Keputusan Bulat Jayne.

1132 Words
"Apa ini ribut-ribut pagi-pagi?" gumamnya malas, suaranya berat dan serak, seperti tidak sepenuhnya sadar akan situasi yang ia masuki. Jayne menoleh perlahan. Tatapannya dingin, tanpa keraguan sedikit pun. Di hadapannya berdiri suaminya—atau lebih tepatnya, laki-laki asing yang dulu pernah ia cintai, yang kini hanya menyisakan trauma dan luka. “Saya mau kamu tandatangani surat cerai itu,” ucap Jayne pelan tapi jelas, nadanya setenang air yang siap meledak jadi badai. Reno mendengus. Tertawa pendek, sinis. “Lucu kamu. Kamu pikir gampang lepas dari aku?” Jayne bergeming. “Aku enggak lepas. Aku bebas.” Kalimat itu—pendek, tenang, namun penuh daya ledak—menampar ego Reno lebih keras dari pukulan mana pun. Wajah Reno berubah merah. Amarah mulai membakar wajah mabuknya yang belum pulih. Ia melangkah cepat ke arah Jayne, tangannya terangkat, seolah hendak mengulang sejarah gelap yang selama ini ia lakukan. “Kamu kira aku bakal biarin kamu bawa Ranu?!” teriaknya kasar. Jayne tetap berdiri. Tidak bergerak sedikit pun. Tubuhnya boleh kecil, tapi keberaniannya kini lebih besar dari siapa pun di rumah itu. “Kamu bahkan tidak tahu ulang tahun Ranu bulan lalu,” ucapnya, dingin, tajam, seperti pisau yang menancap tanpa ampun. Cengkeraman Reno terhenti di udara. Tangan itu membeku. Sekilas, matanya kehilangan pijakan. Ia tidak punya jawaban. Tidak bisa menyangkal. Jayne melangkah maju—setengah langkah saja, cukup untuk mengukuhkan posisi berdirinya. “Kalau kamu merasa punya hak sebagai ayah,” lanjutnya pelan, “buktikan di pengadilan. Tapi aku sudah siap.” Reno terdiam. Dadanya naik turun, napasnya memburu. Tapi Jayne tidak melihat ancaman lagi di matanya. Hanya kekalahan yang enggan diakui. Dan itu sudah cukup. *** Setelah kejadian malam itu, Reno tidak pulang. Bukan satu atau dua malam. Tapi berhari-hari. Ia memilih tinggal di rumah orang tuanya—tempat di mana ego dan harga dirinya masih bisa dirawat oleh orang-orang yang buta akan kebusukannya. Di sana, Gatot dan Rahmi menerima Reno seperti pahlawan yang terluka. Mereka membenarkan semua sikap buruknya, menenangkannya dengan kalimat seperti, “Jayne terlalu sensitif,” atau “Perempuan memang begitu, kadang perlu ditekan.” Tak satu pun dari mereka berpikir bahwa Reno telah gagal sebagai suami. Tak satu pun dari mereka menanyakan kabar Jayne … atau Ranu. Jayne tahu semua itu dari gosip yang sampai ke telinganya lewat pelayan-pelayan lama yang masih setia padanya. Mereka memberitahu bahwa Reno menghabiskan malam dengan mabuk dan memaki Jayne. Tapi Jayne tidak goyah. Ia tetap mengurus Ranu. Tetap bangun pagi. Menyapanya dengan senyum, mengantar ke sekolah, dan duduk di kamar sambil menyiapkan semua kekurangan dokumen hukum yang diminta Mirza dan timnya. Visum, bukti rekaman, laporan psikis, hingga catatan keuangan yang menunjukkan bahwa Jayne mampu mengurus anak mereka tanpa bantuan Reno. Ia diam. Tapi diamnya bukan lagi bentuk takut. Diamnya adalah bentuk persiapan. *** Pada malam keempat sejak Reno pergi, Jayne duduk di kursi rotan di balkon kamarnya, selimut tipis membungkus bahunya. Angin malam menerpa lembut, dan aroma bunga melati dari halaman naik menyelinap ke udara. Ranu sudah tidur. Jayne menatap langit yang mulai bersih dari awan. Hening. Tenang. Dan di dadanya, ada satu perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya: kontrol atas hidupnya sendiri. Untuk pertama kalinya, Jayne tidak menunggu suara mobil Reno di malam hari. Tidak lagi menyiapkan alasan untuk meredam amarah. Tidak lagi menghitung langkah di lantai, berharap hari itu Reno datang dalam kondisi sadar. Hari itu—malam itu—Jayne tahu: ia sudah tidak lagi milik siapa-siapa. Dan itu adalah kemenangan pertama yang tidak bisa direbut siapa pun. Di ambang pintu, tiba-tiba Ranu berdiri dengan piyama biru, rambutnya acak-acakan, dan mata kecilnya yang selalu ceria kini tampak bingung. Ia baru saja bangun, tapi cukup peka untuk merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak biasa di rumah itu. Jayne langsung berlutut, memeluk Ranu dengan erat seolah berusaha memindahkan seluruh rasa aman ke dalam pelukannya. “Ma, kenapa Papa marah-marah terus?” tanyanya polos, dengan suara kecil yang membuat d**a Jayne sesak. Jayne menatap wajah anaknya yang masih lugu. Ia tersenyum tipis, berusaha tegar meski hatinya kembali retak. Ia kecup kening Ranu, lama. “Enggak apa-apa, sayang. Heum, kalau kita pindah ke tempat baru yang lebih tenang. Kamu mau, kan?” Ranu memandangi ibunya dengan mata besar yang sedikit basah. Ia tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. *** Hujan turun sejak pagi, menampar lembut kaca jendela rumah minimalis dua lantai yang kini resmi menjadi tempat tinggal baru Jayne dan Ranu. Rintik hujan menari-nari di balik kaca, mengaburkan pandangan, tapi bukan tekad Jayne. Udara dingin menyusup dari sela-sela dinding yang belum sepenuhnya kering dari aroma cat baru. Namun ketenangan yang mengalir di dalam rumah itu jauh lebih hangat dari bangunan manapun yang pernah Jayne tinggali. Ia berdiri di tengah ruang tamu yang masih kosong. Kardus-kardus berisi pakaian dan barang-barang esensial bertumpuk di sudut. Sofa tua yang dibeli dari penjual daring terletak seadanya, dan sebuah tikar gulung menjadi tempat Ranu bermain lego sejak mereka masuk beberapa jam lalu. Rumah ini bukan istana. Tapi ini pilihan. Jayne membeli properti ini dari seseorang yang sedang terdesak butuh uang. Ia membayar kontan dengan harga miring—bukan karena ia tak mampu membeli yang lebih megah, tapi karena ia memilih bijak. Uang yang ia simpan dari hasil kerja keras selama bertahun-tahun. Dia tahu masa depan Ranu butuh lebih dari sekadar kemewahan. Ia ingin stabilitas. Kebebasan. Dan kesempatan untuk membangun ulang dari dasar yang jujur. Beberapa tukang ia sewa diam-diam—hanya renovasi ringan. Cat baru, perbaikan atap, pemasangan pemanas air, dan satu kamar kecil diubah menjadi ruang kerja. Sisanya, ia biarkan polos. Jayne ingin rumah ini tumbuh perlahan bersama mereka. Tidak instan, tapi nyata. "Ma, aku bantu angkat yang ini ya!" suara kecil memecah lamunannya. Jayne menoleh dan mendapati Ranu, masih dalam baju hangat bergambar truk derek, tengah menyeret sebuah bantal hampir seukuran tubuhnya. Langkahnya goyah, tapi matanya penuh semangat. Jayne terkekeh, lalu berjongkok, meraih bantal itu dan mengacak rambut anaknya penuh sayang. “Kita berdua yang isi rumah ini, ya. Pelan-pelan, tapi nanti akan penuh sama tawa kita.” Ranu mengangguk mantap. “Rumah kita, Ma. Bukan rumah siapa-siapa.” Kata-kata itu menghantam hati Jayne lebih kuat dari petir yang menyambar di luar sana. Rumah ini memang kecil, tapi tidak ada teriakan di dalamnya. Tidak ada suara pecahan kaca. Tidak ada tudingan. Tidak ada mata-mata yang mengawasi gerak-geriknya dan mencibir setiap pilihan hidupnya. Dinding putih yang belum digantung lukisan, lantai dingin yang belum ditutupi karpet, dan lampu gantung sederhana yang hanya cukup untuk satu ruangan—semuanya menjadi saksi permulaan baru. Jayne menarik napas dalam-dalam. Lalu menatap ke arah Ranu yang mulai membuka kardus berisi mainan-mainan lamanya, wajahnya berseri-seri seperti pagi yang belum datang. Di rumah ini, ia bukan lagi istri yang terpenjara. Ia adalah ibu yang ingin menciptakan dunia kecil yang aman dan hangat untuk anaknya. Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun … Jayne merasa seperti dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD