini tak benar... "Bu, saya bisa bikin sendi— " "Sssttt... tenang, nggak ada bosnya kamu. Dia kejebak macet parah dan lama baru sampai di sini. Kamu takut dia tahu, 'kan? Aman. CCTV di dapur ini lagi rusak." Aditya langsung menebak, jika perempuan ini lah mengirimkan pesan kepadanya? Pasalnya, barusan Aditya berpapasan dengan dua orang asisten rumah tangga di rumah ini dan mereka tampak biasa saja menatapnya. Hanya mengangguk sopan sembari tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD