Bab 5: Kenyal dan Lembut

1633 Words
Emely melangkah masuk ke kamar yang luas dan tertata sempurna. Nuansa gelap mendominasi ruang itu, dengan dinding bercat abu-abu pekat yang dipadukan pencahayaan remang-remang dari lampu gantung berbentuk geometris. Lantai kayu mengilap memantulkan bayangan samar furnitur minimalis yang serbahitam dan cokelat tua. Sebuah tempat tidur berukuran besar dengan seprai hitam berada di tengah ruangan, dikelilingi oleh rak buku tinggi yang tertata penuh oleh buku-buku berjilid tebal. Ketika pintu di belakangnya tertutup, Emely kian terasa sesak. Matanya terus bergerak, menyapu setiap sudut ruangan dengan intens, seolah-olah mencari sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Kedua tangannya memegang erat pinggiran dress yang ia kenakan, meremas-remasnya seperti mencoba mengalihkan perhatian dari rasa yang mengaduk-aduk tubuhnya. Kakinya tidak bisa diam, melangkah tanpa arah, hanya untuk berhenti sejenak sebelum kembali bergerak. Bibirnya dikelupasi dengan gigi, tanda kegelisahan yang makin memuncak. Jantungnya berdetak terlalu kencang, sementara kulitnya seperti sensitif terhadap udara yang menyentuh. Efek dari obat perangsang yang diminumnya tanpa sadar kini menggulung, membuatnya hampir kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Di belakangnya, tanpa suara, Blue berdiri menatap punggung Emely dengan sorot tajam yang tidak bisa diartikan. Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi rahangnya mengeras, pertanda tengah menahan sesuatu yang sulit dijelaskan. Kedua tangannya diselipkan ke dalam saku celana, tetapi jemarinya bergerak-gerak, memberi isyarat bahwa ketenangan yang ia tunjukkan hanyalah topeng belaka. Blue memperhatikan setiap gerakan Emely. Punggung wanita itu terlihat rapuh, tidak berdaya. Ia menghela napas panjang, berat, seakan-akan mencoba mengusir sesuatu yang menyiksa pikirannya. Tanpa mengucap sepatah kata pun, pria itu melangkah mendekati Emely yang berdiri di tenga-tengah kamar. Tubuh si kucing lliar terlihat kecil dan gelisah di bawah sorotan lampu temaram. Namun, alih-alih berhenti di hadapan wanita itu, Blue terus berjalan melewatinya, meninggalkan jejak aroma maskulin yang samar tetapi memabukkan. Ia lalu berhenti di dekat sofa besar yang berada di sisi tempat tidur. Blue berbalik perlahan, tubuhnya yang tegap kini menghadap langsung ke arah Emely. Dengan gerakan santai, ia mulai menarik simpul dasi yang sejak tadi terasa mengikat lehernya terlalu erat. Jemarinya melonggarkan dasi itu sebelum benar-benar melepaskannya. Gulungan dasi itu kini melingkar di tangan kirinya. Seperti sebuah gerakan tanpa makna, tetapi entah kenapa tetap terasa mengintimidasi. Mata Blue tidak pernah berpaling. Tatapan tajamnya terus mengunci wanita di depannya—cantik, rapuh, dan sangat berbeda malam ini. Emely yang biasanya dikenal Blue adalah wanita yang angkuh dan sombong—kadang menjengkelkan—tetapi malam ini, di bawah efek obat yang tidak ia sadari, wanita itu tampak seperti jiwa yang terombang-ambing, tanpa kendali atas dirinya sendiri. “Mengapa kau mengelabui bodyguard ayahmu, hmm?” Suara Blue akhirnya memecah keheningan. Nada bicaranya rendah, serak, dan berat. Emely tidak menjawab. Ia tetap berdiri di sana, tubuhnya masih bergeming meski pandangan yang dilayangkan pada Blue penuh kebencian. “Kalau saja aku terlambat menolongmu tadi,” lanjut Blue. Ia kembali bergerak, langkahnya mulai mendekat ke arah Emely. Kali ini perlahan, seperti seorang pemburu yang mendekati mangsanya. “Apakah kau siap dengan kenyataan buruk yang mungkin terjadi?” Kata-kata Blue membuat Emely menarik napas dalam dan diembuskan dengan kasar. Ketika pria itu akhirnya berhenti hanya beberapa langkah darinya, ia mendongak. Pandangannya yang semula penuh kebencian kini sedikit tergeser oleh sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan. Jarak yang begitu dekat membuatnya harus mendongak untuk menatap wajah pria itu. Emely ingin mundur, membuat jarak sejauh mungkin dari Blue, tetapi tubuhnya seperti kehilangan komando. Lututnya terasa lemas dan rasa aneh yang melanda tubuhnya sejak tadi membuat pikirannya makin kacau. Tanpa sadar, ia menelan ludah. Suara kecil itu menggema di antara keheningan ruangan. “Ini sudah yang kesekian kalinya kau berbuat nekat, dan aku masih berbaik hati menyembunyikan semuanya dari ayahmu, ibumu, dan keluargamu. Aku melakukan itu semua karena aku pikir kau akan berubah, tapi ternyata tidak. Kali ini, kau benar-benar sudah melewati batas, Emely,” ujar Blue dengan suara pelan. Meskipun nadanya terdengar tenang, sorot matanya tetap tajam, menusuk seperti belati ke dalam mata Emely. Wanita itu hanya bisa terdiam, tak sanggup berkata apa-apa. Rasa panas di tubuhnya makin terasa membakar dan ketakutan pun kian membuncah. Pikiran-pikirannya terus berputar, membayangkan kemungkinan terburuk jika Blue benar-benar melaporkan kejadian ini kepada orang tuanya, terutama sang ayah. Emely tahu betul, jika ayahnya sampai mendengar tentang apa yang telah dia lakukan malam ini, pria paruh baya itu pasti akan murka. Bukan hanya amarah sang ayah yang menghantui pikirannya, melainkan juga kemungkinan besar bahwa pria itu akan langsung datang ke New York untuk menjemputnya lalu memaksanya pulang ke Italia. Italia adalah tempat dia dibesarkan, negara yang menjadi rumah bagi keluarganya selama ini. Namun, New York adalah mimpi Emely. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, dia telah bercita-cita untuk menempuh pendidikan di kota ini, kota yang menjadi simbol kebebasan dan kesempatan. Keberadaannya di New York bukan sekadar perjalanan biasa. Itu adalah perwujudan dari mimpi panjang yang ia perjuangkan dengan sepenuh hati. Namun, kini semua itu terasa seperti di ambang kehancuran akibat kebodohannya sendiri. Dia terlalu takut untuk membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Apa yang membuatmu menjadi seperti ini, hmm?” tanya Blue seraya mengangkat dagu Emely dengan sebelah tangannya, memaksa wanita itu menengadah dan menatapnya. Wajah cantik Emely kini berada dalam jarak yang begitu dekat, tetapi tak ada sedikit pun kelembutan di mata pria itu. “Semakin hari, kau semakin liar, sulit diatur, dan otakmu yang cantik ini dipenuhi rencana-rencana licik,” desis Blue. Suaranya rendah tetapi mengancam. Wanita itu tetap diam, tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya untuk membela diri. Ia berdiri kaku, terlalu gugup untuk menghadapi tatapan penuh intimidasi dari pria di hadapannya. Melihat sikap pasif itu, Blue akhirnya menjauhkan tangannya yang semula mencengkeram dagu Emely. Dengan langkah ringan, ia mulai berjalan mengitari wanita itu. Kini, ia berhenti tepat di belakang Emely. “Baiklah,” ucap pria itu akhirnya. Suaranya lebih tenang tetapi tetap dingin. “Aku mengerti kalau saat ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara. Ada hal lain yang jauh lebih penting yang harus kau selesaikan.” Tangan Blue perlahan terulur, jemarinya menggenggam rambut panjang dan halus milik Emely. Dengan gerakan lembut, ia menggeser rambut itu ke sisi kanan bahu sang wanita, memperlihatkan punggungnya yang kini terekspos sempurna. Lalu, dengan gerakan lambat, Blue mulai menurunkan ritsleting dress Emely, membuka punggung putih mulus yang sebelumnya tersembunyi di balik kain elegan. Di sisi lain, Emely hanya bisa meremas jemarinya sendiri. Saat udara dingin menyapu kulit punggungnya, ia secara refleks menutup mata, berusaha mengendalikan kegelisahan yang makin memuncak. “Kau membutuhkan air dingin untuk meredakan panas di tubuhmu,” ujar Blue tiba-tiba. Suaranya terdengar datar. Tangannya kemudian bergerak untuk melepaskan pengait bra Emely. Emely terkejut, tetapi tubuhnya tetap membeku. Entah apa maksud pria itu melakukan semua ini, padahal ia bisa saja melakukannya sendiri tanpa bantuan. Setelah pengait kain penyangga itu terlepas, Blue mendekatkan wajahnya. Bibirnya dengan lembut menyentuh kulit punggung Emely, memberikan kecupan singkat yang terasa menggetarkan. “Jangan asal masuk ke dunia malam seperti itu kalau kau sendiri tidak mampu melindungi dirimu,” bisiknya. Suara seraknya menyelusup ke telinga Emely, membuat wanita itu makin sulit bernapas. “Apakah kau tidak sayang jika tubuh molek ini dinikmati oleh pria asing di luar sana, hmm?” Suaranya terdengar lebih dalam, penuh emosi yang tidak mudah diartikan. Bibir Blue bergerak lebih jauh, kini menempel di sisi leher Emely. Ia memberikan kecupan lembut, penuh perhitungan. Kali ini terasa sedikit basah. Sentuhan itu begitu mengintimidasi, membuat Emely secara refleks memiringkan kepala, membuka akses yang lebih lebar untuk Blue. Alih-alih menolak, tindakannya justru terasa seperti penyerahan. “Dan kau tahu, selama kau berada di kota ini, aku mati-matian melindungimu,” ucap Blue. Suaranya lebih lembut, hampir terdengar seperti pengakuan. “Kau ingin tahu alasannya?” Ia berhenti sejenak, memanfaatkan momen itu untuk kembali mengecup sisi leher Emely dengan penuh kelembutan. Wanita itu menggigit bibir, berusaha menahan diri, tetapi gagal. Dadanya terlihat kembang kempis akibat deru napas yang memburu. “Aku melakukannya karena aku tidak ingin seorang pun menyentuhmu. Karena yang berhak hanya aku!” lanjutnya tegas. Ia lalu menutup pernyataannya dengan mengisap lembut kulit leher Emely. “Shhh …, uhhh ….” Sebuah lenguhan kecil akhirnya lolos dari bibir Emely. Ia tidak mampu menahan respons tubuhnya. Sentuhan Blue seperti api yang membakar setiap inci tubuhnya, membuatnya nyaris kehilangan keseimbangan. Kakinya melemas, tubuhnya terasa makin panas, sementara detak jantungnya berdebar tak terkendali. Ia merasa seperti berada di ambang kehancuran, tetapi anehnya, ia tidak memiliki kekuatan untuk menghentikannya. Sebelah tangan Blue dengan mudah menarik bra Emely dan melemparkannya ke lantai. Gerakannya terlihat begitu cekatan dan tanpa kesulitan, mengingat kain penyangga itu tidak memiliki tali yang menghalangi. Semua terjadi begitu cepat, seolah-olah hal tersebut adalah sesuatu yang sudah sangat biasa baginya. Tanpa jeda, bibirna kembali menempel pada kulit leher Emely, memberikan isapan lembut yang perlahan makin dalam. Sensasi itu membuat Emely terdiam, tubuhnya bergetar halus di bawah sentuhan Blue. Sementara itu, sebelah tangan Blue dengan lihai menyusup masuk ke dress Emely. Jemari panjang dan hangatnya kini berhenti tepat di d**a wanita itu. Tangan besar Blue perlahan menangkup lembut buah d**a Emely. Teksturnya yang kenyal dan padat terasa begitu sempurna di tangannya, membuat pria itu makin sulit mengendalikan diri. Jemarinya mulai memberikan remasan lembut, menciptakan sensasi yang membuat Emely tersentak. Di sisi lain, tangan satunya melingkar erat di sekitar pinggang wanita itu, tepat di perutnya yang rata, menopang tubuh Emely yang mulai kehilangan kekuatan untuk berdiri. Tubuh Emely bergelinjang kecil di bawah sentuhan tersebut, sebuah respons yang tidak dapat ia kendalikan. Mulutnya sedikit terbuka, napasnya terdengar lebih berat, hingga sebuah suara kecil keluar dari tenggorokannya. “Enghhh ...,” gumamnya tanpa sadar. Suara itu terdengar pelan tetapi cukup untuk memecah keheningan. Tubuhnya terasa makin panas, bercampur antara ketegangan dan sensasi asing yang melingkupi seluruh dirinya. Kakinya mulai goyah, membuat Blue mempererat pegangan di pinggangnya agar ia tidak jatuh. Blue tersenyum tipis, menyadari efek yang ia timbulkan pada Emely. Sentuhannya, remasan lembutnya pada p******a kenyal itu, membuat sang wanita seperti cacing kepanasan. “Sshhh—ahh! U–Uncle .…”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD