Hari Minggu ini Abinaya malas untuk keluar rumah. Selain tinggal di apartemen, ia juga kerap pulang ke rumah yang dibeli ayahnya. Karena ia terlanjur menyewa apartemen untuk setahun, dia bolak-balik ke apartemen dan rumah, sayang jika apartemennya ditinggal. Ayahnya membeli rumah ini setelah Abinaya tinggal berapa bulan di apartemen yang sudah lunas pembayaran sewanya.
Ingin mengajak Fara jalan, tapi ia rasa bukan pilihan yang bagus. Ia tak mau mengganggu Fara dan ia pikir Fara harus diberi waktu lebih banyak untuk menyelesaikan skripsinya. Kalau dia terlalu sering mengajaknya keluar, Fara bisa mengesampingkan skripsinya dan memilih jalan dengannya.
Sampai jam sepuluh ini Abinaya bertahan dengan tidak mengirim pesan WA untuk Fara. Dia ingin lihat sejauh mana Fara membutuhkannya, apakah gadis berambut panjang itu akan berinisiatif menguhubunginya labih dulu atau tidak. Abinaya geram sendiri karena hingga detik ini Fara belum mengirim pesan WA untuknya. Kadang ia bertanya, apakah Fara benar-benar mencintainya atau tidak. Gadis itu seringkali pasif seakan tidak butuh. Atau semua perempuan memang seperti itu. Inginnya didekati lebih dulu.
Abinaya menyalakan televisi dan mengganti-ganti channel televisi, berpindah dari satu channel ke channel lain tapi tak ada acara yang menarik minatnya. Diliriknya smartphonenya berkali-kali. Ia menghitung dalam hati, satu..dua..tiga... Kalau sampai hitungan kesepuluh Fara tidak menghubunginya juga maka ia akan mengalah untuk menghubungi gadis itu lebih dulu.
Sampai hitungan ke-10, smartphonenya sepi. Tak ada satupun pesan dan panggilan yang masuk. Akhirnya Abinaya melenyapkan gengsinya. Tak apa dipandang mengemis-ngemis perhatian dan cinta, yang penting rasa rindunya terobati. Beginilah jatuh cinta di usia yang tak lagi remaja. Di saat teman-temannya sudah menikah bahkan banyak juga yang sudah menggendong anak atau minimal bertunangan, dia harus dihadapkan dengan serangkaian kegalauan. Mungkin inilah salah satu faktor penyebab dia seperti kembali ke masa SMA. Jatuh cinta di usia 29 tahun tapi rasa 17 tahun. Setiap hari ingat dia, mau makan ingat dia, sebelum tidur selain melafalkan doa sebelum tidur juga berdoa bertemu dengannya di alam mimpi. kalau bisa mimpinya plus plus haisss, kalau belum mendengar suaranya rasanya begitu berbeda, tak bisa fokus dan terus kepikiran. Padahal ia sadar benar sudah tak sepantasnya galau ala anak SMA tapi sudah harus memikirkan masa depan mereka dan pernikahan impian ingin segera diwujudkan. Masalahnya sampai sekarang kedua orangtuanya masih berharap dia memilih Zahira. Mereka belum memberikan restu. Kalau mau nekat sih bisa saja. Papa Fara non muslim, jadi bisa pakai wali hakim saat menikah dan pengantin laki-laki tidak butuh yang namanya wali. Namun tidak seklise itu. Bagaimanapun juga pernikahan itu menyatukan dua keluarga. Abinaya tak bisa mengabaikan restu dari orangtunya.
Abinaya mengambil smartphonenya. Abinaya mengirim pesan WA untuk gadis pujaannya.
Fara dari tadi nggak ngubungin Mas. Nggak kangen ya?
Sesaat kemudian datang balasan dari Fara.
Fara takut ganggu Mas Abi.
Abinaya mengirim balasan kembali.
Ganggu apa? Kan sekarang hari Minggu. Tiap hari Minggu, Mas nggak mau mikir kerjaan, maunya mikirin Fara aja. Eh kalau mikirin Fara mah setiap hari, nggak kenal hari Minggu, hari libur atau tanggal merah.
Fara Hmm gombalnya makin menjadi.
Abinaya Nggak apa-apa. Fara suka kan?
Fara Ya, tapi Fara juga ingin diseriusin. Digombalin mana kenyang bang?
Abinaya Fara udah siap diajak nikah? Mas Abi kan pernah bilang mau ngenalin Fara ke bapak ibu.
Fara Iya sih. Tapi Fara belum siap ketemu bapak ibunya Mas Abi.
Abinaya Lho katanya minta diseriusin? Giliran mau dikenalin ke orangtua, Fara bilang belum siap. Mas kan jadi bingung, jangan-jangan Fara yang nggak serius.
Fara Fara serius kok Mas. Cuma Fara minder kalau ketemu orangtua Mas Abi. Apa mereka bisa menerima Fara dengan background keluarga yang berantaka? Keluarga Mas Abi keluarga yang baik, harmonis. Apa reaksi mereka saat tahu papa mama Fara sudah bercerai. Mama Fara di Rumah Sakit Jiwa, dan mereka juga bukan Muslim.
Abinaya Kan Fara belum bertemu langsung, kenapa sudah takut duluan? Fara nggak perlu menjelaskan latar belakang Fara, biar nanti Mas Abi yang bilang ke orangtua.
Fara ya udah, Fara ngikut aja.
Abinaya Nah gitu donk. Itu baru yayangnya Abinaya.
Fara hahaha
Abinaya Lha malah ketawa?
Fara Oya Mas, kemarin Mas Abi posting foto Fara di ig Mas Abi, dimention juga. Tahu nggak?Banyak akun kirim request pertemanan. Pasti itu fans-fansnya Mas Abi yang penasaran sama Fara.
Abinaya nggak apa-apa. Wajar mereka ingin tahu kehidupanmu lebih detail. Penasaran kayak gimana sosok pilihannya Park Seo Joon.
Fara Gara-gara Mas Abi bilang kalau mahasiswa banyak yang bilang Mas Abi mirip sama Park Seo Joon, Fara jadi seneng nonton dramanya. Bagus sih aktingnya. Dia dijuluki good kisser gara-gara tiap dapet adegan kiss pasti menjiwai banget.
Abinaya Mas Abi juga gitu kok, menjiwai banget. Ntar kalau kita udah nikah, Fara pasti tahu.
Fara Mas Abi pernah nyium Fara waktu Fara nggak sadar.
Abinaya Mau dicium pas sadar? Boleh.
Fara Ih Mas Abi mah maunya gitu.
Abinaya Becanda. Mas Abi takut dosa, makanya pingin ngajak Fara nikah.
Fara Emang dalam Islam nggak boleh ciuman sebelum nikah ya?
Abinaya Jangankan ciuman, sentuhan aja nggak boleh. Sebenarnya interaksi antar lawan jenis itu ketat aturannya. Makanya Mas Abi pingin kita cepet nikah karena untuk menghindari hal-hal yang membuat dosa. Mas mungkin belum seteguh orang-orang yang religius, yang bener-bener menghindari pacaran, minimal Mas nggak macem-macem sama Fara. Sebelum Mas nikahin Fara, Mas harus mengantongi restu dulu. Mas juga pingin Fara ngenalin Mas ke orangtua Fara. Kalau kedua orangtua udah tahu, mudah-mudahan jalan ke sana semakin dipermudah.
Fara Aamiin. Iya mudah-mudahan dipermudah. Doain skripsi Fara cepet kelar ya Mas. Fara sedang mengejar target ingin seminar hasil minggu depan.
Abinaya Iya Mas doain. Tetep semangat dan jaga kesehatan ya.
Fara iya makasih. Mas juga jaga kesehatan.
Abinaya Muach.
Fara Kalau muach-muachan di WA boleh ya Mas?
Abinaya Hahaha, nggak juga sih. Tapi gimana ya, ada yang kurang kalau belum muach. Ayo donk kasih muach dulu.
Fara Mas Abi alay ih..
Abinaya Alay-nya kalau cuma sama kamu doang.
Fara Muach.
Abinaya senyum-senyum sendiri membaca isi chatnya dan Fara. Tiba-tiba dering panggilan dari ibunya mengagetkannya. Abinaya menggeser layar smartphonenya ke atas.
“Halo assalamu’alaikum Bu.”
“Wa’alaikumussalam Bi. Kamu lagi apa? Libur kan?”
“Iya Bu, libur. Bapak ibu sama Diaksa sehat?”
“Alhamdulillah sehat. Kemarin adikmu ikut lomba lari alhamdulillah menang tingkat kabupaten, nanti melaju ke tingkat propinsi.”
“Alhamdulillah Aksa kan memang bakat di olahraga.”
“Oya langsung saja Bi, Ibu mau kasih tahu kalau Bapak Ibu besok mau ke Bandung. Zahira juga ada rencana untuk survey di sana, untuk lanjut S2nya nanti, jadi bapak ibu ajak dia juga.”
Hening...
“Bi, kok diam?”
“Nggak apa-apa Bu. Abi sebenarnya agak keberatan juga bapak ibu ngajak Zahira. Seolah bapak ibu ngasih harapan ke dia. Padahal Abi udah bilang kalau Abi udah punya calon sendiri. Nanti Abi kenalin bapak ibu ke Fara.”
“Ibu udah lihat fotonya Fara di ig-mu. Lihat dari ig adikmu. Lihat fotonya saja ibu nggak cocok. Mukanya kanyak anak nakal. Nggak pakai hijab juga. Jauh dibanding Zahira.” Suara Pramesti terdengar ketus.
“Ya makanya coba ketemu langsung Bu. Kalau cuma lihat fotonya aja nggak bisa menilai begini begitu.”
“Okay nanti kamu atur aja. Zahira bilang, dia juga ingin kenal Fara. Nanti Zahira mau ibu ajak juga biar bisa ketemuan sama Fara.”
Kepala Abinaya semakin pening. Dia tak mengerti kenapa Zahira ingin berkenalan dengan Fara. Apa dia juga penasaran dan ingin menilai Fara. Sekarang dia harus meyakinkan Fara untuk mau bertemu dengan orangtuanya dan Zahira.
******
Abinaya menghentikan mobil di pelataran rumahnya. Bapak, ibu dan Zahira sudah menunggu kedatangannya dan Fara di rumahnya. Selama survey di Bandung, Zahira menginap di rumah saudaranya. Kemarin mereka sampai Bandung siangan bada’ Dhuhur dan hari ini Zahira diundang orangtua Abinaya untuk datang ke rumah Abi sekaligus untuk berkenalan dengan Fara. Zahira diantar saudaranya ke rumah Abinaya dan disambut hangat oleh kedua orangtua Abi.
Abinaya melirik Fara yang tampak gugup dan cemas. Ia mengenakan pakaian sesopan mungkin, atasan blouse lengan sepanjang siku dan rok panjang bermotif bunga-bunga lembut, cantik sekali dan pas untuk Fara. Dia bela-belain minta uang dari papanya untuk membeli rok tersebut dengan alasan ingin tampil sopan dan cantik di depan calon mertua. Papa Fara yang menyetujui hubungan Fara dan Abinaya setelah putrinya bercerita tentang sosok laki-laki pilihannya ini pun tak keberatan memenuhi permintaan putrinya. Menurutnya putrinya butuh sosok yang dewasa dan mapan agar bisa membimbingnya.
“Yuk turun,” ucap Abinaya.
Fara berusaha menstabilkan deru napas yang bergemuruh. Deg-degan rasanya. Lebih deg-degan dibanding menghadapi seminar hasil skripsi nanti. Ia menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya.
“Fara deg-degan banget Mas.”
Abinaya tersenyum, “Santai saja Far. Jangan gugup. Kan ada Mas Abi juga.”
Fara mengangguk. Abinaya keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Fara. Mereka melangkah menuju pintu.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,” jawab Pramesti, Susilo dan Zahira serempak.
Hal pertama yang dilakukan orangtua Abinaya adalah mengamati Fara begitu menelisik dari ujung kepala hingga kaki. Pramesti mengakui bahwa pilihan anaknya ini memang cantik dan ia juga tampil sopan meski tanpa hijab, tapi karena dari awal dia sudah kurang sreg, di matanya Fara terlihat biasa saja.
Begitu juga dengan Zahira. Ia tak sedikitpun melepaskan pandangannya pada sosok yang menjadi rival terberatnya ini. Dia mengakui, secara fisik, Fara memang cantik. Namun tetap saja ada judgement negatif yang menyelip di balik kekagumannya akan kecantikan Fara, apalagi jika menelurusuri jejak masa kelam Fara yang pernah terlibat skandal dengan salah satu selebgram. Meski Zahira kuliah jauh dari Indonesia, dia tetap tahu apa saja yang tengah viral di media sosial Indonesia. Dan salah satu teman satu asramanya mengenal sosok Kianara, istri dari selebgram yang pernah terlibat skandal dengan Fara. Ia tak habis pikir, apa sebenarnya yang membuat Abinaya jatuh cinta pada gadis yang suka clubbing itu.
Abinaya mengenalkan Fara kepada orangtuanya dan Zahira. Dengan sopan Fara mengulas senyum dan menjabat tangan mereaka. Zahira masih bisa tersenyum dan ramah menyambutnya, tapi tidak dengan Pramesti. Dia begitu dingin menyambut Fara.
Zahira terlihat begitu cekatan dengan membuatkan teh hangat untuk semua yang ada di situ sekaligus menghidangkan aneka cemilan yang sudah disiapkan sebelumnya. Fara menjadi tak enak sendiri. Bayangkan saja, ada gadis lain di rumah calon suami, yang terang-terangan menjadi sosok yang diharapkan orangtua sang calon untuk menjadi istrinya. Sesekali ia memperhatikan Zahira. Gadis itu terlihat sempurna dengan hijab dan kecantikannya. Sikapnya juga lemah lembut dan pembawaannya begitu elegan. Dengan melihat penampilan luarnya saja sudah membuat Fara minder.
“Oya kamu ambil jurusan apa? Sudah semester berapa?” tanya Susilo untuk mencairkan kebekuan.
“Saya ambil jurusan manajemen dan sekarang sedang menyusun skripsi,” jawab Fara sesopan mungkin.
“Oh. Kamu termasuk mahasiswi yang berprestasi ya? Pasti IPK kamu bagus-bagus ya? Kalau bisa lulus dengan IPK cumlaude pasti lebih bagus lagi.” Giliran Pramesti berbasa-basi.
Fara terhenyak. Dia bertatapan dengan Abinaya sejenak lalu kembali menatap calon ibu mertuanya dengan begitu kikuk.
“Saya..saya bukan mahasiswi berprestasi. IPK-IPK saya selama ini nggak mencapai cumlaude tapi masih bisa tiga koma. Bagi saya yang penting saya lulus dengan nilai baik. Mungkin kemampuan saya memang belum bisa mencapai cumlaude.”
Pramesti tersenyum sinis, “Motivasi hidup kamu kok rendah? Apa karena kebanyakan main makanya nggak bisa maksimal. Zahira aja yang kuliah di Al Azhar, yang masuknya aja nggak gampang bisa lulus dengan nilai yang memuaskan. Padahal di sana kuliahnya lebih sulit.” Pramesti melirik Zahira dan tersenyum padanya.
Fara merasa tak nyaman dibandingkan seperti ini. Abinaya bisa membaca ketidaknyamanan Fara yang seolah terjebak dalam situasi seperti sekarang.
“Bu, yang namanya pendidikan itu jauh lebih penting prosesnya dibanding hasil. Nilai bukan tujuan utama dari proses pendidikan Bu. Percuma saja kan nilainya baik tapi saat terjun di masyarakat, dia nggak bisa berkontribusi positif untuk masyarakat, malah berbuat hal-hal negatif,” jelas Abinaya.
“Ya memang. Cuma banyak juga yang nilainya udah jelek, kelakuan juga jelek. Apalagi kalau yang seneng ajep-ajep di klab malam. Ibu nggak suka sama anak-anak muda yang seneng hura-hura.”
Fara merasa tersindir dengan perkataan sang calon ibu mertua. Meski dia sudah berhenti clubbing tapi dia merasa tengah dikuliti habis-habisan dengan disindir terkait masa lalunya.
“Oya Fara aslinya dari mana? Berapa bersaudara?” Susilo mencoba mencairkan suasana dengan bertanya hal lain.
“Saya asli Jakarta. Saya anak tunggal,” jawab Fara yang sudah mulai bisa menenangkan diri.
“Orangtua masih hidup? Bapak masih aktif dinas?” tanya Susilo lagi.
Fara mengangguk, “Iya Pak. Papa masih aktif mengurusi usahanya.”
“Usaha apa? Papa kamu umur berapa? Kayaknya lebih muda dari saya ya.”
“Papa usaha restoran dan tempat pemancingan. Umur papa 45 tahun.”
Susilo tersenyum, “Masih muda ya. Saya sudah 54 tahun.”
“Kalau mama kamu bekerja juga?” Pramesti mengernyitkan dahinya.
Fara seakan mati kutu tiap ada pertanyaan tentang mamanya. Fara menggeleng.
“Mama tidak bekerja.”
“Mama papa masih bareng?” tanya Pramesti kembali.
Fara kembali melirik Abinaya. Lidahnya serasa kelu untuk menjawab. Selalu ada luka terpendam yang akan kembali menganga setiap mendengar pertanyaan tentang kebersamaan orangtuanya yang hanya tinggal kenangan.
“Mama dan papa Fara sudah bercerai Bu. Papa Fara sudah menikah lagi.” Abinaya membantu menjawab.
“Oh. Kalau orangtuanya bercerai, kelak jika salah satu anaknya menikah, biasanya ada yang bercerai juga. Pola asuh dan latar belakang keluarga itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan karkater. Kalau dari rumah sudah terbiasa melihat orangtuanya cekcok dan bahkan sampai bercerai, kelak begitu dia berumahtangga, hubungan ayah ibunya yang tak harmonis akan melekat kuat di otaknya. Secara nggak sadar si anak akan meniru pola hubungan kedua orangtuanya yang tak harmonis. Misal setiap ada masalah datang, dia meniru cara orangtuanya menyelesaikan persoalan dengan marah-marah lah, mementingkan ego lah, atau apa.” Celoteh Pramesti ini begitu menohok untuk Fara. Ada rasa sakit setiap kali orang menjudge anak broken home dengan serangkaian tubuhan yang seakan tak bisa memutus rantai kebrobokan keluarga di kehidupan pernikahannya nanti. Belum juga menjalani rumahtangga sudah dicap demikian.
Abinaya tahu benar, Fara merasa sangat tidak nyaman. Dia sangat menyayangkan kata-kata ibunya yang begitu frontal dan menyakitkan.
“Semua tergantung karakter orangnya Bu. Memang ada pengaruh pola asuh dan latar belakang keluarga terhadap pembentukan karakter anak. Tapi banyak juga anak broken home yang berhasil memutus mata rantai itu dan menjadi orang yang berhasil di kehidupan pernikahannya karena dia belajar banyak hal dari apa yang terjadi pada pernikahan orangtuanya. Rasanya nggak adil kalau anak harus ikut dihakimi karena perilaku orangtuanya,” cecar Abinaya sembari melirik Fara yang tengah meremas-remas jari-jari tangannya.
Pramesti terdiam.
“Kamu suka ngaji tidak?” tanya Pramesti lagi.
Fara merasa saat ini ibu Abinaya seakan ingin mengintrogasinya habis-habisan. Dia seperti sedang dinilai apakah pantas untuk mendampingin Abinaya atau tidak.
“Fara masih belajar Bu.”
“Memangnya kamu sudah hafal berapa juz?”
Abinaya semakin kesal karena sedari tadi ibunya terus-menerus menanyakan sesuatu yang membuat Fara tak nyaman.
“Bu, Fara ini muallaf. Dia baru masuk Islam saat dia semester lima. Jadi wajar belum banyak surat yang dia hafal. Abi aja yang Islam dari lahir juga bukan seorang hafiz.”
“Karena itu Ibu ingin kamu berjodoh dengan seorang hafizah yang nantinya bisa menuntunmu untuk menjadi lebih baik” tegas Pramesti menajamkan matanya.
Zahira cukup kaget mendengar fakta baru tentang Fara yang ternyata seorang muallaf. Namun tetap saja dia masih bingung kenapa Abinaya lebih memilih Fara dibanding dirinya. Zahira tipikal perempuan cerdas yang ambisius, selalu ingin mencapai hal-hal terbaik dalam hidupnya. Dia berprinsip, jika bisa menjadi yang terbaik, kenapa harus menjadi yang standar? Jika bisa menjadi nomor satu, kenapa harus menjadi nomor dua, tiga dan seterusnya? Dan sungguh dikalahkan oleh seorang yang pernah berciuman begitu liar dengan laki-laki non mahram dan videonya viral seantero i********: ini membuatnya terhina. Bagaimana bisa, dirinya dengan segala kualitas, hafalan Al-Qur’annya, salah satu lulusan terbaik di angkatannya, lulusan universitas ternama Al Azhar, berhijab, cantik dan sholehah bisa begitu mudah disisihkan oleh gadis yang biasa-biasa saja dan cenderung bengal.
Jelas sudah, Fara menangkap maksud ucapan ibu Abinaya yang lebih menginginkan anaknya berjodoh dengan Zahira.
“Lebih baik para perempuan memasak saja, Bapak sudah lapar,” tukas Susilo.
Pramesti tersenyum, “Sampai lupa ya kita belum makan. Oya Zahira sama Fara bisa bantu Ibu masak? Ibu ingin lihat kalian ini bisa masak atau tidak.”
Fara sedikit gelagapan karena ia tak bisa memasak. Abinaya menatapnya lembut dan menganggukkan kepala sebagai isyarat agar Fara tetap tenang.
Pramesti melihat isi kulkas Abinaya. Ada kangkung, brokoli, wortel, kembang kol, pokcoy, tahu, jamur tiram, di freezer ada ayam.
“Masak apa ya. Capcay kayaknya enak ya.” Pramesti melirik Zahira.
“Capcay itu salah satu menu favorit Zahira Bu. Waktu tinggal di asrama, Zahira biasa masak sendiri.
“Oya bagus itu. gadis zaman sekarang mah jarang yang bisa masak. Fara bisa masak atau tidak?” Pramesti melirik Fara tajam.
Fara menggeleng pelan.
“Hmm katanya udah siap nikah, masak saja nggak bisa. Mau kasih makan apa suami dan anakmu nanti?” Pramesti bicara begitu sewot.
Fara semakin berkecil lagi. Apalagi setelah melihat keakraban ibu Abinaya dan Zahira yang berbincang begitu hangat disisipi gelak tawa. Fara hanya menjadi penonton tanpa diajak untuk terlibat. Bahkan di saat dia menawarkan bantuan pada Zahira yang tengah memotong wortel, dengan datar Zahira menggeleng, “Biar saya sendiri saja.”
Tentu Zahira ingin terlihat dominan untuk mengambil hati ibu Abinaya. Dia juga belum mengutarakan penolakan perjodohannya pada orangtuanya seperti yang telah dijanjikannya pada Abinaya. Zahira mengagumi Abinaya dan sepertinya sudah jatuh cinta padanya. Ia yakin lambat laun Abinaya akan berpaling padanya dan menyadari bahwa dia lebih baik dari Fara. Dia tahu cinta butuh untuk diperjuangkan dan ia akan memperjuangkannya.
Menjelang masakan matang, Pramesti minta Zahira ke depan dahulu karena ia ingin bicara empat mata dengan Fara.
Fara sedikit gugup kala sang calon ibu mertua menatapnya lekat dengan bola mata memerah.
“Nak Fara, saya ingin bicara penting. Dengan segala kerendahan hati saya minta tolong jauhi anak saya. Saya menginginkan anak saya mendapatkan istri yang sholehah, dari keturunan orang baik dan keluarga yang harmonis.”
Kata-kata Pramesti yang begitu tegas terdengar seperti gelegar halilintar di siang bolong. Fara begitu terluka.
“Saya harap kamu mengerti. Ibu mana yang rela anaknya beristrikan seseorang yang pernah berciuman dengan laki-laki lain dan rekamannya sudah dilihat oleh banyak orang. Mau ditaruh di mana muka saya kalau teman-teman atau kerabat kami yang rata-rata bermoral dan menjunjung tinggi nilai ketimuran tahu kelakuan calon istri Abinaya yang begitu murahan dan meniru budaya barat.”
Lagi-lagi kata-kata itu begitu menghujam. Fara tak bisa menahan tangisnya. Air mata itu lolos seiring dengan rasa sakit yang meluluh-lantakkan pertahanannya. Ia merasa sudah tak ada gunanya lagi bertahan di sini. Fara sadar, ibu Abinaya sepertinya sudah menyelidiki kehidupannya termasuk jejak masa lalunya.
Fara memutuskan untuk pulang ke kostnya. Dia pamitan dengan ayah Abinaya dan Abinaya dengan berusaha menyembunyikan tangisnya. Tentu Abinaya tak bisa membiarkan Fara pulang sendiri. Abinaya menawarkan diri untuk mengantarnya tapi Fara bersikeras pulang sendiri. Ia berbohong dosennya ingin bertemu membahas seminar hasilnya minggu depan karena sang dosen akan mengambil cuti tiga hari. Abinaya tidak bisa berbuat banyak dan membiarkan Fara pulang sendiri. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa yang membuat Fara tiba-tiba bersikap agak dingin dan menolak tawarannya.
Malamnya Abinaya mengirim pesan WA pada Fara tapi tidak dibalas. Ia mencoba menelepon Fara tapi tidak diangkat. Hatinya benar-benar risau tak menentu. Esok orangtuanya akan pulang kembali ke Purwokerto. Dia belum bisa kemana-mana termasuk pergi menemui Fara di kostnya meski ia sangat ingin menemui Fara. Abinaya memutuskan untuk menemui Fara setelah orangtuanya kembali.
Esoknya setelah Abinaya mengantar kedua orangtuanya ke stasiun, ia menyempatkan waktu mampir ke kost Fara. Abinaya mengetuk pintu depan kost Fara. Lidya membukakan pintu dan cukup kaget dengan kedatangan Abinaya di pagi yang masih berkabut.
“Nyari Fara ya Pak? Pagi bener hehe.. Bentar ya Pak.”
“Ya, makasih ya Lid. Bilang ke Fara kalau saya ingin bicara penting.”
Lidya mengangguk, lalu dia melangkah ke dalam sementara Abinaya duduk di teras. Fara keluar menemui Abinaya dengan kaos oblong, celana pendek dan rambut berantakan yang belum disisir. Abinaya beranjak dan menatap Fara dengan perasaan berkecamuk yang sudah bergejolak sejak semalam. Betapa ia merindukan sapa riang gadis ini dan ternyata tidur tanpa mendengar suara atau membaca WA dari Fara bisa sedemikian sulit. Semalam ia seperti disiksa oleh perasaannya sendiri. Fara menatap Abinaya datar. Matanya terlihat sembab karena ia menangis semalaman, menangisi kata-kata Pramesti yang ditujukan padanya, begitu pedas dan menyakitkan.
“Fara, kenapa dari semalam, WA dan telepon Mas dicuekin. Ada masalah apa? Mas salah apa?”
Kedua mata Fara tempak berkaca, “Mas lebih baik jangan temui Fara lagi. Mas pantes mendapat yang lebih baik. Fara nggak cukup baik buat Mas. Fara punya jejak masa lalu yang pahit. Fara mundur Mas.”
Abinaya melongo. Ia terkejut setengah mati dengan apa yang barusan ia dengar. Abinaya menduga Fara mundur karena kemarin ia merasa tak nyaman dengan perlakuan ibunya.
“Apa ini gara-gara kemarin? Karena ibu bicara ketus? Far, Mas Abi akan terus memperjuangkan cinta kita. Mas Abi nggak akan berhenti untuk mendapat restu dari orangtua. Kenapa kamu malah mundur? Bagaimana Mas bisa berjuang kalau orang yang diperjuangkan malah mundur?” Abinaya menatap Fara tajam.
Fara menunduk, “Tidak ada yang perlu diperjuangkan Mas. Mas menikah saja dengan Zahira. Dia lebih baik dan lebih pantas mendampingi Mas Abi.” Bulir bening menitik dari sudut mata gadis cantik itu.
Abinaya meraih tangan Fara dan menggenggamnya erat, “Please Fara jangan putusin Mas sepihak kayak gini. Mas nggak bisa mundur lagi. Mas udah terlanjur sayang sama kamu. Jangan siksa Mas kayak gini Far.”
Fara melepaskan tangannya dari genggaman Abi, “Fara minta maaf Mas. Fara mundur.” Fara segera berbalik dan masuk ke dalam dengan isakan tangis yang begitu menyayat.
Abinaya terpekur. Hatinya hancur lebur dan patah berkeping-keping. Tidak ada yang lebih menyakitkan selain patah hati di saat cinta sedang subur-suburnya. Abinaya melangkah gontai menuju mobilnya. Dia masih belum ingin menyerah. Dia ingin berjuang untuk mendapatkan hati Fara kembali dan juga mendapat restu dari orangtuanya.
******