Reno menghampiri Jayne. Tatapannya tajam, seperti bara yang menyala di kegelapan malam. Tangannya cepat dan kasar—langsung menarik pergelangan tangan Jayne, lalu memelintirnya dengan paksa.
"Berapa kali kubilang? Jangan sok atur aku!" desisnya dingin, nyaris berbisik, tapi mengandung ancaman yang menusuk.
Jayne meringis menahan sakit, tubuhnya terhuyung. "Mas Reno, tolong ... jangan—di depan Ranu ...."
Tapi kata-katanya belum habis, tamparan itu datang. Cepat. Keras. Bunyi tamparan nyaring memecah keheningan malam seperti cambuk di udara. Kepala Jayne terpelanting ke samping, membentur sudut meja makan. Lasagna yang baru saja ia hidangkan tumpah ke lantai. Lilin kecil di tengah meja padam, mengubah aroma lavender menjadi bau gosong dan debu lilin terbakar.
Ranu menjerit. “Papa, berhenti! Jangan pukul Mama!”
Tapi Reno tidak peduli. Wajahnya mengeras, matanya gelap. Ia menyambar vas kaca di atas meja dan melemparkannya ke dinding dengan kekuatan penuh. Suara pecahan memantul di seluruh ruangan. Potongan kaca beterbangan. Ranu menjerit histeris, tubuh kecilnya menggigil saat ia memeluk lutut di sudut ruangan, mencoba membuat dirinya sekecil mungkin.
Jayne bangkit perlahan. Kepalanya berdarah—garis merah merembes dari pelipisnya, menetes ke pipi, bercampur air mata yang diam-diam turun. Tapi bukan Reno yang ia cari dengan matanya.
"Ranu," bisiknya lirih, penuh getar, “Tutup mata kamu ... Sayang, jangan lihat .…”
Tapi Ranu melihat semuanya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidup Jayne, kesadaran menghantamnya seperti palu godam:
Ini bukan sekadar pernikahan yang gagal.
Ini adalah penjara.
Dan anaknya … sedang tumbuh dalam neraka.
***
Hampir setiap hari, rumah megah bergaya kolonial itu—yang bagi mata luar terlihat seperti istana impian—dipenuhi dengan suara cacian dan makian. Dinding-dinding yang dibalut wallpaper mahal menyimpan gema kemarahan yang tak pernah benar-benar pergi.
Reno Raksadipura, putra tunggal keluarga bangsawan Raksadipura—darah biru, pemilik nama besar, kekayaan dan kuasa—menjadi pria arogan yang merasa dunia harus tunduk di bawah kakinya. Ia dibesarkan untuk memerintah, bukan mencintai. Dan Jayne, perempuan yang dulu ia rayu habis-habisan, kini hanya dianggap properti.
Jayne Takizaki, putri keluarga Takizaki yang terpandang, memiliki segalanya—kecantikan, pendidikan, latar belakang keluarga elit dengan bisnis raksasa yang menjulang. Tapi dari semua itu, yang paling ia pelajari adalah: diam.
Diam adalah bentuk perlindungan. Diam adalah cara bertahan.
Selama hampir enam tahun pernikahan mereka, Jayne menyembunyikan semua luka. Tidak pernah sekali pun ia mengeluh pada keluarganya, tidak pernah bercerita pada teman. Ia tersenyum di acara sosial, tampil anggun di galeri dan charity event—sementara tubuhnya menyimpan memar-memar yang tak pernah terlihat kamera.
Tiga tahun terakhir, sikap Reno kian memburuk. Bukan hanya kata-kata yang merobek harga diri Jayne, tapi juga tangan—kekerasan fisik yang datang tanpa aba-aba. Semua bisa menjadi pemicu: pakaian Jayne, nada bicara, bahkan suara piring yang terlalu keras saat diletakkan.
Puncaknya terjadi malam ini.
Jayne dengan sepenuh hati menyiapkan makan malam istimewa: lasagna, makanan kesukaan Ranu—putra tunggal mereka. Hari itu Ranu bersikeras ingin makan malam bersama papa dan mama, sesuatu yang sudah lama tidak terjadi. Jayne berharap ... mungkin saja malam ini berbeda. Mungkin Reno bisa pulang sedikit lebih awal. Mungkin ia mau duduk bersama dan menjadi seorang ayah, walau hanya setengah jam.
Sore tadi, Jayne hanya mengirim satu pesan singkat. Lalu satu panggilan tak terjawab. Bukan merengek, bukan memaksa—hanya mengingatkan. Tapi bagi Reno, itu sudah cukup untuk memicu kemarahan.
Ia pulang, membanting pintu, dan tanpa kata menyeret Jayne dari meja makan. Sisanya ... adalah mimpi buruk yang tidak bisa Jayne lupakan.
Dan yang paling menyakitkan bukanlah darah, bukan tamparan, bukan hinaan.
Yang paling menyakitkan … adalah mata kecil Ranu yang menyaksikan semua itu—penuh ketakutan, bingung, dan hancur.
Jayne tahu, jika malam ini ia tetap diam, neraka ini tidak akan pernah berhenti.
***
Setelah vas pecah, setelah teriakan membahana dan tangisan Ranu mengisi seluruh ruangan—keheningan itu datang seperti kabut tebal. Mencekik. Menggantung di udara.
Reno menarik napas kasar, memandang Jayne yang masih meringkuk di lantai dengan darah mengalir dari pelipis. Ia mendekat, seolah hendak mengatakan sesuatu, tapi entah karena rasa bersalah atau karena puas, ia hanya membalikkan badan dan berjalan pergi.
Langkah kaki beratnya terdengar hingga pintu depan dibanting keras. Dan seketika … dunia berhenti bergetar.
Selama kejadian itu, tidak satu pun pelayan berani mendekat. Mereka hanya berdiri di balik tembok, di sela tangga, atau di pintu dapur, membeku. Bibir mereka bergetar, tangan gemetar, beberapa bahkan menunduk sambil menahan isak—namun tak satu pun bergerak. Karena mereka tahu … menyentuh amarah Tuan Reno sama saja dengan bunuh diri.
Tapi kini, setelah sang raja rumah itu pergi, ketakutan sedikit demi sedikit digantikan oleh empati.
Jayne memeluk Ranu yang masih menangis keras. Tubuh mungil itu menempel erat di dadanya, gemetar hebat, napasnya tersengal seperti sedang kabur dari mimpi buruk.
“Maafkan Mama … maafkan Mama …,” bisik Jayne berulang-ulang, suaranya nyaris tak terdengar, hanya getaran dari bibir yang penuh luka. Air mata mengalir dari kedua pipinya, menetes ke rambut Ranu yang basah oleh keringat dan tangis.
Satu per satu pelayan akhirnya mendekat. Lita, kepala pelayan, dengan tangan gemetar mengambil kotak P3K. Matanya sembab, dagunya bergetar saat menyeka darah dari pelipis Jayne.
“M-maaf, Nyonya … saya ... saya tak bisa berbuat apa-apa,” ucapnya lirih, menunduk dengan rasa bersalah mendalam.
Jayne hanya menggeleng pelan. Ia tahu mereka semua takut. Sama seperti dirinya dulu.
“Bawa Ranu ke kamar,” bisiknya. “Mandikan dia. Biar aku ... sebentar lagi menyusul.”
Ranu memeluk Jayne lebih erat, tapi akhirnya membiarkan dirinya digendong oleh salah satu pelayan perempuan. Jayne berdiri perlahan. Tubuhnya lunglai, tapi tekad di dalam dadanya kini mulai menyala.
Setelah semua tenang, Jayne masuk ke kamar pribadinya. Ia mengunci pintu, lalu terduduk di depan cermin. Perempuan di dalam pantulan itu nyaris tak ia kenali: wajah pucat, bibir pecah, dan pelipis berdarah. Tapi sorot matanya ... berbeda.
Jayne Takizaki akhirnya sadar: cukup. Ia harus keluar dari neraka ini—demi anaknya, demi dirinya sendiri.
Tangannya meraih ponsel. Ia membuka daftar kontak, lalu memilih satu nama: Mirza Tanuwijaya. Pengacara pribadi keluarga Takizaki, orang kepercayaan ayahnya sejak dulu.
Telepon itu hanya berdurasi lima menit, tapi cukup untuk mengguncang dasar hidup Jayne.
"Aku ingin cerai, Mirza," ucapnya tegas.
Suara di seberang sana terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab, “Jayne … kamu yakin?”
"Aku sudah lebih dari yakin. Tapi tolong ... jangan bilang siapa pun. Termasuk Papa dan Mama. Belum sekarang."
Jayne tidak menceritakan tentang kekerasan. Ia hanya berkata singkat, bahwa ia dan Reno sudah tidak bisa hidup bersama. Bahwa hubungan mereka sudah lama dingin dan penuh ketegangan. Jayne tahu, dunia luar tidak akan mudah menerima kenyataan—apalagi bila menyangkut nama besar dua keluarga terpandang.