Elang Mengantar Jemput Kayla dan Ranu.

1082 Words
Pagi itu, langit tampak bersih tanpa awan, dan cahaya matahari menyapu pelan pekarangan rumah Jayne dan Ranu. Udara segar masih mengendap di sela-sela dedaunan, dan aroma roti panggang memenuhi ruang dapur mungil tempat Jayne sibuk menyiapkan sarapan. Matanya sesekali melirik jam dinding—waktu terasa melaju cepat, sudah beberapa hari Ranu berangkat sekolah dengan antar-jemput dari tetangga barunya—Elang Mahadewa. Ranu muncul dari balik pintu kamar, mengenakan seragam sekolah Tk yang masih sedikit kebesaran di tubuh mungilnya. Tapi wajahnya memancarkan semangat yang tak bisa ditutupi. “Ma, nanti aku duduknya sama Kayla ya?” katanya sambil merapikan sendiri dasinya yang agak miring. Jayne tersenyum kecil, lalu menyodorkan sepotong roti isi dan segelas s**u. “Iya, tapi jangan ganggu Kayla, ya. Dia perempuan. Harus dilindungi.” Ranu mengangguk mantap, matanya bersinar. “Tenang aja, aku jagain dia! Kayla itu lucu.” Belum sempat Jayne membalas, suara klakson singkat terdengar dari luar. Ia melongok ke balik tirai jendela—mobil SUV milik Elang sudah parkir rapi di depan rumah. Kayla tampak melambai dari kursi belakang, ekspresi cerianya begitu kontras dengan pagi yang masih sunyi. “Sudah datang.” Jayne menatap anaknya, lalu menekuk lutut dan merapikan sedikit rambut Ranu yang mencuat. “Siap, Kapten?” Ranu mengangguk sambil tertawa kecil. “Siap berangkat!” Mereka keluar rumah. Jayne menuntun Ranu turun ke jalan, lalu menghampiri jendela pengemudi yang sudah terbuka. “Elang, terima kasih ya. Maaf banget jadi merepotkan.” Elang menoleh, mengenakan kemeja biru muda lengan pendek dan kacamata hitam yang membuat wajahnya terlihat lebih tenang dari biasanya. “Nggak merepotkan sama sekali. Sekalian jalan. Yuk, Ranu, masuk.” Tanpa ragu, Ranu naik ke kursi belakang dan langsung duduk di sebelah Kayla yang menyambutnya dengan semangat. “Lihat nih!” Kayla menunjukkan kotak bekalnya. “Hari ini aku bawa sosis gurita. Lucu kan?” Ranu terkikik. “Aku juga bawa sosis, tapi bentuk dinosaurus.” Obrolan pun mengalir deras seperti air mancur. Mereka membahas isi bekal, pensil warna baru, dan siapa guru paling lucu di sekolah. Jayne sempat menahan diri, tak langsung masuk rumah. Ia memandangi Ranu dari luar jendela mobil, sedikit ragu untuk melepas anaknya yang masih kecil. Tapi tatapan Elang—tenang, ramah, dan sabar—membuatnya menghela napas lega. “Hati-hati ya di jalan. Ranu, jangan lupa dengerin Om Elang,” pesannya sambil melambaikan tangan. “Siap, Ma!” sahut Ranu dengan suara nyaring. Mobil melaju perlahan meninggalkan halaman rumah yang masih teduh. Jayne berdiri di depan pagar, memandangi mereka sampai benar-benar hilang di ujung tikungan. Ada sesuatu dalam perasaannya pagi itu. Sebuah rasa ... ringan. Seolah untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia tak merasa sendirian. *** Di dalam mobil, suasana langsung ramai oleh celoteh anak-anak. “Ranu suka dinosaurus? Aku juga!” seru Kayla. “Aku bisa gambar T-Rex, mau lihat?” “Boleh! Aku juga bisa. Tapi versi aku T-Rex-nya punya topi.” Elang tersenyum mendengar percakapan itu. “Wah, T-Rex pakai topi, keren juga tuh,” komentarnya sambil melirik ke spion dalam. “Nanti bikin pameran dinosaurus aja, berdua.” “Boleh!” seru keduanya kompak. Mobil perlahan ketika memasuki gerbang sekolah, Elang melirik sekilas pada Ranu. “Ranu, kamu betah di rumah barumu?” Ranu mengangguk pelan, lalu menoleh. “Iya. Walau rumahku dulu lebih besar. Tapi sekarang lebih tenang. Yang penting aku sama Mama.” Kalimat itu sederhana, tapi menghantam Elang tepat di d**a. Ia terdiam sejenak sebelum menjawab, “Kamu anak hebat, Ranu.” Ranu hanya tersenyum. Mobil itu berhenti dan Elang turun lebih dulu dan membuka pintu belakang untuk anak-anak. “Ayo, turun. Jangan lupa bawa semua perlengkapannya.” Kayla langsung melompat turun sambil menggandeng tangan Ranu. “Kita lari ke kelas yuk! Eh tapi jangan cepat-cepat, kaki kamu masih sakit.” “Udah nggak sakit kok!” ujar Ranu, meski langkahnya tetap hati-hati. Elang menggandeng Kayla dari sisi satunya. Di gerbang sekolah, seorang guru menyapa mereka. “Pak Elang, pagi! Wah, Kayla bareng Ranu terus ya sekarang?” “Pagi, Bu. Iya, rumah kami sebelahan jadi gak ada salahnya sekalian,” jawab Elang sambil tersenyum. Ranu menunduk sopan. “Pagi, Bu.” Sebelum berbalik, Elang menepuk pelan bahu keduanya. “Belajar yang rajin. Jangan nakal. Nanti Papa jemput lagi.” “Siap!” jawab Kayla dengan gaya hormat yang lucu, membuat Ranu tertawa. Elang berdiri sebentar di depan gerbang, memandangi mereka sampai benar-benar masuk ke dalam kelas. Suasana pagi itu terasa berbeda. Ada tawa, ada langkah kecil penuh semangat, dan ada ... sesuatu yang perlahan-lahan mengisi ruang-ruang kosong dalam dirinya. Ketika ia kembali masuk ke mobil dan melaju, Elang menyadari: rumahnya memang masih sama, tetapi rasanya ... mulai berubah. Lebih hangat. Lebih hidup. Dan pagi-pagi seperti ini, rasanya ingin terus diulang. *** Langit sore merona lembut, menggantung di atas kompleks perumahan yang mulai tenang oleh suara burung pulang dan langkah-langkah kecil anak-anak yang selesai bermain. Jayne berjalan pelan menyusuri jalur taman kecil di depan kompleks, masih mengenakan blouse sederhana dan jeans yang mulai pudar warnanya. Di tangan kirinya, ia membawa sebotol air minum dan snack ringan untuk Ranu. Ia menghentikan langkah saat melihat sosok kecil anaknya duduk di atas ayunan—tertawa renyah sambil memperlihatkan buku dinosaurusnya pada Kayla. Di sebelah mereka, berdiri Elang, bersandar santai dengan tangan menyelip di saku celana. Tatapannya teduh, mengawasi dua anak itu seperti seseorang yang paham caranya menjaga dari kejauhan. Jayne menarik napas pelan. Pemandangan itu terasa seperti potongan damai dari hidup yang baru—hidup yang belum sepenuhnya ia pahami, tapi mulai terasa seperti rumah. Ia melangkah mendekat, dan Elang menoleh. Ia mengangguk kecil, ekspresi wajahnya bersahabat seperti biasa. “Ranu dan Kayla nggak bisa dipisahin, ya,” ucap Elang, membuka percakapan dengan senyum samar. Jayne tersenyum kembali. “Iya. Aku juga nggak nyangka Ranu bisa secepat itu akrab. Dia biasanya agak susah terbuka sama orang baru.” Elang mengangguk pelan. Matanya masih tertuju pada dua anak yang kini saling mencoret-coret halaman belakang buku dengan krayon warna-warni. “Maaf, boleh aku tanya sesuatu?” tanyanya kemudian, suaranya tetap datar namun hati-hati. Jayne menoleh, agak ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Boleh.” “Kenapa kalian pindah ke sini?” lanjutnya. Pertanyaan itu meluncur tanpa tekanan, seolah hanya bentuk rasa ingin tahu manusiawi. Jayne menunduk sejenak, lalu menjawab dengan nada pelan, “Aku … cerai dari suamiku. Jadi sekarang tinggal berdua sama Ranu.” Ada jeda. Jayne sempat menyesal telah menjawab terlalu jujur. Tapi ketika ia menoleh, wajah Elang tak menunjukkan ekspresi kaget atau iba. Ia hanya mengangguk, tenang, seperti seseorang yang tahu rasanya kehilangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD