3. Sudut Pandang Valerio

1544 Words
Valerio tentu masih ingat kejadian lima tahun lalu. Masih segar di ingatannya bagaimana Avelyn mengkhianatinya dua kali hanya karena tingkat kepercayaannya yang sungguh tinggi. Tapi, Valerio tidak bisa mengklaim hal yang sama karena setiap orang pasti berkembang dengan seiringnya waktu berjalan. Entah Velyn sudah berubah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Tapi Valerio berharap, Velyn mampu mengubah sifat buruknya. Valerio tersenyum kecil. Velyn adalah mantan terindahnya. Gadis itu mampu membuatnya tak bisa berpaling. Mungkin bisa dibilang sampai sekarang. Ah tapi tidak, ada Fara di sisinya sekarang. Valerio menekan sandi apartemennya lalu masuk ke dalam. Ia seorang pengusaha dan membangun sebuah rumah tentu hal mudah baginya. Tapi, apartemen yang sedang ia pijaki sekarang terlalu berharga untuk ia tinggal. Ada begitu banyak kenangan yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Langkah lebar Valerio membawanya ke satu rak di mana ada sebuah dus di bawahnya. Ia membungkuk mengambilnya dan membawanya ke meja di tengah sofa. Kedua tangan Valerio membukanya dan langsung terlihat ada banyak buku di sana. Tepatnya buku-buku kuno original dari berbagai tahun. Ia dan Velyn sama-sama kolektor akut dalam hal ini. Mereka sama-sama suka buku-buku dari tahun-tahun lama. Tapi mencarinya itu tidak mudah. Jadi Velyn hanya punya sedikit, bisa dibilang hanya lima puluh persen dari total milik Valerio. Valerio ingat jika Velyn pernah meminta salah satu buku miliknya dengan mata memelas. Tapi sayangnya, Valerio tidak memberinya dengan alasan jika buku itu mahal. Namun yang sebenarnya terjadi bukanlah hal itu. Ia sengaja mengumpulkan buku-bukunya dan memburu buku-buku lain lalu ia simpan baik-baik di dalam dus agar suatu saat nanti ia bisa memberinya pada Velyn sebagai hadiah. Dulu, hal yang terpikirkan olehnya adalah hadiah pernikahan. Tapi sepertinya itu tidak akan terjadi. Sebenarnya, hal yang sulit bagi Valerio memutuskan hubungan dengan Velyn. Karena rasanya perempuan itu sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tapi, sifat Velyn terlalu melekat dan itu sangat merugikan hubungan mereka. Awalnya Valerio sudah maklum dan mengajak Velyn berubah. Tapi, ya tidak bisa. Namun, setelah hubungan itu kandas. Valerio tetap mengawasi Velyn dari jauh. Ia tetap sayang pada gadis itu. Suatu saat di hari kelulusan SMA. Ketika mereka sedang merayakan dengan melukis nama di seragam menggunakan spidol. Valerio mencoba meredam semuanya dan ingin mengembalikan hubungan mereka. Tapi, saat ia menghampiri Velyn. Velyn tampak buru-buru pergi dari sana dan pulang ke rumah. Valerio mencoba menghubungi Velyn ketika ia sampai di apartemennya. Tapi, tidak dijawab, tidak tersambung juga sebenarnya. Keesokan harinya, Valerio mencoba ke rumahnya. Namun ia mengalami kecelakaan kecil hingga malah berakhir di rumah sakit. Valerio bisa ke sana dua hari kemudian, itupun ia memaksa. Tapi sayang, Velyn ternyata sudah tidak ada di rumahnya. Ya, Velyn bukan hanya sekedar tidak di rumah. Tapi juga sudah meninggalkan negaranya. Fakta itu membuat Valerio termangu. Ia memang sering kali mendengar Velyn bercerita jika ia ingin kuliah di luar negeri agar orang tuanya tidak merongrongnya lagi tentang memimpin perusahaan. Hanya saja, masalahnya, kenapa secepat ini? Dia juga sama sekali tidak mengabarkan Valerio. Memang hubungan mereka berakhir. Tapi apakah Valerio jadi tidak penting baginya? Apa menurutnya dua tahu pacaran tidak ada nilainya? Sejak saat itu, ia pun mundur, tidak mungkin ia menyusul Velyn jauh kesana. Ia memutuskan fokus dengan kuliahnya karena nanti ia yang akan menggantikan ayahnya sebagai CEO perusahaan. Perlahan tapi pasti, mengandalkan waktu yang terus berputar, perasaan Valerio ke Velyn mulai berkurang. Tidak sekuat dulu. Tepatnya empat tahun yang lalu di mana ia bertemu Fara. Ia ingat jika Fara ini adalah adik kelasnya yang dulu pernah memberinya sebuah hadiah. Ya, Fara sudah menaruh rasa pada Valerio sejak SMA. Gadis itu mengejar Valerio sampai dirinya tamat sekolah. Fara benar-benar memperjuangkan perasaannya ketika Valerio tidak menggubrisnya. Ini karena Valerio yang memang tidak menyukainya. Apa boleh buat, bukan? Tapi dua tahun setelahnya, ada sebuah kecelakaan yang benar-benar merugikan Fara. Perempuan itu jadi lumpuh karenanya. Harus menggunakan kursi roda. Pergerakannya jadi terbatas. Valerio awalnya merasa iba. Namun, iba itu perlahan berubah menjadi perasaan yang lebih jauh khusus. Perasaan sayang. Fara yang selalu mengikutinya kemanapun ia pergi rasanya hampa ketika ia tidak ada lagi. Dari sana Valerio sadar, sudah ada rasa di hatinya untuk Fara. Memang belum menguasai seluruhnya karena Velyn masih mendominasi kuat hatinya. Tapi, untuk tahap awal, mungkin ini yang terbaik untuknya dan untuk Fara. Dan dari sanalah semua bermulai. Valerio tersenyum mengingat semuanya. Dan sekarang Velyn kembali. Harusnya itu tidak terjadi. Atau jika kembali, ia jangan pernah tahu. Ia hanya takut akan hatinya. Tapi ... tidaklah, ia harus setia dengan Fara. Asal ia menahan dirinya, semua pasti masih berada di zona aman. Ponsel di saku Valerio bergetar. Ia mengambilnya dan ternyata Fara yang menelepon. "Iya, Sayang?" Terdengar sahutan kesal Fara di telepon, membuat Valerio tertawa kecil. "Iya aku bakalan kesana, kok," ujarnya seraya bangkit berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi. "Tunggu aja, ya. Gak sampai tiga puluh menit, aku udah di sana." Valerio tersenyum mendengar celotehan Fara di telepon sebelum ia memutuskan panggilannya. Untuk hal ini, Fara dan Velyn sungguh berbeda. Jika Fara selalu mencemaskan dirinya sekaligus memperingati banyak hal, Velyn malah sebaliknya. Velyn begitu cuek, tidak mau repot-repot mengkhawatirkannya. Namun ketika sesuatu terjadi pada dirinya, Velyn adalah orang pertama yang marah-marah padanya  karena tidak bersikap waspada. Dua hal yang bertolak belakang tapi Valerio menyukai keduanya. *** Malam ini Valerio akan bermalam di rumah keluarga Fara. Tujuannya agar mereka lebih dekat dan akrab. Valerio sadar jika semakin hari rasa sayangnya ke Fara semakin besar. Maka dari itu ia memutuskan untuk bertunangan dengannya. Lagipula ia sudah dua puluh empat tahun. Rasanya sudah tepat untuk memilih seseorang sebagai pasangannya. Dan Fara lah orangnya. Valerio keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Ia berjalan ke arah lemari pakaian dan mengambil kaus berwarna hitam polos dan celana berwarna sama. Ia kemudian memakainya dengan cepat. Setelahnya Valerio ke arah lemari satunya lagi, lemari berwarna lilac. Lemari yang kontras dengan warna dominan kamarnya yang putih. Lemari yang isinya adalah barang-barang milik Velyn. Valerio membukanya. Ia menghela nafas. Sepertinya ia memang harus mengirimkan barang-barang ini ke Velyn. Sebenarnya sudah dari lama ia ingin mengemas semua barang-barang itu. Namun, pada akhirnya ia tak sanggup dan membiarkannya begitu saja. Tapi, Valerio tidak bisa begitu terus menerus. Ia harus melangkah maju. Fara atau Velyn! Dan jawabannya adalah Fara. Jadi ia harus menyingkirkan apapun yang berkaitan dengan Velyn. Valerio memejamkan matanya. Sebelah tangannya mengambil sebuah jaket hitam miliknya yang ia taruh di lemari itu. Ia akan memakainya malam ini. Jaket itu juga sudah beraroma seperti pakaian-pakaian Velyn yang lain, aroma vanila yang khas, parfum kesukaan gadis itu. Valerio menggelengkan kepalanya pelan. Tidak, ia tidak akan semudah itu jatuh kembali. Ia akan tunjukkan pada Velyn jika ia bukanlah Valerio yang dulu adalah budak cintanya. Valerio masih bisa hidup senang walau tanpa Velyn. Hanya butuh waktu sepuluh menit bagi Valerio untuk sampai di rumah besar keluarga Fara. Tak heran sebenarnya karena Fara memang berasal dari keluarga kaya raya. Valerio memang memimpin dan memiliki sebuah perusahaan, Gilbert Group tepatnya. Tapi bisa dikatakan jika nilai perusahaannya hanya setengah dari nilai perusahaan milik keluarga Fara. Singkatnya, Fara memiliki kekayaan dua kali lipatnya. Sebetulnya hal ini tidak bermasalah sama sekali, apalagi bagi Fara. Hanya saja, kebanyakan sifat orang kaya, mereka inginnya keluarga mereka menikah dengan seseorang yang setara. Begitulah sikap beberapa sepupu Fara padanya. Tapi Valerio tidak mempermasalahkan sama sekali. "Valerio!" Valerio baru saja membuka pintu mobilnya ketika Fara sudah melambaikan tangan dengan kencang di depan pintu rumah. Di atas kursi rodanya. "Kok lama banget, sih?" rengek Fara dengan bibir mengerucut menatap Valerio. "Cuma lima belas menit. Bahkan tadi aku bilang tiga puluh menit," ujar Valerio mendekat ke arahnya dan berlutut memegang tangannya. "Tetep aja lama," sahut Fara semakin memberengut kesal. Tangannya menggenggam erat tangan Valerio. "Mungkin kalau aku tinggal seapartemen sama kamu lebih baik. Kita bisa terus sama-sama. Lagipula kita mau tunangan. Pasti mama sama papa ijinin." Valerio tersenyum kecil. Entah sudah berapa kali Fara meminta untuk tinggal bersamanya. Tapi selalu saja ia tolak. Bahkan sekarang pun sama. "Nanti aja, ya. Kalau udah nikah," ujar Valerio dengan senyum lembutnya. Seumur-umur, satu-satunya perempuan yang pernah masuk dan tinggal di apartemen Valerio ya hanya Velyn. Ia sampai sekarang masih belum bisa memasukkan perempuan lain ke dalam sana. "Lama banget." Fara berseru. "Atau kalau tunangan terus nikah, gak papa, sih," ujarnya terkekeh pelan. "Valerio udah dateng, ya?" Seorang perempuan paruh baya menyela pembicaraan mereka. Itu mamanya Fara. Seorang wanita single parent yang begitu berwibawa. "Malam, Tante." Valerio hendak berdiri menyalami mama Fara, tapi Fara menggenggam tangannya lebih kencang, isyarat jika ia ingin Valerio tetap berada pada posisinya. Kekurangan Fara berada di sini. Ia sangat posesif pada Valerio. Ingin selalu bersama Valerio dan segala sesuatu pasti berkaitan dengan Valerio. Tak heran juga karena Fara sudah memendam rasa sejak SMA. Mama Fara juga paham dengan sifat anaknya. Untuk itu ia selalu maklum dan sering mengingatkan Valerio untuk sering sabar menghadapinya. Tapi sebenarnya sabar itu ada batasnya. Hanya saja, Valerio belum mencapai batas untuk saat ini. "Eh ... ini kenapa semua pada di luar? Ayo masuklah, udah mau hujan tuh." Farhan, kakak laki-laki Fara itu berucap dengan posisi berdiri di samping sang mama. Ia pria yang tangguh. Menjadi kepala keluarga dan melindungi mama serta adik bungsunya, Fara. Valerio mengangguk, ia berdiri dan memutar kursi roda Fara perlahan. Ia mulai mendorong dan masuk ke dalam rumah. Untuk keluarga kecil Fara, ia memang disambut hangat. Tapi akan agak berbeda ceritanya jika keluarga besar Fara di sana. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD