"Jangan cerita ini deh, papi jadi bingung sendiri," Tama yang tadinya berpikir sejenak memutuskan untuk tidak bercerita, Lea yang sudah bersiap mendengarkan langsung kecewa.
"Papiiii, aku udah nungguin loh!"
"Udah, gantinya papi tambahin uang jajan besok deh," tawar Tama pada bungsunya itu.
Lea terdiam sebentar memikirkan tawaran papinya, kebetulan sekali dia ingin membeli sesuatu, tapi ia langsung menyadarkan dirinya, "nggak! Aku mau papi cerita, please deh papiiii, aku penasaran banget, cerita dikit aja juga nggak apa kok, tapi ya jangan sedikit banget juga,"
Tama menghela napas panjang, susah juga menggoyahkan Lea.
"Jadi mami kamu itu dulunya kerja di kantor papi, sama kayak Tante Jeni dan Tante Farah. Tapi ya papi nggak begitu kenal, wajar lah ya..,karyawan jumlahnya banyak," akhirnya Tama mulai bercerita walau ia yakin tak kan bisa menceritakannya dengan baik.
"Terus gimana sampai kenal?"
"Hm.., ya itu karena mami kamu temen dekatnya Tante Jeni, papi udah tahu sampai Tante Jeni sebelum mereka kerja di tempat papi. Papi kenal dan dekat sama kakaknya tante Jeni, Om Seno,"
"Aaahh, ayahnya Bang Gaftan..," Lea mengingat orang yang dimaksud papinya.
Tama mengangguk, "ya papi dekat sama Tante Jeni, dan tahu sama mami kamu dan Tante Farah,"
"Terus papi suka sama Tante Jeni, tapi sayangnya Tante Jeni dijodohin sama Om Juan? Ckckck..., kasihaannnn,"
"Kamu yang cerita atau papi nih? Lagian tahu dari mana?" Tama penasaran dengan pengetahuan Lea.
"Ya papi yang ceritalah, jangan ngambek gitu dong, aku cuma denger dari bang Jaeta kalau papa mamanya dijodohin," terang Lea apa adanya.
"Ya gitu deh kira-kira.., walau ada banyak permasalahan akhirnya Om Juan dan Tante Jeni menikah nggak lama setelah Tante Farah dan Om Ziko nikah,"
"Terus tinggal mami dan papi dong yang belum nikah? Wiih, pasti menyedihkan banget tuh, terus terus!?"
"Kamu mah ngeledek, makanya papi malas cerita," Tama memutar bola matanya malas, "kamu nggak tahu sih gimana perasaan papi waktu itu,"
"Iya deh maaf, lanjut.. Waktu itu mami sama papi udah deket??"
Tama mengusap dagunya berpikir, "masih belum, karena kita masing-masing masih belum bisa move on,"
"Papi belum bisa move on dari tante Jeni, terus mami dari siapa??"
Tama tertawa kecil, "parahan mami kamu kalau masalah move on, dia suka sama Om Seno yang udah nikah lama banget, padahal nggak pernah dibalas perasaannya tapi tetap aja nggak bisa buka hati buat cowok manapun,"
"Hah!? Om Seno!? Seriusan pi??"
"Dari zaman mami kamu baru masuk kuliah, parah kan? Padahal katanya sih udah nggak kehitung orang yang nembak mami kamu,"
Lea terperangah masih tidak percaya dengan cerita papinya, "parah sih mami, tapi seleranya tinggi juga, aku sih kalau Om Seno masih muda aku juga bakalan ngejar-ngejar. Auranya itu loh, aura pangeran di cerita-cerita dongeng," Lea tersenyum sendiri dengan khayalannya.
"Udah jangan dipikirin, jangan sampai kamu suka ama orang yang udah punya istri, apasih namanya? Pelakor ya? Papi gorok kamu kalau begitu,"
"Ih papi serem banget. Terus setelah itu mami sama papi gimana? Udah mulai pedekate?? Siapa yang punya perasaan duluan??" Lea makin penasaran dengan kelanjutan cerita sang papi.
"Karena yang lain udah punya keluarga masing-masing, kita mulai jalan bareng, tapi ya sekedar teman biasa yang kayak punya permasalahan yang sama aja. Orang-orang pada mulai ngetawain gitu sih, cuma ya kita santai aja karena toh mami sama papi nyaman jalan bareng cuma sebatas teman, dan kamu tahu seberapa santainya mami kamu ngehadapin berbagai hal,"
"Iya, aku kadang juga bingung karena mami itu jarang banget kelihatan panik," komen Lea tentang wanita yang melahirkannya itu.
"Ya papi juga kebawa santai, kami sama-sama berusaha move on dan perlahan papi ngerasa kalau baru kali itu papi ketemu sama orang yang buat papi nyaman banget,"
"Nah, ini papi udah mulai suka nih sama mami??" Lea menebak dengan sangat yakin.
Tama menggeleng, "papi nggak mikir sejauh itu, bahkan mami kamu sempat jadian sama orang lain dan begitu pula dengan papi. Malah kami saling berbagi cerita dan nyemangatin satu sama lain supaya hubungan masing-masing lancar,"
"Ih!? Kok gitu sih!!!! Papi nggak peka!!" tanpa sadar Lea memukul lengan Tama kesal.
"Ya mau gimana? Kalau nggak salah mami kamu pacaran sama pengacara, terus papi sama dokter jantung, waktu itu kami saling dukung satu sama lain,"
"Terus terus!!??"
Tama menyandarkan punggungnya sambil tersenyum kecil yang membuat Lea makin penasaran memori apa yang bisa membuat papinya menunjukkan ekspresi seperti sekarang.
"Sore itu papi dan mami bikin janji untuk ketemu, mami kamu mau cerita dan papi pun sebenarnya juga. Ternyata tanpa sengaja kita sama-sama bilang kalau udah putus dengan pasangan masing-masing. Lucunya itu adalah waktu papi dan mami mutusin pasangan masing-masing itu adalah sama, tepat sebelum kita janjian ketemu sore itu. Lucu nggak sih? Bahkan alasannya pun hampir sama, yaitu nggak nyaman,"
Lea tertawa mendengar penuturan papinya, "seriusan? Kebetulan banget sih?"
Tama mengangguk, senyumnya masih belum bisa luntur, "dan kamu tahu apa yang mami kamu bilang waktu itu?"
"Kenapa kita saling dukung untuk dapatin seseorang yang bisa bahagiain kita? Kenapa nggak kita aja yang bikin kebahagiaan satu sama lain?" ujar Tama persis seperti apa yang Karin katakan padanya waktu itu.
Keadaan disekitar, baju yang ia kenakan, ekspresinya, semua hal tentang saat itu masih teringat dengan jelas di benak Tama.
"Mami keren!!! Terus papi jawab apa??"
Tama menggaruk tengkuknya malu, "papi langsung kehilangan kata-kata, kaget luar biasa. Papi bisa lihat wajah kecewa di wajah mami kamu, dia tampak frustasi dengan papi yang cuma bisa diam, dia mungkin berpikiran kalau nggak ada gunanya ngasih tahu hal itu ke papi. Sampai kita pulang dan nggak bahas hal itu sama sekali,"
"Ih papi sumpah nyebelin! Aku gak nyangka papi se menyebalkan itu, kan kasihan mamiii, papi jahattt!!" malah saat ini mata Lea sudah berkaca-kaca, ia terlalu membayangkan perasaan maminya.
"Iya papi tahu, waktu itu papi bodoh banget," Tama mengusap punggung Lea untuk menenangkan, "tapi malamnya papi terus kepikiran kata-kata mami kamu, papi nggak bisa tidur. Dan dengan gilanya malam itu papi langsung keluar untuk cari tempat perhiasan yang masih buka, papi beli cincin dan ke apartemen mami kamu, itu udah lewat jam 12 malam,"
"Hah?? Papi ngapain? Ganggu tidur mami?"
"Malam itu juga papi sadar kalau emang mami kamu yang selama ini papi cari, papi nggak mau terlambat, bahkan papi berpikir jika harus menunggu sampai besok pagi, mami kamu bisa aja diambil oleh orang lain. Malam itu papi hubungi mami kamu yang ternyata juga nggak bisa tidur. Papi ingat sekali gimana wajah kaget mami kamu saat ia buka pintu apartemen tengah malam," lagi-lagi Tama tertawa, "dan saat itu juga papi ngelamar mami kamu dengan cincin yang papi dapatin malam itu,"
"Wah! Gila banget pi, terus mami bilang apa? Dia nerima gitu aja?" Lea takjub sendiri dengan kedua orang tuanya.
"Ya walaupun awalnya kaget heran dan nggak percaya gitu, mami kamu nerima papi. Katanya sih kasihan udah malam-malam datang dan mutar cari cincin terus ditolak, tapi papi tahu kok mami cinta banget sama papi," tambah Tama lega sendiri dengan kisah cintanya.
"Si papi kepedean, terus papi mami langsung nikah? Berarti nggak pacaran dulu dong?"
Tama mengangguk mengiyakan, "semua orang sih pada kaget dan nyangkanya itu cuma lelucon, apalagi kalau yang bilang mami kamu, udah jelas nggak pada percaya. Persiapan pernikahan papi dan mami bisa dibilang sangat singkat, bahkan saat undangan udah disebar masih aja ada yang nggak percaya, mami kamu hamil baru deh mereka yakin kalau papi sama mami kamu beneran serius,"
"Ihhh, luar biasa juga ternyata ya gimana papi sama mami bersatu. Tapi sekarang papi udah nggak suka kan sama Tante Jeni?" selidik Lea dengan sangat serius pada Tama.
"Ngomong apa sih? Itu udah masa lalu, lagian papi udah dapatin seseorang yang terbaik, seseorang yang udah ngehadirin surga kecil yang bikin hidup papi terasa lengkap. Papi udah ngerasa jadi manusia paling bahagia dengan kehadiran mami, kamu dan juga Lio,"
Senyum Lea merekah mendengar penuturan papinya yang terdengar begitu tulus, "makasih ya papiii," Lea bergerak memeluk Tama dengan erat.
"Eh? Makasih buat apa?" Tama kaget hingga ia ikut membalas pelukan anak gadisnya itu.
"Semuanya, makasih udah milih mami dan jadi papinya aku dan Lio. Aku juga ngerasa jadi manusia paling bahagia berada di keluarga ini,"
Tama tersenyum sambil mengelus belakang kepala Lea, gadis kecilnya yang mulai tumbuh menjadi gadis nan cantik.
"Ngomong-ngomong kamu nanyain ini kenapa?"
"Enggak kenapa-napa kok pii,"
Tama melepaskan pelukan bungsunya sambil menelisik wajah Lea, "anak papi udah mulai cinta-cintaan ya? Ayo sama siapa?"
Pipi Lea memerah menanggapi godaan papinya, "ih apa sih pi, enggak ah,"
"Enggak sama Jaeta kan ya?" Tama menjauhkan dirinya dari Lea sambil melirik menggoda.
"Ih laper, aku makan dulu ya pii,"
Namun pergerakan Lea terhenti karena keberadaan Lio yang entah sejak kapan masuk rumah dan ada dibelakang mereka.
"Wah ada papi juga, aku bawa cendol gratisan nih, sekalian juga batagor," dengan senyum lebar Lio mengangkat dua kantong kresek ditangannya.
"Kamu beli?" tanya Tama melihat jumlahnya yang tak bisa dibilang sedikit.
"Dikasih, kan akang-akangnya udah temenan ama Lio pi, kata akangnya kalau kurang datang lagi aja, ambil terserah Lio," jawab Lio dengan polosnya.
Lea dan Tama saling lirik menyadari sungguh luar biasanya manusia dihadapan mereka.