Untitled

2929 Words
Zahira termenung di kamar Maryam, saudara sepupunya. Perasaannya tak hanya galau memikirkan universitas mana yang akan ia pilih untuk melanjutkan S2nya, tapi juga galau memikirkan perkataan Abinaya yang menyebutnya sombong. Selama ini dia tak bermaksud sombong, dia hanya merasa heran, kenapa Abinaya bisa jatuh cinta pada Fara. Apa yang ada pada diri Fara hingga membuat Abinaya sama sekali tak memandangnya. Padahal banyak laki-laki yang mengutarakan keinganan untuk ta’arufan dengannya, tapi gadis cantik itu menolak. Dan kini ia ditolak oleh laki-laki. Rasanya sangat menyakitkan dan membuatnya merasa direndahkan. Kalau saja wanita yang disukai Abinaya bukan Fara, bukan seorang gadis yang pernah akrab dengan dunia malam dan bahkan pernah berciuman dengan laki-laki sampai videonya viral, tentu Zahira bisa memaklumi dan tak akan merasa direndahkan seperti ini. Maryam duduk di sebelah saudara sepupunya dan menatap wajah Zahira begitu menyelidik, mencoba menebak isi pikiran Zahira. “Kamu lagi mikirin apa Za? Soal universitas yang akan kamu pilih?” Zahira terkesiap. “Iya, tapi ada hal lain yang lebih menggangguku.” “Hal lain apa?” Maryam memicingkan matanya. “Aku heran kenapa Mas Abi bisa suka sama Fara ya? Cewek yang kemarin aku ceritakan. Kebanyakan cowok ingin dapat istri yang masih suci kan? Kenapa Mas Abi nggak mempermasalahkan Fara yang udah pernah ciuman sama cowok lain?” Maryam tertegun sejenak. “Ya mungkin Mas Abi benar-benar mencintai Fara makanya dia nggak mempermasalahkan. Mungkin Fara cuma pernah ciuman saja tapi nggak sampai melakukan yang lebih dari itu.” Zahira menajamkan matanya, “Cuma ciuman? Namanya ciuman kan tetap saja dilarang meski nggak sampai nglakuin lebih dari itu.” Maryam mengembuskan napas, “Iya sih. Cuma untuk cewek gaul kayak Fara yang terbiasa bergaul di klab malam, dia bisa mempertahankan keperawanannya itu hal luar biasa. Ditambah dia seorang muallaf. Mungkin Mas Abi lihat dari situ. Lagipula ya Za, jaman sekarang orang pacaran udah banyak banget kan yang menganggap ciuman itu tak apa-apa asal jangan sampai jebol. Mungkin Mas Abi adalah salah satu orang yang berpendapat demikian. Coba deh kamu tanya mantan pacarnya Mas Abi ada berapa? Kalau saat pacaran dulu Mas Abi pernah ciuman, akan mudah bagi Mas Abi untuk memaklumi dan menerima Fara yang juga sudah pernah ciuman. Mas Abi tahu dia juga bukan orang yang perfect, makanya dia nggak keberatan dengan Fara yang pernah khilaf juga. Zahira memutar bola matanya. “Rasa-rasanya kok sulit ya untuk membayangkan Mas Abi pernah khilaf ciuman dengan perempuan. Aku lihat dia orang yang bijak dan dewasa. Tapi kalau dia mengakui kesalahan dan memperbaiki kesalahan lalu dia menyukaiku, aku bisa menerimanya. Masalahnya dia nggak menyukaiku. Dan aku sudah terlanjur menyukainya.” Maryam menatap Zahira yang terlihat galau tak tentu arah. “Kalau kamu ingin suami yang sebelumnya nggak pernah ada kontak fisik dengan perempuan lain, nyarinya ke ponpes kali ya Za. Zaman sekarang kayaknya susah nemu tipikal cowok begini. Dapet yang masih perjaka aja udah untung banget. Aku percaya masih ada sih cowok yang bener-bener bisa menjaga diri, meski cuma segelintir. Dan aku juga berharap dapet cowok yang segelintir itu,” Maryam tersenyum lebar dan mengeleng, “Ya Allah, begini ya rasanya udah lulus kuliah tapi belum ada satupun proposal ta’aruf yang cocok.” Zahira tertawa kecil, “Kenapa soal jodoh itu selalu bikin galau? Cowok-cowok yang pernah ngajak aku ta’arufan juga nggak ada yang sreg. Aku cuma baru pernah sekali ta’arufan. Pas baca proposalnya, aku merasa sreg. Dia juga rajin ibadah, punya pekerjaan bagus dan fisiknya juga menarik. Tapi waktu kami ngobrol-ngobrol dan membahas masa lalu, aku memutuskan untuk nggak lanjut karena di masa lalunya dia seorang badboy, suka ke night club. Ya meski sekarang udah insyaf, tapi aku nggak bisa nrima dia yang udah pernah kebablasan saat pacaran.” Maryam tersenyum, “Berdoa saja sama Allah semoga dikasih jodoh yang baik. Sesuatu yang buruk menurut kita, belum tentu itu buruk, bisa jadi itu adalah hal yang baik untuk kita. Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk kita Za.” Zahira mengangguk. Wajahnya masih menyiratkan kegalauan. “Kayak masih ada yang dipikirin Za?” Zahira terhenyak dari lamunannya. “Aku masih kepikiran kata-kata Mas Abi yang bilang kalau aku ini sombong karena merasa lebih baik dari Fara. Aku sebenarnya nggak bermaksud sombong. Hanya saja aku melihat Fara dengan skandalnya dan dia mantan cewek bengal yang suka clubbing, tapi Allah begitu memudahkan langkahnya untuk mendapatkan cinta Mas Abi. Sedang aku yang berusaha menjaga diri, nggak pernah clubbing, tapi Allah belum memberikan cinta sejati untukku dan aku nggak bisa bikin Mas Abi jatuh cinta sama aku.” Maryam meraih tangan Zahira dan menatapnya lembut, “Mungkin Allah sudah menyiapkan laki-laki yang lebih bisa menjaga dirinya dibanding Mas Abi. Optimis saja.” Zahira tercenung. “Dan soal kesombongan, ya sifat sombong itu penyakit hati Za. Kesombongan menjadi ujian sendiri untuk manusia terutama di saat kondisi dia sedang serba lebih. Kamu dengan pendidikan yang bagus, ilmu tinggi, wajah yang cantik, aurat yang tertutup dan keluarga yang baik, harusnya kamu nggak jadi sombong atau meremehkan orang lain. Tetap rendah hati dan jangan pernah meremehkan orang lain.” Zahira membisu, “Sebenarnya aku nggak bermaksud untuk sombong. Aku mungkin nggak bisa menerima kalau aku kalah dari Fara.” Maryam menghela napas, “Jangan siksa hati dan pikiranmu karena cinta yang nggak berbalas Za.” “Ya aku tahu. Aku cuma penasaran aja, masa iya Mas Abi nggak ada ketertarikan sama sekali sama aku? Aku kayak tertantang aja buat bikin dia jatuh cinta. Tapi entahlah. Mas Abi kayaknya nggak respek sama aku.” Maryam tak tahu harus membalas apa. Dia paham benar akan watak Zahira yang ambisius. Jika dia menginginkan sesuatu, dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan ambisinya. ******* Fara membaca Iqro dimulai dari Iqro pertama. Dulu dia sudah hafal semua huruf hijaiyah. Sekarang dia mencoba mengingat-ingat lagi. “A, ba, ta...” Lidya yang tengah membaca novel melirik Fara yang tengah mengeja huruf demi huruf. “Kayaknya kamu udah hafal semua hurufnya. Nanti coba baca yang udah bersambung.” Fara tersenyum dan menoleh ke arah Lidya, “Iya. Besok jadwalku ngaji Al-Qur’an di Masjid. Kata ustadzah mulai dari dasar. Dari Iqro pertama. Mungkin ngajinya bakal bareng anak-anak TK. Tiap sore ada pengajian anak-anak juga.” Fara tertawa. Lidya ikut tertawa juga, “Ya seneng dong teman-teman kamu lucu-lucu dan menghibur. Tapi kayaknya kalau untuk muallaf, ada guru khusus yang benar-benar mengajarimu intens.” “Kayaknya sih iya. Soalnya waktu aku ke sana, ada dua orang muallaf juga dan jadwal ngajinya barengan sama aku.” “Oya seminar kamu kapan jadwalnya? Kamu udah persiapan?” Fara mengangguk, “Iya aku udah siap insya Allah. Jadwalnya tiga hari lagi. Aku merasa udah cukup belajar, tapi ya harus ditambah lagi belajarnya. Kamu mau kan lihat aku seminar nanti? Jujur, aku nggak yakin mahasiswa lain ada yang mau dateng ke seminarku. Mereka masih mandang aku negatif. Minimal harus ada lima belas audience.” “Insya Allah aku datang. Anak-anak kost lain bisa disuruh datang juga kalau mereka nggak sibuk. Atau teman-teman ngaji juga bisa Far. Kamu jangan khawatir.” Lidya berusaha menenangkan. “Teman-temanmu udah pasti kenal Kia kan? Mana mungkin mereka mau datang ke seminarku. Aku rasa, kesalahanku di masa lalu benar-benar merugikan aku banget Lid. Aku dijauhi teman-teman. Mereka masih bisa menerima Gharal, sedang aku nggak ada yang memaafkan.” Lidya terpekur, tak tahu harus merespon apa. Dia sering mendengar Fara dipergunjingkan oleh para mahasiswa di fakultasnya. Meski Kia sudah menjelaskan bahwa video itu direkam jauh sebelum Gharal menikah, tapi tetap saja nama Fara sudah terlanjur jelek dan dicap pelakor. Nyatanya rumahtangga Gharal dan Kia baik-baik saja, malah semakin harmonis. Apalagi sejak Kia hamil. Lidya melihat Gharal sering mengantar istrinya ke kampus. Kebekuan itu mencair karena iphone Fara berbunyi. Ada satu pesan WA dari Abinaya. Far, Mas udah di teras. Kamu keluar ya. “Mas Abi udah di teras. Dia ke sini nggak bilang-bilang. Aduh mana aku pakai baju kayak gini. Aku ganti dulu lah.” Fara mengambil satu kaos dan celana kulot panjang. “Tumben ganti baju. Biasanya kamu cuek aja.” Lidya tersenyum. “Beda lah kalau sekarang. Status kami sekarang kan udah menuju ke jenjang yang serius Lid. Minimal aku harus rapi di depan dia kan?” Lidya cekikikan, “Iya deh yang lagi kasmaran. Aku keluar dulu ya.” Lidya beranjak keluar. Fara mengganti bajunya setelah itu ia menyisir rambutnya. Rasanya seperti mimpi, pertama kali dalam hidupnya, Fara merasa benar-benar memiliki pacar. Dulu dia dan Gharal tak ada ikatan apapun meski saling menyukai. Meski ia sedikit tahu bahwa sebenarnya pacaran tidak diperbolehkan, tapi rasanya dia tak bisa berpisah dari Abinaya. Sama seperti Abinaya, dia pun ingin segera menghalalkan hubungan mereka, apa daya restu masih begitu sulit untuk dikantongi. Fara melangkah keluar. Saat Fara membuka pintu, Abinaya sedikit bengong melihat Fara yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Rambutnya tak berantakan. Fara duduk di sebelah Abinaya, terpisahkan oleh satu meja diantaranya. “Ini Mas bawa sesuatu buat kamu.” Abinaya meletakkan dua kotak di atas meja. “Apa ini Mas?” “Buka saja.” Abinaya mengulas senyum. Fara membuka kotak itu. Isinya donat dan puding. “Wah kayaknya enak banget ya Mas. Dari penampilannya kelihatan menarik.” Mata Fara berbinar menatap makanan di hadapannya. Abinaya tahu benar, Fara sangat suka makan, karena itu ia sengaja ke kost Fara untuk mengantar makanan buatan Kia itu. “Dimakan saja, Mas temenin.” Abinaya mengambil satu cup puding dan membuka tutupnya. Fara mengambil satu buah donat, mengucap basmallah dan langsung melahapnya. “Enak nggak?” “Enak banget Mas. Mas Abi beli di mana?” Fara melirik Abinaya dan tersenyum lebar. “Itu dari Kia.” Glek... Seketika Fara tersedak. Abinaya menepuk-nepuk punggung Fara. “Pelan-pelan makannya Far.” “Aku tersedak bukan karena kurang pelan. Aku kaget saja kalau donat ini adalah buatan Kia. Kok Kia bikinin Mas Abi donat? Untuk ucapan terima kasih karena Mas Abi udah jadi dosen pembimbingnya?” Fara menyipitkan alisnya. “Iya, Kia membuat ini untuk mengucapkan terima kasih. Dia juga bermaksud mengembalikan laptop. Dulu rumahnya pernah kemalingan dan laptopnya raib dirampok. Mas nawarin dia memakai laptop Mas yang udah nggak dipakai tapi masih berfungsi dengan baik. Awalnya menolak, tapi Mas paksa. Bahkan Mas bicara langsung sama Gharal. Akhirnya mereka mau menerima. Sebenarnya Mas nggak mau laptop itu dikembalikan dan Mas memang sudah niat memberikan laptop itu untuk Kia. Tadi Mas nolak dan Mas maksa mereka untuk menerima. Mas bilang anggap saja itu untuk kenang-kenangan karena Kia sudah dipastikan ikut wisuda periode ini.” Fara berpikir sejenak. Kekasihnya ini orang yang dermawan dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Dulu dia pernah memberikan handphone untuk Rangga, lalu memberikan laptop juga untuk Kia. Hanya saja Fara merasa ada sesuatu antara Abinaya dan Kia. “Mas Abi baik banget ya. Dulu ngasih handphone buat Rangga, terus ngasih laptop buat Kia. Mas Abi perhatian banget sama Kia.” Nada bicara Fara terdengar sedikit berubah. “Kayak ada bumbu cemburu nih. Fara jealous sama Kia? Kia itu kan udah jadi istrinya Gharal, Mas Abi juga udah punya Fara, nggak ada alasan untuk cemburu.” Fara melirik Abinaya sekali lagi, “Dari kata-kata Mas Abi, Fara semakin yakin kalau Mas Abi pernah punya perasaan sama Kia, bener kan tebakan Fara?” Abinaya mengusap kepala, menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jarinya. Ia menaap Fara serius. “Ya dulu Mas pernah suka sama Kia. Tapi itu jauh sebelum Mas kenal Fara. Sekarang kamu yang ada di hati Mas. Jadi Mas harap, Fara nggak cemburu.” Fara tertegun. Hingga kini ia tak mengerti kenapa Gharal bisa begitu mencintai Kia dan sekarang ada fakta lain mengejutkan bahwa ternyata, Abinaya juga pernah mencintai Kia. “Apa yang membuat Mas Abi suka sama Kia?” Abinaya terbelalak mendengar pertanyaan Fara. “Apa itu penting untuk dibahas Far? Itu hanya masa lalu.” Fara mengembuskan napas, “Fara hanya ingin tahu saja Mas.” Abinaya memandang ke arah lain. Ia tak mengerti kenapa perempuan senang sekali mengorek-orek masa lalu terutama tentang kisah cinta di masa silam. Ia menoleh Fara yang dari raut wajahnya terlihat benar ia berharap dirinya akan menjawab pertanyaan itu. “Terkadang menyukai seseorang itu mengalir begitu saja, tak membutuhkan alasan tertentu. Tapi nilai plus Kia, dia itu gadis yang pantang menyerah, ulet, berprinsip, sholehah, pintar dan rendah hati. Dia nggak pernah menghakimi orang lain yang berbeda pandangan dengannya, dia bisa membuat orang-orang di sekitarnya nyaman berteman dengannya. Nggak heran dia punya banyak teman yang care terhadapnya. Mas bisa paham, pemuda selengekan kayak Gharal pada akhirnya bisa begitu besar mencintai Kia.” Entah kenapa ada rasa cemburu menelusup ke celah hati Kia mendengar Abinaya memuji wanita lain. “Dia baik banget ya. Fara nggak ada apa-apanya dibanding dia. Pantas saja Gharal bisa benar-benar jatuh cinta sama dia. Mas Abi juga pernah jatuh cinta sama dia. Atau malah Mas Abi masih punya perasaan sama dia.” “Kok Fara ngomongnya gitu? Fara ini cemburuan ya. Tadi Fara nanya kenapa dulu Mas suka sama Kia. Setelah dijawab, Fara malah cemberut dan cemburu.” “Fara nggak cemburu kok,” sahut Fara datar. “Cemburu, jujur saja. Kelihatan kok.” “Nggak!” Fara menatap Abinaya tajam. “Cemburu nggak apa-apa kok. Mas malah seneng.” Abinaya tersenyum lembut. “Ih udah bilang nggak.” Fara masih saja menyangkal. “Yang bener? Gengsi nih ye nggak mau ngaku.” Abinaya tak berhenti meledek. “Mas Abi ih, udah dibilang berkali-kali kalau Fara tuh nggak cemburu Mas.” Fara mulai kesal. “Kenapa nggak mau ngaku?” “Iya iya iya.. Fara cemburu. Mas puas?” Fara menaikkan intonasi suaranya dan mengerucutkan bibirnya. “Kamu tambah cantik kalau lagi marah Far.” Abinaya tersenyum dan mengamati ekspresi wajah Fara yang masih terlihat cemberut. “Gombal ah, nggak mutu. Receh banget.” Fara enggan menoleh Abinaya. Abinaya tertawa kecil, “Fara beneran marah nih?” Fara membisu, enggan menjawab. “Ya udah kalau marah, Mas pulang ya.” Fara tak bergeming. Dia bertahan dengan sikap diamnya. “Hmm...ya udah Mas pulang nih...” Abinaya siap-siap beranjak. Fara melirik sejenak lalu membuang muka. “Oh ya udah Mas bener-bener pulang. Beneran pulang ini Far.” Abinaya berdiri. Fara sama sekali tak melirik ke arah Abinaya. “Nggak nyesel nih kalau Mas Abi pulang?” Abinaya mengamati wajah Fara yang masih ditekuk. Bibirnya mengerucut. Kalau saja mencium itu nggak dosa, sudah Abinaya kecup saking gemasnya. “Mas Abi mau pulang. Kalau udah pulang nggak bakal ke sini lagi lho.” Fara masih bertahan dengan sikap diamnya. “Nggak balik lagi sampai lusa,” Abinaya ingin ada reaksi lebih dari Fara. “Ya udah nggak balik lagi ke sini sampai minggu depan.” Abinaya masih mematung menunggu respon lebih dari Fara. “Ya udah deh Mas pulang, janjian ketemuan sama Zahira saja lah.” Abinaya melangkah menuju mobilnya. Fara semakin kesal. Ia beranjak dan berteriak lantang, “MAS ABIIIII....” Abinaya berbalik dan tertawa. “Apa sayang? Nggak rela Mas Abi jalan sama Zahira?” Fara menghentakkan kakinya seperti anak kecil. Satu hal yang baru diketahui Abinaya, Fara ini jika sedang manja terlihat begitu menggemaskan seperti remaja SMA. Abinaya berjalan mendekat. “Tadi diemin Mas, giliran Mas bilang mau ketemuan sama Zahira, eh nggak ikhlas. Makanya jangan gengsian.” Abinaya mengacak rambut Fara dan membuatnya berantakan. Fara masih saja cemberut. “Udah ah nggak usah cemberut. Jelek kalau cemberut.” Abinaya tersenyum. Perlahan mimik wajah Fara berganti lebih cerah. “Udah sore, Mas pulang dulu ya.” “Mas Abi beneran pulang? Masih marah ya sama Fara?” Abinaya terkekeh, “Ya nggak lah. Masa Mas mesti main di sini sampai malem? Kalau nanti kita udah nikah mah enak. Pagi siang sore malem berduaan, udah bebas, nggak ada yang larang.” “Jalan menuju ke sana nggak mudah.” Fara memelankan volume suaranya. “Iya, makanya kita berjuang bareng. Mudah-mudahan Allah memudahkan.” “Aamiin.” “Ya udah Mas pulang dulu ya. Gampang ntar malam, Mas telepon. Eh kamu mesti belajar buat ngadepin seminar kan?” Fara mengangguk, “Fara udah belajar jauh-jauh hari. Sebelum tidur, Mas Abi telepon ya. Udah kebiasaan denger suara Mas Abi sebelum tidur.” “Ehem.. Fara udah mulai kecanduan dengerin suara Mas Abi nih.” Fara tertawa, “Biar tidurnya nyenyak Mas.” “Iya ntar malam Mas Abi telepon. Udah dulu ya sayang. Mas Abi pulang dulu. Jangan lupa sholat, abis sholat berdoa biar kita berjodoh.” Abinaya menaikkan alisnya. “Itu mah sudah pasti Mas.” “Ya udah Mas pamit ya, jangan ditangisin, besok-besok juga balik lagi ke sini.” Fara tertawa, “GR amat, siapa yang mau nangisin Mas?” Abinaya tertawa kecil, “Pulang dulu ya, Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Fara menatap langkah Abinaya yang menjauh. Diliriknya donat dan puding di meja. Ia akui makanan buatan Kia memang enak rasanya. Dia mencoba berdamai dengan getirnya masa lalu. Dulu dia memang tidak menyukai Kia. Dulu dia menyalahkan Gharal karena memilih tetap bersama Kia. Namun sekarang dia tak bisa menyalahkan Gharal. Meski pernikahan Gharal dan Kia berawal dari perjodohan, tapi keputusan Gharal untuk mempertahankan rumahtangganya bersama Kia adalah keputusan yang tepat. Kini ia memahami kenapa kisah cintanya dengan Gharal pada akhirnya kandas, karena Allah sudah menyiapkan seorang Abinaya untuknya. Abinaya hendak melajukan mobilnya, tapi dering smartphone membuatnya terhenyak. Abinaya membaca satu pesan WA dari ibunya. Bi, tadi orangtua Zahira datang ke rumah. Mereka nanya, kapan hubungan kalian diresmikan? Mereka minta kejelasan kelanjutan perjodohan ini. Bapai ibu ingin kamu secepatnya melamar Zahira. Mendadak kepala Abinaya terasa pening. Kini ia memikirkan rencana untuk bertemu dengan Zahira dan mendesakknya agar mau menolak perjodohan ini. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD