Dosa Terindah - 02

1513 Words
Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 waktu Indonesia bagian barat dan matahari masih sangat terik di atas sana. Ara menelan ludah saat udara panas menerpa wajahnya. Setelah menempuh penerbangan selama lebih dari 10 jam, akhirnya Ara menginjakkan kaki di tanah kelahirannya kembali. Bandung menyambut datangnya dengan hangat, namun hati dan perasaan Ara kini terasa beku. Ara hanya menatap lemah saat barang-barangnya sudah dimasukkan ke dalam mobil oleh supir pribadi keluarga Sinatra. Niatnya untuk kabur melarikan diri hanya sebatas wacana, karena Ara tidaklah se-berani itu. Selama ini dia bahkan tidak pernah bisa menolak ataupun membantah semua keinginan orang tuanya. Kehidupan sang putri yang terkungkung jeruji tak terlihat itu sudah berlangsung selama dia mengembuskan napas di dunia, jadi melepaskan diri bukanlah perkara semudah itu. “Semua barangnya sudah dimasukkan, Non... ayo kita berangkat!” Ara tersadar dari lamunannya dan mengangguk pelan. “Baiklah.” Mobil pun segera melaju menuju kediaman Sinatra. Sepanjang perjalanan Ara hanya melihat pemandangan di luar kaca jendela dengan tatapan lesu. Padahal sebelumnya dia mempunyai rencana untuk mengunjungi beberapa tempat yang sudah lama dia rindukan, namun setiba di sini dia malah kehilangan semangat bahkan untuk sekedar menghela napas. “Selamat ya, Non... saya dengar Non Ara sudah menamatkan pendidikannya,” ucap pak Riadi sang supir yang memang sudah mengenal Ara sejak kecil. Ara tersenyum tipis. “Terima kasih, Pak...” Pak Riadi kemudian mengambil sesuatu dari laci mobil dan memberikannya kepada Ara dengan satu tangan yang masih memegang setir mobil. “Ini Non... hadiah kecil-kecilan dari saya. Ini memang tidak seberapa, tapi saya masih tetap ingin memberikannya karena saya turut merasa bahagia mendengar Non Ara sudah menamatkan pendidikannya.” Ara mengambil bingkisan kecil itu sambil tersenyum malu. “Apa isinya, Pak?” “Buka aja, Non,” jawab pak Riadi. Ara pun membuka bingkisan itu, kemudian menatap takjup. “B-Bapak dapetin cokelat ini di mana? Bukankah sekarang jajanan cokelat ini sudah langka?” “Saya kemarin mudik ke kampung halaman, Non dan di sana ternyata masih ada yang jualan jajanan itu. Saya jadi keinget sama Non Ara. Awalnya saya beli tiga, tapi diam-diam si Asep malah mencuri dua buah dan memakannya.” Ara spontan tertawa mendengar penuturan Pak Riadi. Tatapan Ara pun kembali tertuju pada cokelat batangan yang terlihat klasik dengan bungkus kertas berwarna keemasan. Cokelat itu dulunya adalah makanan kesukaan Ara ketika dia masih duduk dibangku sekolah dasar. Dia masih ingat jelas bahwa pak Riadi dan mbok Ina—istri pak Riadi selalu memberikannya cokelat itu secara diam-diam karena Ara dilarang mengkonsumsi jajanan sembarangan oleh mamanya. “Bapak ternnyata masih ingat kalau aku suka cokelat ini,” ucap Ara. “Tentu saja, Non... cokelatnya memang muantep enak e. Anak saya si Asep juga doyan. Suka merengek minta jajan cokelat itu terus.” “Asep sekarang sudah kelas berapa, Pak?” tanya Ara. “Sudah kelas tiga sekolah dasar, Non.” “Wah... waktu benar-benar berlalu dengan cepat, ya Pak... waktu saya berangkat ke Australia dia masih bocah cilik yang sering nangis kalau saya usilin,” kenang Ara. Perjalanan menuju rumah pun mendadak dipenuhi oleh obrolan panjang yang membuat hati Ara sedikit menghangat. Dia mulai mencicipi cokelat kesukaannya itu, lalu refleks memejamkan mata. Rasa enak yang dia rasakan langsung berpadu dengan segenap kenangan masa lalu yang juga menguap diingatannya. Senyum Ara pun tak kunjung surut. Sebuah cokelat sederhana ini bahkan lebih membuatnya bahagia dibandingkan postingan dengan caption menggelikan yang dibuat oleh orang tuanya di sosial media. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 20 menit, akhirnya Ara sampai di rumahnya. Gerbang tinggi dengan ornamen patung singa di kiri dan kanannya itu langsung menyambut kedatangan Ara. Para pekerja di rumah itu pun segera membukakan gerbang. Perjalalanan dari gerbang menuju bangunan rumah pun lumayan jauh mengikuti jalanan yang terus berkelok-kelok. Sepanjang jalan Ara tak henti melihat para pekerja di rumahnya yang tampak sibuk berlalu lalang. Ada yang sedang membersihkan taman, menggunting rumput, menyiram bunga dan ada juga yang berlarian tergesa-gesa ke sana ke mari. Kesibukan seperti ini memang merupakan pemandangan biasa di rumah Ara yang mamang memiliki pekerja dengan jumlah sekitar 30 orang itu. Ada yang khusus menangani perkara dapur. Ada yang khusus membersihkan rumah, dan berbagai tugas khusus lainnya. Mobil pun berhenti tepat di beranda rumah. Di depan sana sang papa dan mama sudah menanti Ara dengan senyum merekah. Sebelum membuka pintu mobil, Ara menghela napas terlebih dahulu kemudian memasang senyum palsu di wajahnya. “Papa... Mama... aku sudah pulang!” Ara segera memeluk kedua orang taunya itu secara bergantian. “Kamu pasti capek sekali iya kan,” ujar sang Mama sambil membimbing Ara memasuki rumah.” “Ngomong-ngomong kenapa hari ini Papa dan Mama ada di rumah? Apa jangan-jangan karena menunggu kedatangan aku?” tanya Ara. “Hahaha...” suara tawa sang papa menggema keras. “Tentu saja kamu menunggu kepulangan kamu, selain itu nanti malam akan ada tamu yang berkunjung ke rumah kita.” Ara menatap bingung. “Tamu? Siap, Pa?” Sang mama mengambil alih pembicaraan. “Kamu ingat sama om David? Temannya papa yang juga seorang pengusaha dan juga mempunyai perkebunan teh yang sangat banyak itu?” Ara menerawang sebentar. “Oh.. Om David. Tentu saja aku ingat. Karena anaknya dulu satu SMA sama aku.” “Nah, benar... nanti malam Om David dan keluarganya akan makan malam bersama kita di sini,” sahut sang papa. “Tumben-tumbenan, Pa? Bukannya Om David itu rival Papa, ya? Papa sama Om David kan walaupun berteman, diam-diam sellau berebut proyek dan juga sering meluncurkan usaha yang sama.” Ara menatap heran. “Ceritanya panjang Sayang... yang jelas sekarang hubungan antar dua keluarga sudah membaik kok,” jawab sang Papa. Ara beralih menatap anak tangga yang melengkung ke lantai atas. “Aku capek banget, Ma... Pa... aku rasa aku pengen istirahat sebentar dulu deh.” “Oke... sebaiknya kamu memang beristirahat agar nanti malam kamu tidak terlihat kelelahan seperti ini,” sergah sang mama.    Ara pun melangkah naik diringi perasaan aneh yang mulai menyelimutinya. Gelagat kedua orang tuanya terasa sangat berbeda. Di saat hampir sampai ke lantai atas, sang mama pun kembali memanggilnya. “Nanti malam kamu harus berdandan yang cantik sebelum turun ke bawah, kamu mengerti!” teriak sang mama. Deg. Ara hanya menatap linglung. Sementara kedua orang tuanya itu sudah melangkah pergi. Ara menggenggam pegangan anak tangga itu dengan perasaan risih. Entah kenapa dia merasa ada sesuatu dibalik sikap orang tuanya itu. Ara masih menatap punggung kedua orang tuanya dengan hati yang mulai bertanya-tanya. “Sebenarnya apa lagi rencana mereka?” _ Seperti yang tadi siang dikatakan oleh sang mama, malam ini Ara pun berdandan dengan sangat cantik. Dia mengenakan sebuah dress lengan panjang berwarna merah yang terlihat kontrak dengan kulitnya yang putih. Make up-nya terlihat minimalis, namun Ara mengenakan lipstick berwarna merah senada dengan warna baju yang membuat penampilannya terlihat glow up. Untuk sentuhan akhir Ara juga mengenakan sepasang anting yang berbentuk ring besar. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja. Ara hanya menyemprotkan sedikit hair spray agar tatanan rambutnya tetap mempertahankan bentuknya seperti itu. “Oke semuanya sudah siap,” bisiknya pelan. Bersamaan dengan itu Ara mendengar sebuah suara mobil yang terdengar di depan sana. Ara pun segera berlari ke balkon kamarnya untuk melihat. Dari sana dia bisa melihat siapa yang datang dengan jelas. Terlihat sebuah mobil Lexus warna putih sudah terpakir di sana. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya dengan gaya modis tampak turun diikuti oleh seorang pria paruh baya yang juga terlihat eye catcthing dengan setelan jas yang dikenakannya. “Om David dan Tante Mila sudah datang,” bisik Ara. Tidak lama berselang pintu belakang mobil itu pun juga terbuka. Ara meneguk ludah. Dia menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas lagi. Sosok pria yang tinggi dan dengan tubuh proposional itu sukses membuatnya mengerjapkan mata berulang-ulang. Ara terpaku melihat sosok dengan tatanan rambut yang mengkilat itu. Walau sekilas dia bisa melihat dengan jelas pria berkulit putih yang tidak memiliki lipatan mata itu. “R-Rahid...?” Ara menyebut nama itu dengan suara lirih. Pemuda yang sekilas mirip dengan orang Asia Timur itu adalah Rahid Arya Triyatno. Rahid merupakan anak ketiga dari pasangan David Triyatno dan Mila Triyatno. Sebelumnya Ara dan Rahid sama-sama bersekolah di salah satu SMA elit di kota Bandung. Hubungan mereka berdua tidak terlalu akrab, hingga kemudian ada satu kejadian yang membuat hubungan merka berubah. “B-bagaimana bisa bocah tengil itu berubah drastis seperti itu?” Seingat Ara, Rahid adalah seorang remaja dengan rambut poni yang mengembang, kacamata tebal dan juga kulit yang hitam karena terbakar sinar matahari. Rahid yang dia kenal memang begitu menyukai olahraga basket. Dia selalu menghabiskan waktunya setiap sore untuk bermain basket di lapangan sekolah. “Ara... ayo segera turun! Om David dan keluarganya sudah datang.” Sang mama tiba-tiba membuka pintu kamar dan melongokkan wajahnya. “I-iya, Ma... aku segera ke sana.” Sebelum kelua kamar, ara pun memeriksa penampilannya sekali lagi. Dia bahkan menambahkan pulasan lispstick di bibirnya, kemudian barulah keluar dari kamar. Ara pun menuruni anak tangga dengan perasaan gamang. Di depan sana mata semua orang kini tertuju padanya, termasuk Rahid. Semakin mendekati lantai dasar, Ara pun bisa melihat sosok Rahid lebih jelas lagi. Pria yang dulunya tengil dan sedikit jorok itu kini benar-benar berubah drastis. Rahid terlihat seperti seorang pangeran dengan kulit putihnya yang mengkilat. Tak lama kemudian Rahid pun menarik bibirnya yang berwarna merah muda itu untuk tersenyum. Deg. Jantung Ara berdesir pelan melihat senyuman dan tatapan mata itu. “Ngapain dia senyum-senyum segala?” batin Ara. “Wah... Ara! Kamu benar-benar sudah berubah menjadi wanita dewasa,” puni tante Mala sambil menarik Ara untuk duduk di sebelahnya. “Selamat ya atas kelulusannya,” sambut om David tak kalah ramah. “M-makasih, Tante... makasih juga, Om,” ucap Ara dengan senyum malu-malu. Tatapan Ara pun beralih pada Rahid. Sosok Rahid pun juga balas menatapnya, lalu tersenyum penuh arti. “Hai Ara... apakah kamu masih mengingat semua tentang aku...?” tanya Rahid dengan suara khasnya. _ Bersambung...        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD