Bab 9: Tamparan Emely untuk Blue 2

1103 Words
*** Blue kemudian mengambil posisi di antara kedua kaki Emely. Ia mendekatkan wajah ke d**a wanita itu lalu membenamkannya dengan lembut. Bibirnya mengulum dan mengisap pucuk d**a Emely yang tampak merah muda, membuat wanita itu bereaksi refleks. Emely mendongakkan kepala, menatap langit-langit kamar sambil menggigit bibir kuat-kuat, berusaha menahan lenguhan yang hampir lolos dari bibirnya. “Tapi, kamu baik-baik saja, kan, Sayang? Atau, kamu sedang sakit? Kalau kamu sakit, hari ini juga Mommy akan datang untuk merawatmu.” Suara Lucia terdengar penuh perhatian dari seberang telepon, memecah konsentrasi Emely. Emely refleks membuka mata ketika mendengar suara ibunya. Dengan d**a berdebar, ia melirik ke arah Blue yang tampak asyik menikmati payudaranya, bergantian mengisap putingnya dari sisi kanan dan kiri tanpa henti. “Aku tidak sakit, Mom. Aku baik-baik saja. Soal aku bangun kesiangan ....” Emely terhenti sejenak, menundukkan pandangannya. Ia mendapati Blue menjulurkan lidah, memainkan putingnya dengan ujung benda kenyal itu. Membuat tubuhnya bereaksi spontan dengan gelinjang kecil. Sebelah tangannya bergerak, meremas rambut tebal pria itu. “Aku sengaja bangun lebih lama karena kemarin aku kurang tidur, Mom. Banyak tugas kuliah yang harus aku selesaikan,” lanjutnya dengan nada yang dipaksa terdengar normal. Ia cepat-cepat membekap mulut dengan satu tangan, menahan desahan yang nyaris meloloskan diri. “Oh, begitu rupanya. Syukurlah, Sayang, kalau kamu baik-baik saja. Mommy sempat khawatir karena biasanya kamu tidak pernah seperti ini. Apalagi ini hari Minggu, di mana kamu tidak ada aktivitas,” kata Lucia dengan nada penuh perhatian. “Iya, aku minta maaf, Mom. Seharusnya semalam aku memberitahumu supaya kamu tidak cemas memikirkanku,” jawab Emely. “Tidak apa-apa, Sayang, kamu tidak perlu minta maaf. Yang penting kamu di sana baik-baik saja,” ujar Lucia dengan lembut. “I ... iya, Mom.” “Oh iya, kamu mau bicara dengan Daddy?” tanya Lucia. “Mungkin nanti saja, Mom, setelah aku mandi. Aku akan telepon Daddy setelah selesai,” jawab Emely di antara rasa gugup yang melanda. Wanita itu tahu betul, ia tidak mungkin berbicara dengan ayahnya dalam situasi seperti ini. Jika ia bisa berpura-pura di depan ibunya, hal itu tidak akan berlaku pada ayahnya, karena pria paruh baya tersebut terlalu cerdik untuk dibohongi. “Oh, ya sudah kalau begitu. Nanti kamu hubungi Daddy langsung saja, ya, Sayang. Sekarang pergilah mandi, dan jangan lupa makan supaya kamu tidak sakit,” pesan Lucia dengan penuh perhatian. “Iya, Mom.” Emely membalas singkat sebelum menjauhkan ponsel dari telinganya dan mengakhiri panggilan. Ia melempar benda itu ke atas kasur dan akhirnya mendesah panjang. “Ssshh ... ughhh!” “Blue, cukup!” Dengan satu gerakan tegas, Emely berhasil mendorong wajah tampan pria itu untuk menjauh dari dadanya. Lalu, dengan cepat, ia menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Emely terengah-engah, napasnya memburu. Mata cokelatnya yang berkilat-kilat menatap Blue dengan perasaan campur aduk. Antara kecewa, marah, dan luka yang selama ini ia coba pendam dalam-dalam. Namun kini, semuanya menyeruak seperti banjir yang tak terbendung. “Kenapa kamu melakukan ini padaku?” tanya Emely dengan suara bergetar, nyaris tercekat. Tatapannya tak beralih, fokus menusuk ke wajah pria di depannya, menuntut jawaban. Alih-alih menjawab, Blue hanya mengangkat alis dengan ekspresi dingin. “Ada yang salah?” Ia balik bertanya. Emely membuka mulut, hendak membalas, tetapi Blue memotongnya lebih cepat. “Apa yang kulakukan ini adalah bagian dari janji di masa lalu. Kau pasti masih ingat, bukan? Aku yakin ingatanmu cukup tajam untuk itu.” Mendengar itu, Emely mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. “Kalau bukan karena cita-citaku melanjutkan studi di kota ini, aku tidak akan pernah sudi menjejakkan kakiku di sini—saking aku tidak mau bertemu lagi denganmu!” desisnya tajam. Matanya berkilat penuh dendam. Blue hanya terdiam, memberi ruang untuk Emely meluapkan kekesalannya. “Janjimu adalah urusanmu! Itu bukan urusanku, Blue! Dan, aku tidak peduli dengan janji bodohmu itu!” Suara Emely meninggi. Tangannya bahkan berani menunjuk langsung ke wajah Blue. Lalu, kata-kata berikutnya justru membuat darah Blue mendidih. “Dan asal kau tahu,” Emely melanjutkan, “lebih baik Delon yang meniduriku, daripada ....” Blue tak memberi kesempatan pada Emely untuk melanjutkan ucapannya. Dengan cepat, tangannya mencengkeram pipi Emely, menahan wajah wanita itu dalam genggamannya. “Shut up!” desis pria itu dengan suaranya yang rendah. Matanya memerah oleh amarah yang menggulung dalam dirinya. Cengkeramannya makin mengencang, membuat wanita itu meringis. Namun, emosi begitu menguasai Blue hingga pria tersebut tak menyadari rasa sakit yang ia timbulkan. “Aku tidak suka wanita yang terlalu banyak bicara. Kau dengar, Emely? Kau terlalu berisik.” Blue menegaskan di setiap kata, seperti pisau yang menusuk perlahan. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan dengan ancaman dingin. “Ingat, rahasiamu terlalu banyak dalam genggamanku. Jangan sampai aku kehilangan kesabaran, karena aku bisa saja membongkar semuanya di depan keluargamu.” Kata-kata itu seperti cambuk yang melukai Emely lebih dalam. Ia memandang Blue dengan penuh kebencian, emosinya berkobar. Entah dari mana keberanian itu datang, ia dengan kasar menepis tangan Blue dari wajahnya, lalu .... PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Blue, membuat kepala pria itu terempas ke samping. Untuk sesaat, Blue menutup mata, seolah-olah menenangkan dirinya, sebelum kembali menatap Emely dengan tajam. “Dasar sakit jiwa! Pria egois!” hardik Emely dengan suara bergetar. Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya mengalir membasahi pipinya. “Kamu yang memutuskan menikah dengan wanita lain. Tapi kenapa, setelah pernikahanmu gagal, kamu justru menjadikan aku korban? Salahku apa, Blue?” Blue menatap Emely dengan dingin, tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Kau tidak salah. Salahkan saja takdir yang membuatku tidak rela melihatmu bersama pria lain.” “Takdir?” Emely ternganga, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Kau menyalahkan takdir?” “Ya,” Blue mengangkat bahu dengan sikap acuh, “aku menyalahkan takdir, Emely.” Kata-kata itu membuat Emely terpaku. Blue yang sekarang benar-benar berbeda dengan pria yang ia kenal dulu. Ada dua sosok yang bertolak belakang dalam diri pria itu. Blue yang dulu penuh pesona dan perhatian, kini berubah menjadi seorang pria dingin, dominan, dan penuh intimidasi. “Dasar tua bangka gila!” desis Emely penuh kemarahan. Isak tangis terdengar di sela-sela kata-katanya. Ia turun dari ranjang dengan langkah goyah, sambil tetap memegang erat selimut tebal itu, lalu berjalan menuju kamar mandi tanpa menoleh lagi. Blue hanya diam, membiarkan kepergian Emely. Di wajahnya, terpancar sebuah ekspresi yang sulit ditebak—antara penyesalan yang ia kubur dalam-dalam dan rasa egois yang masih merajai hatinya. Kemudian, pria itu tertawa tanpa alasan yang jelas. Sekilas, ia terlihat seperti orang yang sedang mengalami gangguan jiwa. Hah, Emely. Setelah ini, akan kupastikan kau tidak akan sanggup memilih. Karena pilihanmu hanya satu, yaitu bersamaku, batinnya penuh makna. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD