Bab 3: Membawa Pulang Kucing Liar

1447 Words
Blue menggenggam tangan Emely dengan erat, seolah-olah tak ingin melepaskannya. Seakan-akan tangan itu adalah satu-satunya hal yang bisa menyelamatkannya dari dunia yang begitu penuh kecaman. Di sebelahnya, Emely, yang kini seperti kucing liar yang terluka, hanya mengikuti langkah Blue dengan lemah. Langkah pria itu begitu mantap dan lebar. Setiap gerakannya memancarkan ketegasan yang begitu kuat, seolah-olah tak ada yang berani menghalanginya. Matanya menatap tajam, penuh amarah yang terpendam. Rahangnya pun makin mengetat, menahan gejolak yang hampir tak bisa terkendali. Wajahnya dingin, penuh d******i—jauh dari sosok Blue yang biasa terlihat ramah. Setiap orang yang melirik tak mampu bertahan lama, seakan-akan aura intimidasi yang begitu kuat keluar dari tubuh Blue. Memaksa mereka untuk menunduk atau menjauh, menghindari tatapan yang bisa membekukan mereka di tempat. Ketika Blue sampai di meja tempat sebelumnya Emely duduk bersama teman-temannya, ia berhenti sejenak. Di sana, Arwen berdiri kaku, menatap Blue dan Emely dengan rasa penasaran sekaligus cemas. Apa yang telah terjadi pada Emely? pikir Arwen. Namun, ia tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Tatapan Blue yang tajam dan dingin membuatnya terdiam, seolah-olah terhipnotis oleh ketegangan yang kian terasa kuat. Blue menatap Arwen tanpa ekspresi. “Tolong ambilkan tas milik Emely.” Suara pria itu datar dan keras, tanpa sedikit pun kehangatan. Arwen menelan ludah dengan cemas. Ia melirik sebentar pada Emely, yang kini tampak begitu rapuh—seakan-akan dirinya hanyalah seekor kucing liar yang lelah, terluka, dan tak memiliki tempat untuk bersembunyi. Matanya yang dipenuhi ketakutan tak berani menatap Blue terlalu lama. “Ya, tunggu sebentar, Uncle,” jawab wanita itu dengan suara pelan. Arwen cepat-cepat mengambil tas Emely di kursi dan menyerahkannya kepada Blue. Tangannya sedikit gemetar, tetapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan kecemasannya. “Terima kasih,” kata Blue. Suaranya bahkan lebih dingin dari sebelumnya, tanpa sedikit pun keramahtamahan. Arwen mengangguk pelan. “Sama-sama, Uncle,” jawabnya. Suaranya kikuk dan sedikit gemetar. Wanita itu tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Ia berdiri mematung, memandangi Blue yang tanpa basa-basi meninggalkan tempat itu. Blue segera berbalik, melangkah pergi dengan langkah lebar-lebar yang memecah keheningan sekitar; menarik Emely bersamanya. Mereka melintasi ruangan yang penuh keramaian di dalam club tersebut, menyusuri lorong yang dipenuhi orang-orang yang terbuai oleh musik keras dan lampu yang berkilauan. Namun, bagi Blue, dunia itu seperti tidak ada artinya. Ia mengabaikan semuanya, bahkan dentuman musik yang memekakkan telinga dan hiruk-pikuk yang memenuhi ruangan. Matanya tetap fokus pada tujuan: Emely yang masih setia mengikuti langkahnya. Di sepanjang jalan, wanita-wanita malam yang mengenakan pakaian seksi menghampiri Blue dengan senyum menggoda. “Hai, Tuan Sinclair,” sapa mereka. Suaranya manja, penuh rayuan. Namun, Blue hanya berjalan tanpa mengindahkan mereka, seolah-olah mereka tak ada di sana. Sayangnya, bagi Emely, suara itu—panggilan itu—seperti duri yang menusuk amat dalam. Tuan Sinclair? pikirnya dengan perasaan yang makin memanas, seperti naik ke ubun-ubun. What the hell? Amarah bergolak dalam dirinya. Nama itu, yang begitu biasa diucapkan oleh wanita-wanita tadi, mengingatkannya pada sesuatu yang tak bisa ia lupakan. Tentang pria yang ada di sampingnya, yang kini tak lagi terlihat seperti sosok yang ia kenal. Tatapan tajam Emely membakar setiap wanita yang berusaha mendekat. Panggilan itu, sikap Blue yang begitu dingin terhadap mereka, membangkitkan perasaan yang sulit ia kendalikan. Setiap langkahnya terasa lebih berat, tubuhnya dipenuhi rasa panas yang hampir tak tertahankan. Namun, ia memaksakan diri untuk tetap mengikuti Blue keluar dari club itu. Menit berlalu, Blue akhirnya sampai di area parkir. Ia berhenti di samping SUV hitam mewahnya. Tanpa sepatah kata pun, ia membuka pintu depan sebelah kanan, lalu menatap Emely dengan tatapan tajam. “Masuk!” perintahnya dengan suara dingin dan tegas, seolah-olah kalimat itu adalah satu-satunya pilihan yang tersisa. Matanya menyorot tajam, penuh d******i, tak memberi ruang untuk penolakan. Emely hanya bisa terdiam. Hatinya bergejolak, tetapi ia memilih untuk mengikuti perintah itu tanpa banyak bicara. Meskipun seluruh tubuhnya ingin memberontak, mulutnya tetap terkunci dan langkahnya yang lelah hanya mengarah pada kursi di dalam mobil. Ia duduk di kursi penumpang. Blue menutup pintu mobil dengan lembut. Ia mengitari SUV hitam itu dengan langkah lebar. Tubuhnya yang tinggi dan tegap terlihat begitu dominan di bawah lampu parkir yang redup. Ia membuka pintu dan segera masuk, duduk dengan cepat. Napasnya sedikit terengah-engah. Dalam sekejap, ia memasang sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobil. Blue melirik Emely dengan tatapan tajam yang penuh perhitungan, lalu suara rendah dan penuh sindiran keluar dari bibirnya. “Apakah pesta kali ini sangat memuaskan, Emely?” tanyanya. Emely hanya melirik pria itu dengan penuh kebingungan, perasaan yang sangat sulit dijelaskan mulai membekapnya. Keinginan untuk marah, untuk membentak pria itu, bahkan melontarkan kata-kata yang keras, bergolak begitu hebat dalam dirinya. Namun, tubuhnya terasa seperti terkunci, seakan-akan ada kekuatan tak terlihat yang membuatnya diam, menahan segala amarah yang hendak ia luapkan. Kenapa aku diam saja? pikirnya dengan frustrasi. Panas itu kian merayap dari dalam tubuhnya, lebih intens daripada sebelumnya, menyelimuti setiap inci kulitnya. Wajahnya yang semula merah pun makin memerah, kali ini lebih karena perasaan yang sangat berbeda. Lebih rumit dan kacau. Matanya liar dan penuh kebingungan, menyusuri setiap detail wajah Blue tanpa bisa menghentikannya. Tatapannya bertemu dengan mata Blue. Lalu, tanpa bisa ia tahan, pandangannya meluncur turun ke hidung mancung pria itu yang terlihat begitu sempurna di bawah cahaya mobil. Emely tak bisa mengalihkan pandangannya begitu saja, seolah-olah ada sesuatu yang menarik dirinya untuk lebih mendalami setiap lekuk wajah pria itu. Kenapa aku begitu terfokus padanya? pikirnya lagi. Emely cemas, tetapi tubuhnya tak bisa berbohong. Lalu, pandangannya jatuh pada rahang Blue. Rahang yang tegas, ditumbuhi bulu halus yang membuat wajahnya makin tampak maskulin. Seksi. Emely terdiam, terpaku. Ada ketegangan dalam dirinya yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Efek obat perangsang yang ia minum sebelumnya terasa begitu menyiksa. Tak sadar, matanya beralih ke bibir Blue. Bibir itu terlihat begitu menggoda dalam diam, dengan setiap lekukan yang penuh makna. Tanpa disadari, napasnya mulai terengah-engah meskipun ia berusaha menenangkan diri. Apa yang sedang terjadi padaku? pikir Emely. Ia mencoba menahan gelombang perasaan yang makin menguasai dirinya. Emely menutup mata sejenak, mencoba menenangkan diri dan mempertahankan kewarasan yang mulai menipis. Semua yang ia rasakan seakan-akan menghantamnya dalam sekejap. Marah, bingung, terpesona. Semua bercampur dalam kepalanya, tak tahu lagi mana yang lebih dominan. Di dalam mobil yang sunyi, Blue terdiam setelah melemparkan pertanyaan sarkastisnya kepada Emely. Ia menatap wanita itu dengan mata tajam. Keningnya berkerut, mencoba membaca setiap gerak-gerik yang ia perhatikan dengan saksama. Ada sesuatu yang aneh pada Emely, sesuatu yang tidak ia mengerti. Apa yang terjadi padanya? batin Blue. Rasa penasaran dan khawatir muncul bersamaan. Emely duduk di sampingnya dengan gelisah. Tubuh wanita itu seakan-akan tidak bisa diam. Ia berusaha keras menahan perasaan yang membara, tetapi sesuatu di dalam dirinya membuatnya tak bisa mengendalikan tubuh. Tanpa sadar, dadanya sedikit terangkat, membusung tinggi penuh tantangan terhadap lawan jenis, seolah-olah berusaha memberi ruang bagi udara yang seperti makin langka. Kakinya saling mengimpit kuat dan pahanya begitu rapat, seolah-olah berupaya meredakan kedutan yang kian terasa pada pangkal pahanya. Keringat mulai mengalir di sekitar dahinya, membasahi kulit yang terasa panas. Lalu, perlahan menetes, mengikuti garis lehernya yang jenjang, menciptakan jalur berkilau yang kontras dengan kegelapan mobil. Blue makin terfokus melihat perubahan yang terjadi pada Emely. Ia memperhatikan setiap gerakan kecil wanita itu, makin bingung dengan apa yang sedang berlangsung. Apa yang sedang terjadi padanya? pikirnya lagi. Rasa cemas yang ia coba sembunyikan mulai muncul, meskipun ia tak mengizinkan dirinya untuk terlarut dalam kekhawatiran. Tiba-tiba Blue tergerak. Dengan satu gerakan cepat, ia membawa tangan kanannya dan menyentuh butiran keringat yang meluncur di leher Emely. Sentuhan itu terasa dingin di punggung jari telunjuknya yang hangat, tetapi terasa seperti percikan api di antara keduanya. Ketika ujung jari Blue menyentuh kulitnya yang lembap, Emely mengeluarkan sebuah suara tipis. “Sshhh!” “Apa yang terjadi padamu, Emely?” tanya Blue dengan suara berat. Namun, respons yang diterima Blue bukanlah penjelasan sesuai harapannya. Emely justru mengeluarkan sebuah lenguhan pelan yang terdengar begitu erotis. Tak terkontrol. “Ughhh ....” Suaranya menggema di dalam mobil yang sepi. Blue membelalak, terkejut oleh reaksi yang tak biasa itu. Sekilas matanya memerah dan ekspresinya berubah dalam sekejap, walaupun hanya sesaat. Apa yang baru saja terjadi? batin pria itu dalam kebingungannya. Ia segera menarik tangannya menjauh dari leher Emely, seakan-akan sentuhan itu membakar kulitnya. “f**k! Apa yang sudah kau minum, huh?” Suara Blue terdengar rendah dan serak, penuh kemarahan yang tertahan. Tanpa berlama-lama, Blue menggenggam kemudi dengan keras, menekan gas mobil. SUV hitam mewah itu melaju meninggalkan area parkir Azure Nightclub, menyusuri jalanan yang gelap dan sepi, menuju rumah pribadinya. Ia membawa Emely bersamanya. Mobil itu meluncur cepat, meninggalkan dunia ingar-bingar yang baru saja mereka tinggalkan. Blue masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, tetapi ia tahu satu hal pasti. Malam ini, segala yang ia ketahui tentang Emely telah berubah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD