***
Emely mendongakkan wajah, menatap Blue untuk beberapa detik. Tatapannya sulit diartikan, seperti menyimpan pertanyaan atau keberatan, tetapi ia memilih untuk tetap diam. Tanpa berkata apa-apa, ia berdiri dari kursinya, dan membiarkan Blue menggenggam tangannya.
Dengan langkah teratur, mereka meninggalkan meja makan, berjalan melewati ruangan-ruangan yang luas menuju ruang kerja Blue. Ruangan itu—yang berada di sisi timur rumah—merupakan tempat yang sering menjadi pusat kendali Blue, tempat ia menyusun strategi dan membuat keputusan besar.
Kini Emely tahu, ada hal serius yang akan dibahas di sana. Sesuatu yang mungkin akan mengubah arah pembicaraan mereka.
Tiba di depan sebuah pintu besar berwarna hitam pekat dengan ukiran minimalis, Blue berhenti sejenak, lalu memutar gagang pintu berbahan logam dingin yang memantulkan sedikit kilauan perak di bawah terpaan cahaya. Dengan gerakan mantap, ia mendorong pintu itu sehingga terbuka, mengungkapkan sebuah ruangan yang memancarkan aura otoritas dan misteri. Blue lalu melangkah masuk, masih menggenggam tangan Emely agar wanita itu terus mengikutinya. Saat memasuki ruangan, kesan pertama yang muncul adalah gelap tetapi elegan. Ruang kerja tersebut didominasi oleh warna hitam, abu-abu gelap, dan sentuhan aksen metalik.
Emely memindai pandangannya. Dinding ruangan itu berlapis panel kayu hitam matte dengan garis-garis halus yang memberikan tekstur. Lampu gantung berbentuk geometris menggantung rendah di tengah-tengah ruangan, memancarkan cahaya redup keemasan yang menciptakan bayangan dramatis di seluruh sudut ruang.
Nggak heran kenapa ruang pribadinya seperti ini, soalnya dia adalah Ex-TDB. Ruangan Daddy juga mirip-mirip seperti ini, batin Emely dalam diam.
Emely lanjut memindai pandangannya. Di tengah-tengah ruangan, sebuah meja kerja besar dari kayu eboni hitam berdiri kokoh, permukaannya mengilap seperti cermin. Meja itu hanya dihiasi beberapa benda: laptop yang tertutup, setumpuk dokumen yang tertata rapi, dan sebuah pena mahal dengan detail emas. Di belakangnya, ada kursi kulit hitam dengan sandaran tinggi, terlihat seperti singgasana yang mengesankan.
Rak buku memenuhi salah satu sisi dinding, tetapi tidak seperti rak buku biasa. Koleksi buku yang tertata di sana adalah campuran antara literatur klasik dengan jilid gelap dan binder file bisnis yang terlihat rahasia. Beberapa rak dilengkapi lampu LED tersembunyi yang menonjolkan koleksi tanpa membuat ruangan terlalu terang. Di antara buku-buku itu, terdapat beberapa patung kecil dari logam hitam, memberikan kesan artistik yang tetap selaras dengan tema ruangan.
Tanpa melepas genggaman pada tangan Emely, Blue membawa wanita itu ke tengah ruangan, tepat di depan meja kerjanya. Ia melepaskan tangannya dengan lembut lalu menatap Emely dengan sorot mata serius yang berbeda dari biasanya. “Silakan duduk,” titahnya sambil menunjuk kursi kulit berwarna hitam yang ada di depan meja. Suaranya terdengar rendah, nyaris seperti bisikan yang menggema dalam ruangan sunyi itu.
Emely tidak langsung duduk. Ia masih berdiri, membiarkan tatapannya menjelajahi setiap detail ruangan, seolah-olah mencoba membaca apa yang tersirat dari desainnya. Ruangan ini mencerminkan kepribadian Blue—gelap dan penuh teka-teki. Perlahan, ia melangkah maju lalu mengambil tempat duduk.
Blue tidak langsung duduk. Ia melangkah pelan mengitari meja kerjanya yang besar dan megah; berhenti di sisi kursi kulitnya. Ia membuka salah satu laci meja lalu mengeluarkan sebuah map biru tua dengan sudut-sudut yang tegas. Setelah beberapa detik, ia mengangkat wajahnya, menatap Emely yang terlihat tengah mengamatinya dalam diam. Wanita itu duduk dengan punggung tegak, sorot matanya penuh rasa ingin tahu meskipun bibirnya terkunci rapat.
Blue menghela napas pendek. Lalu, dengan langkah mantap, ia menghampiri Emely. Map itu masih ada di tangannya, seperti membawa sesuatu yang memiliki bobot lebih dari sekadar kertas. Saat berhenti di samping Emely, ia menunduk sedikit, lalu meletakkan map tersebut di atas meja di depan wanita itu. Gerakannya terkontrol, penuh kesabaran, seolah-olah ingin memastikan Emely memahami betapa seriusnya hal yang akan ia sampaikan.
“Bukalah,” titah Blue dengan nada rendah tetapi tegas. “Baca dengan teliti. Pahami isinya supaya aku tidak perlu menjelaskannya berulang kali.”
Emely tidak segera merespons. Matanya terarah pada map biru itu, keraguan dan rasa penasaran bercampur di wajahnya. Namun, rasa ingin tahu lebih mendominasi daripada kekesalan yang sejak tadi ia rasakan. Jadi, dengan gerakan perlahan, ia membuka map tersebut, lalu mulai membaca dokumen di dalamnya.
Isi Surat Perjanjian
1. Status dan Hubungan
Emely akan menjadi sugar baby Blue untuk waktu yang tidak terbatas, kecuali jika ia bersedia menikah dengan Blue. Jika pernikahan terjadi, status tersebut akan otomatis berubah, dan Emely tidak lagi menjadi sugar baby.
2. Emely dilarang menjalin hubungan, baik secara emosional maupun fisik, dengan pria lain dalam kondisi apa pun atau dengan alasan apa pun.
3. Emely wajib mengikuti semua aturan yang dibuat oleh Blue tanpa pengecualian. Setiap pelanggaran akan berakibat pada sanksi yang akan ditentukan oleh Blue.
4. Emely akan menjadi ibu sambung bagi Amara, putri Blue. Di depan Amara, Emely harus berpura-pura sebagai ibu kandungnya. Tugas ini termasuk memberikan perhatian, kasih sayang, dan pendidikan moral kepada Amara selayaknya seorang ibu kandung.
5. Emely tidak diperkenankan membicarakan isi perjanjian ini kepada siapa pun, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Setelah membaca seluruh isi perjanjian itu, Emely merasa darahnya mendidih. Jari-jarinya mencengkeram pinggiran kertas, napasnya memburu, dan dadanya naik-turun akibat amarah yang mulai menguasai. Ia mendongakkan wajah, menatap Blue dengan sorot mata penuh kemarahan dan ketidakpercayaan. “Apa-apaan ini?” Suaranya pecah, nada tinggi terdengar di balik kemarahannya. “Kau pikir aku ini barang yang bisa kau atur sesuka hatimu?”
Blue, yang sudah duduk di kursi kerjanya, hanya menatap Emely dengan tenang. Pria itu menyandarkan tubuh, jari-jarinya bertaut di atas meja, dan senyum kecil—nyaris arogan—menghiasi wajahnya. “Tandatangani.”
Blue menyodorkan sebuah pulpen berdesain mewah ke arah Emely. Pulpen itu berlapis emas dengan ukiran nama kecil ‘Blue Sinclair’ di sisinya, mempertegas identitas pemiliknya. Sorot matanya tajam, menusuk langsung ke mata wanita itu yang kini membulat terkejut.
“Atau ...,” Blue melanjutkan dengan nada lebih rendah dan terkesan penuh ancaman, “aku bocorkan semua rahasiamu pada keluargamu.”
Deg!
***