1

723 Words
Hidup itu kadang cuma butuh satu alasan kecil untuk berubah drastis. Dan dalam kasus Nayaka, alasan kecil itu adalah bosan. Nayaka adalah wanita karir yang terlalu sibuk bekerja hingga tak ada waktu untuk mengenal pria. Malam itu, hujan mengguyur kota tanpa ampun. Langit gelap, udara lembap, dan suara gemericik air di luar jendela jadi musik latar satu -satunya di kamar kontrakan sempitnya. Ponsel tergeletak di atas perutnya, layar menyala dengan notifikasi aplikasi perkenalan yang baru saja ia unduh lima belas menit lalu. Iseng. Serius, hanya iseng. Bukan cari cinta. Bukan cari pasangan. Dan bukan cari suami orang. Nayaka hanya gadis biasa berusia 26 tahun yang sedang jenuh. Jenuh dengan pekerjaannya sebagai staf admin yang gitu -gitu aja. Jenuh dengan lingkaran pertemanan yang mulai menguap satu per satu. Dan yang paling menyebalkan jenuh dengan kesendirian yang makin terasa tajam di usia kepala dua menuju tiga. "Kenalan yuk?" "Sendirian, cantik?" "Pagi -pagi udah manis aja."" Pesan-pesan receh itu masuk satu per satu. Semua terdengar sama. Garing. Membosankan. Nayaka hanya tersenyum miris, lalu men -swipe kiri hampir semuanya. Sampai akhirnya satu profil itu muncul. Nama pengguna: Daska P. Usia: 37. Foto profil: pria berjas abu, duduk di depan laptop dengan ekspresi kalem dan sedikit dingin. Bukan tipe yang suka pamer six -pack atau gaya sok asik. Bio -nya singkat: "Ngobrol kalau nyambung. Kalau enggak, nggak usah dipaksain." Nayaka tertarik bukan karena wajahnya. Tapi karena auranya. Entah bagaimana, pria ini tidak terlihat seperti yang lain. Tanpa banyak pikir, Nayaka mulai mengetikkan sesuatu di kolom chat. "Halo, kamu kelihatan serius." Balasannya tidak lama kemudian, "Nggak juga. Cuma udah malas basa-basi sama yang bohong." Obrolan mereka dimulai dari hal sederhana. Kopi favorit. Film terakhir yang ditonton. Kenapa dia pakai aplikasi ini. Daska bicara pelan tapi jelas. Tidak terburu -buru, tidak agresif. Kalimat -kalimatnya tidak romantis, tapi anehnya, sangat menenangkan dan membuat Nayaka nyaman. Hari pertama mereka hanya mengobrol sebentar. Hari kedua, percakapan semakin panjang. Hari ketiga, Nayaka mulai menunggu notifikasi itu setiap pagi. Dan sebelum dia sadar, Daska sudah jadi candu kecil yang pelan-pelan masuk ke rutinitasnya. *** "Kalau kita ketemu beneran, kamu takut nggak?" tanya Daska suatu malam lewat pesan suara. Suara beratnya menyelinap masuk ke telinga Nayaka seperti lagu tidur yang lembut. Nayaka menjawab sambil memeluk bantal, "Nggak tahu. Tapi pengin." "Lho, kok gitu?" Daska membalas. "Soalnya penasaran. Kamu nyata nggak sih?" jawab Nayaka polos. Tiga minggu setelah obrolan pertama, mereka akhirnya bertemu. Tempatnya kafe kecil di pinggir kota. Daska datang lebih dulu, duduk di pojokan, mengenakan kemeja hitam dan jam tangan kulit. Tatapannya sama seperti di foto, tenang, rapi, sedikit misterius. “Nayaka?” katanya saat ia datang menghampiri. Suara itu. Ya Tuhan. Langsung membuat bulu kuduknya berdiri. Pertemuan pertama itu berakhir terlalu cepat. Mereka bicara banyak hal, tapi tak satu pun terasa garing. Daska tidak menyentuhnya, bahkan tidak memuji berlebihan. Tapi ada sesuatu dalam cara dia menatap seolah Nayaka adalah rahasia kecil yang ingin dia jaga baik-baik. *** Pertemuan kedua terjadi seminggu kemudian. Dan kali ini, hujan turun lebih deras dari biasanya. Mobil Daska berhenti di depan Nayaka yang baru saja pulang kerja. Ia membuka pintu dengan senyum tipis. "Masuk. Hujannya nggak main-main." Suara Daska begitu dingin namun tetap lembut. Di dalam mobil, keheningan itu terasa nyaman. Tidak ada musik. Hanya suara hujan yang memantul di atap. Nayaka menoleh. "Kamu selalu setenang ini?" Daska tertawa pelan. "Nggak juga. Sama kamu aja." Nayaka tersenyum, hatinya mencelos entah kenapa. Tentu saja pipinya merona. Memang bukan pujian, tapi Nayaka begitu senang. Tiba-tiba, Daska mendekat. Tidak memaksa, tidak terburu. Jarak di antara mereka mengecil. Dan sebelum Nayaka bisa berpikir jernih, bibir mereka bertemu. Lembut. Hangat. Dan, terlalu mudah untuk disukai. *** Setelah itu, semuanya kabur. Waktu jadi kabur. Rasa bersalah pun kabur. Sampai akhirnya malam itu datang. Nayaka dan Daska duduk di dalam mobil yang sama, tempat yang sama, tapi dengan suasana yang berbeda. Daska menatapnya lebih lama dari biasanya. "Aku harus jujur sekarang," katanya akhirnya. Nayaka mengernyit. "Tentang apa?" Daska menarik napas panjang. "Aku ... belum sendiri, Nay. Aku udah nikah." Sunyi ... Hujan masih turun di luar. Tapi d**a Nayaka justru terasa lebih deras. Deg! Deg! Deg! "Apa?" bisiknya. "Aku nggak bohong. Aku sayang kamu, tapi aku juga nggak bisa ninggalin semuanya begitu aja." Nayaka cari teman ngobrol. Tapi sekarang, dia jatuh hati. Jatuh hati pada suami orang. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Ia tak ingin berhenti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD