“Far, kamu merhatiin Gharal dan Kia?”
Pertanyaan Abinaya membangunkan Fara dari lamunannya.
“Mas.... Fara...”
“Szzttt.. Mas tahu kok. Nggak usah ngelak,” Abinaya menyela perkataan Fara sebelum Fara selesai bicara.
“Kita temui mereka yuk.”
Fara mendelik, “Apa? Tapi Mas, Fara nggak mau. Fara nggak siap.” Ekspresi wajah Fara mendadak resah. Selama ini dia selalu menghindari Gharal.
“Kenapa kamu nggak siap? Kamu masih cinta sama Gharal?”
Fara segera menggeleng, “Nggak Mas.”
“Kalau nggak ya ayuk kita ke sana. Buat diri kamu biasa menghadapi mereka Far. Cobalah untuk berdamai dengan masa lalu.”
Fara tergugu. Meski ia telah mencoba untuk melupakan segala sakit hati dan menganggap pertemuannya dengan Gharal sebagai sesuatu yang biasa, tapi tetap saja ada desiran meski sedikit yang tiba-tiba membuat dadanya berdebar. Gharal yang mencuri ciuman pertamanya, yang mengajarinya minum alkohol untuk pertama kali, yang mengenalkannya pada night club. Tentu tak semudah itu melupakan seseorang yang pernah menjadi ‘partner in crime’ atau gila bareng di masa lalu.
Melihat Fara masih ragu, Abinaya menatap Fara lebih tajam.
“Far dengerin Mas. Mas Abi udah bersikap biasa setiap berhadapan dengan Kia. Mas anggap Kia seperti adik karena Mas nggak punya adik perempuan. Alhamdulillah dengan menganggapnya seperti adik, Mas bisa membuka hati untuk orang lain, untuk kamu. Cobalah kamu berteman dengan Kia atau bicara dengannya. Mungkin dengan begitu, kamu bisa benar-benar lepas dari bayang-bayang masa lalu.”
“Mas nggak marah sama Fara? Fara udah nggak ada perasaan apa-apa sama Gharal. Hanya saja... Entahlah sulit untuk menjelaskan. Mungkin Mas bisa bayangin. Dulu Fara dan dia pernah begitu dekat. Ada rasa malu karena dulu dia pernah interaksi fisik sama Fara...” Fara menunduk.
“Okay kalau kamu nggak mau ketemu dia. Mas cuma menawarkan cara agar kamu bisa berdamai dengan masa lalumu, dengan sakit hatimu. Percaya sama Mas, semua ini akan membuat hatimu lebih lega dan tenang.”
Fara mengangguk, “Baiklah Mas, kita temui mereka.”
Abinaya tersenyum. Mereka berjalan beriringan menuju toko sepatu.
“Kia, Gharal.” Abinaya tersenyum ramah.
Kia dan Gharal mendongak dan terkejut menatap Abinaya bersama Fara. Kia beranjak, begitu juga dengan Gharal.
“Bapak lagi jalan-jalan juga di sini?” Kia tersenyum dan melirik Fara sambil menganggukkan kepala.
Fara mengangguk dan mencoba berikap ramah kendati ada rasa canggung.
“Iya. Fara habis seminar kemarin, jadi saya ajak dia jalan-jalan biar refreshing.”
“Sama kayak Gharal. Dia juga habis seminar. Makanya kita jalan-jalan biar dia nggak suntuk,” senyum tak lepas dari bibir Kia. Dia mencoba untuk bersikap biasa meski ada Fara bersama Abinaya.
“Gimana kalau kita makan bareng? Ada tempat makan baru di food court. Es krim dan cemilan macam pancake, waffle, burger, pizza, donat, cupcake. Kayaknya seru aja makan yang manis-manis.” Abinaya menatap Gharal dan Kia bergantian.
“Ki, kamu mau nggak? Lumayan kalorinya, siapa tahu bisa naikin berat dede. Kata dokter beratnya masih kecil.” Gharal tersenyum melirik istrinya.
Kia mengangguk, “Iya boleh deh.”
Abinaya berjalan beriringan bersama Gharal, sedang Fara berjalan beriringan dengan Kia. Abinaya sengaja mendekatkan Fara dengan Kia. Harapannya, Fara tak lagi cemburu pada Kia dan juga bisa bersikap biasa terhadap Gharal dan melupakan sakit hati yang pernah membelenggunya.
Fara mengamati cara berjalan Kia yang terpincang-pincang. Dulu ia pikir Kia menderita cacat bawaan. Setelah ia mendengar cerita dari Selia, dia tahu kebenarannya. Gharal tanpa sengaja menabrak Kia dengan mobilnya saat Gharal pulang dari night club dalam keadaan setengah mabuk. Gharal bertanggungjawab dengan membawa Kia ke rumah sakit. Keluarga Gharal membiayai semua pengobatan Kia. Kondisi kaki Kia menjadi cacat karena patah tulang berat. Orangtua Gharal meminta Gharal menikahi Kia sebagai bentuk tanggungjawab. Padahal saat itu Gharal tengah dekat dengan Fara. Pernikahan tanpa cinta itu kini berbalik menjadi pernikahan yang begitu romantis. Fara masih suka stalking i********: Gharal dan Kia. Terkadang dia iri melihat kebersamaan mereka. Namun sejak Abinaya datang, dia bisa menghilangkan rasa iri itu dan ia berharap pasangan itu berbahagia, seperti ia yang berharap bisa bahagia bersama Abinaya.
“Selamat ya Far atas keberhasilan seminar kamu kemarin.” Kia memecah keheningan dan berusaha menetralisir kecanggungannya.
“Makasih Kia. Semua karena pertolongan Allah.” Fara menyunggingkan senyum tulusnya.
‘Iya. Allah menjawab usaha dan doamu dengan kelancaran seminarmu.”
Saat mereka hendak menaiki eskalator, Gharal segera menghampiri istrinya. Dia menuntun Kia dan meminta Kia untuk sedikit menyingkap ujung gamisnya untuk menghindari ujung gamisnya masuk ke dalam celah eskalator.
Fara tercenung melihatnya. Gharal bisa sedemikian manis memperlakukan istrinya. Sejak menikah, pelan-pelan sifat kekanakan dan selengekannya hilang. Dia berubah menjadi sosok suami penyayang dan begitu perhatian pada istrinya. Abinaya menggandeng tangan Fara seakan menyadarkannya bahwa gadis itu telah memilikinya. Fara menoleh pada dosen ganteng itu. Abinaya tersenyum lembut.
Mereka duduk mengelilingi satu meja yang berukuran cukup lebar. Abinaya memesankan empat porsi ice cream, empat jus mangga dan satu loyang pizza besar. Suasana terasa sedikit canggung tapi Abinaya berusaha mencairkannya dengan mengajak Gharal berbincang tentang bisnis kaos dan jaket yang saat ini tengah digeluti Gharal.
“Sepertinya bisnis kaos dan jaket kamu sedang berkembang pesat ya. Saya senang melihat anak muda getol membangun usaha.” Abinaya mengaduk jusnya dengan sedotan.
“Alhamdulillah Pak. Kami ada rencana untuk membangun outlet offline. Selama ini kami baru mencoba memasarkan lewat online. Sudah seharusnya kami punya outlet offlinenya.” Gharal menjawab dengan senyum.
“Bagus itu Gha, produk kalian akan semakin dikenal.”
Selanjutnya Abinaya melirik Fara dan Kia bergantian. Kedua perempuan itu lebih banyak diam dan sepertinya terbawa suasana yang kikuk.
“Ayo Fara dan Kia makan yang banyak. Jangan malu-malu, makan aja yang banyak.”
Kia menganguk pelan, “Iya Pak. Terima kasih.”
Seusai makan, Kia dan Fara mampir ke store yang menjual busana muslim perempuan termasuk kerudungnya.
Kia memilih-milih kerudung, begitu juga dengan Fara. Fara baru memiliki kerudung sedikit, ia ingin menambah beberapa lagi untuk dikenakan saat mengaji.
“Kia menurutmu bagusan mana?” Fara mencoba untuk lebih akrab dengan Kia.
Kia memperhatikan dua kerudung yang tengah ditunjukkan Fara.
“Aku lebih suka yang coklat muda sih.”
“Iya aku juga sreg yang ini.” Fara mengamati lebih detail kerudung berwarba coklat muda.
“Kamu pasti lebih cantik kalau pakai kerudung.” Kia tersenyum.
Fara membelalakan matanya, “Masa sih? Aku pingin juga sih bisa makai kapanpun, nggak cuma saat ngaji aja. Tapi rasanya aku belum siap. Aku belum pinter ilmu agama. Aku juga muallaf. Pengetahuanku tentang agama masih cetek.”
Kia kaget mendengar Fara yang ternyata seorang muallaf. Selama ini Gharal belum pernah bercerita tentang hal itu.
“Berjilbab itu nggak harus nunggu pinter agama. Selama muslimah sudah dikatakan baligh, dia sudah wajib menutup aurat. Nggak peduli pinter agama atau nggak, baik atau nggak, apapun pekerjaannya, dia wajib menutup aurat. Soal ilmu, semua orang juga sedang belajar sampai ajal nanti menjemput. Kalau nunggu sampai pintar nanti kita mungkin nggak akan memakainya sampai mati karena kita merasa belum pintar-pintar. Aku sendiri juga masih belajar. Biarpun aku Islam dari lahir, belum tentu ilmuku tinggi. Justru aku merasa masih dangkal banget dan aku harus belajar. Mengenakan hijab adalah prosesku untuk belajar juga.”
Kata-kata yang meluncur dari bibir Kia terdengar begitu menyejukkan. Ia mengamati cara berpakaian Kia yang mirip Zahira, gamis dan kerudung panjang. Tapi entahlah, dia merasa tak ada jarak dengan Kia karena Kia memang tak menciptakan gap antara mereka. Berbeda saat dia bertemu dengan Zahira, dia merasa jarak antara dia dan Zahira begitu jauh.
“Insya Allah suatu saat aku pasti akan belajar Ki.”
Kia tersenyum, “Yang aku kagumi dari seorang muallaf adalah semangat mereka begitu tinggi untuk belajar. Aku suka malu sendiri karena aku yang lahir dari dalam keluarga Islam malah kadang semangatnya kendor.”
“Aki juga baru rajin belajar sekarang-sekarang ini, padahal aku muallaf dari semester lima.”
Kia tersenyum sekali lagi, “Nggak apa-apa Far. Bersyukur kamu punya semangat belajar, daripada nggak ada sama sekali. Banyak yang belum terbuka hatinya untuk belajar.”
Tiba-tiba Fara meraih tangan Kia, “Ki boleh aku memelukmu?”
Kia sedikit terhenyak, “Tentu boleh Far.”
Fara memeluk tubuh mungil Kia, “Maafkan aku Kia. Dulu aku pernah berusaha merusak rumahtangga kalian dengan mempengaruhi Gharal untuk menceraikanmu. Aku pernah sedemikian jahat.”
Kia mengusap punggung Fara, “Nggak apa-apa Far. Itu sudah berlalu. Buah dari kesabaranku mendampingi Gharal dan setia padanya adalah Gharal telah banyak belajar dari kesalahannya. Kebenciannya padaku berubah menjadi cinta yang tulus karena Allah. Dia begitu mencintai dan memperhatikanku.”
Fara melepas pelukannya dan terseyum menatap Kia dengan mata berkaca, “Aku sekarang mengerti kenapa Gharal bisa begitu mencintai kamu. Hati kamu begitu baik dan tulus Kia. Kamu pantas untuk dicintai dan diperjuangkan. Aku bahagia melihat kalian bahagia.”
Kia tersenyum dengan mata yang juga berkaca. Entah kenapa dia merasa begitu bahagia dengan pertemuan ini. Ia seperti mengenal Fara lebih dekat. Wanita ini dulu pernah membuatnya cemburu dan sekarang semua kesalahpahaman dan ego yang pernah merajai, terkikis begitu saja.
“Aku masih ingat saat kamu ngasih air mineral waktu aku nungguin Gharal di area balapan. Aku tahu, kamu sebenarnya orang yang baik. Hanya saja waktu itu kamu salah pergaulan hingga sering clubbing.”
“Aku sedang belajar untuk memperbaiki diri. Alhamdulillah sekarang aku sudah berhenti clubbing dan minum. Mas Abi sering ngingetin akan hal ini.”
Kia melirik Abinaya yang sedang berbincang dengan Gharal.
“Pak Abinaya orangnya dewasa dan aku rasa beliau cukup bijak. Aku yakin Pak Abinaya bisa menjadi imam yang baik untuk kamu. Aku doakan kalian berjodoh.” Kia mengulas senyum lembutnya.
“Aamiin. Mohon doanya ya Ki. Saat ini kami sedang berjuang untuk mendapat restu dari orangtua Mas Abi.”
“Iya insya Allah aku akan mendoakan yang terbaik.”
“Terima kasih banyak Kia.” Fara benar-benar bahagia hari ini. Rasanya begitu plong dan lega karena bisa berbincang banyak hal dengan Kia. Beban masa lalu yang mengungkum seolah lepas dan hilang.
******
Abianya menghentikan mobilnya di depan pintu kost Fara.
“Mas, makasih banyak ya. Tadi Fara ngobrol banyak sama Kia. Fara lega banget. Fara bener-bener bahagia karena Fara merasa dapet temen baru, teman yang baik banget. Benar apa kata Mas Abi kalau Kia bisa bikin siapapun nyaman berteman dengannya.”
“Alhamdulillah. Mas ikut seneng. Kamu bisa konsultasi sama dia. Kia pengetahuan agamanya cukup bagus.”
Fara mengangguk, “Iya Mas. Dia agamanya bagus tapi dia nggak gampang menghakimi dan dia menghargai siapapun.”
“Far, Mas akan mencoba untuk mengambil hati ibu. Bagaimanapun caranya, Mas nggak akan nyerah. Kalau ternyata ibu masih keukeuh juga, Mas mungkin akan nekat menikahimu. Yang penting ada restu dari salah satunya, misal hanya dari Bapak. Itu nggak masalah. Mas nggak bisa menjalani hubungan tanpa ikatan halal. Mas takut dosa kalau nggak segera dihalalkan.”
Fara menghela napas, “Iya Fara juga takut dosa.”
“Pacaran itu memang banyak mudharatnya. Mas takut nggak bisa ngendaliin diri pas berduaan sama Fara. Kayak sekarang ini. Kalau Mas nggak inget dosa, Mas mungkin udah minta dikasih muach sama Fara.”
Fara tertawa kecil.
“Mudah-mudahan Ibu luluh ya Mas untuk merestui kita. Oya semalam papa telepon katanya minggu depan papa mau ke Bandung. Papa ingin ketemu sama kamu.”
Abinaya mengangguk, “Insya Allah Mas siap ketemu sama papa Fara kapanpun.”
“Ya udah Fara turun dulu ya.” Fara bersiap membuka pintu, tapi Abinaya seketika menahannya.
“Kasih Mas muach dulu donk.”
Fara menganga, “Muach?”
“Jangan salah paham dulu. Muachnya kissbye aja, bukan real kok.”
Semburat merah menyapu wajah Fara, “Mas ini alay banget sih.” Fara memperagakan gerakan kissbye sembari mengerucutkan bibirnya.”
Abinaya memperagakan gerakan serupa. Keduanya tertawa, menertawakan kekonyolan masing-masing.
Fara memasuki pelataran kostnya dan mata Abinaya terus mengawasinya hingga sosok itu tenggelam dari balik pintu.
******
Zahira merasa lega karena telah selesai mengurus pendaftarannya di universitas pilihannya untuk melanjutkan S2nya. Universitas yang ia pilih adalah universitas yang sama dengan tempat Abinaya bekerja. Bahkan dia juga memutuskan untuk bekerja menjadi guru les di tempat bimbingan belajar. Zahira mengambil kelas pagi, sedang sorenya dia mengajar di tempat les. Dia tinggal di tempat tante dan om-nya, orangtua dari Maryam. Dengan senang hati Maryam dan keluarganya menerima Zahira tinggal bersama mereka bahkan mereka yang menawari Zahira untuk tinggal bersama mereka.
Hari ini Zahira berencana pergi ke perpustakaan umum universitas. Dia sudah memiliki kartu perpustaakaan, jadi sudah bisa memanfaatkannya untuk meminjam buku. Tadinya dia hendak pergi bersama Maryam. Sayangnya Maryam sedang ada kesibukan lain, jadi dia pergi ke perpustakaan sendiri.
Zahira memasuki gedung perpustakaan yang cukup luas. Dia menaiki tangga menuju lantai dua. Zahira mencari buku yang ia cari di mesin pencarian buku untuk mempercepat waktu. Buku yang ia inginkan masih ada delapan stok dan ada di lorong rak pertama. Entah kenapa Zahira ingin membaca buku psikologi karena ia ingin belajar mengenali karakter dirinya. Sejak jatuh cinta pada Abinaya, Zahira merasa kehilangan dirinya sendiri. Sekian lama dia tak pernah dipusingkan dengan yang namanya laki-laki, belum pernah benar-benar jatuh cinta, sekarang dia merasa aneh karena untuk pertama kali dia bisa menjadi sedemikian emosional karena seorang laki-laki.
Zahira mencari-cari buku tersebut di lorong rak. Saat tangannya hendak menyentuh satu buku, ada tangan lain yang hendak menyentuhnya juga. Zahira segera menarik mundur tangannya. Betapa terkejut dirinya saat ia melihat wajah Abinaya terpampang di hadapannya.
“Lho Zahira kamu di sini?”
Zahira hanya tersenyum datar, “Iseng aja main ke sini.”
“Kamu tertarik psikologi?” Abinaya memicingkan matanya.
Zahira mengangguk pelan, “Tapi untuk S2 aku lanjut ke manajemen kok. Aku cuma penasaran aja pingin baca buku ini.”
“Zahira ingin belajar mengenal karakter diri sendiri? Aku punya beberapa buku tentang ini di rumah. Tapi memang buku ini yang terbaik menurutku. Kalau kamu mau pinjem, aku bisa minjemin punyaku.” Abinaya berusaha untuk tetap menjalin pertemanan yang baik dengan Zahira.
“Nggak perlu Mas. Mas nggak usah baik-baikin saya.” Nada bicara Zahira terdengar sedikit ketus.
“Kenapa? Aku cuma ingin berteman baik, itu saja. Aku sadar banget hubungan keluarga kita memburuk. Aku hanya tak mau kita ikut terseret amarah orangtua kita. Aku ingin memperbaiki hubungan bapak ibu dan orangtuamu.”
“Hubungan orangtua kita baik kok. Nggak perlu dirisaukan. Justru aku pikir lebih baik kita jaga jarak saja. Anggap saja nggak kenal.”
Abinaya mengernyit, “Kok kamu ngomongnya gitu?”
“Kenapa emangnya? Keberatan? Aku juga perlu memprotek hati aku Mas. Jangan kebanyakan bikin baper cewek Mas. Nggak baik. Lebih baik nggak usah berteman. Itu yang paling baik menurutku. Dengan demikian aku bisa lupain Mas Abi secepatnya.”
Kata-kata Zahira terdengar begitu menusuk. Semakin ke sini, ia seolah semakin mengenal karakter asli Zahira yang begitu jutek. Sangat disayangkan padahal gadis ini cerdas dan memiliki potensi yang bagus. Awal mengenal Zahira, ia mengira Zahira adalah gadis yang lembut dan santun, ternyata di luar ekspektasi.
Ia melirik sneakers yang dikenakan Zahira. Dia baru menyadari gadis ini menyukai barang-barang yang lebih maskulin dibanding penampilannya. Mungkin memang pembawaan Zahira ini sudah jutek dan meledak-ledak sedari dulu. Naluri dosen psikologinya bekerja. Seperti ada sesuatu yang mempengaruhi karakternya. Di satu sisi terlihat agamis, di sisi lain seenaknya dan mencak-mencak. Memang nobody’s perfect.
“Kamu segitu marahnya sama aku ya Za? Atau jangan-jangan kamu sudah benci sama aku sekarang ini.”
“Buat apa memupuk benci Mas? Aku nggak benci. Nambah penyakit hati saja kalau aku benci sama Mas Abi. Aku punya urusan lain yang lebih penting. Mas juga punya urusan lain kan? Daripada menilaiku begini begini, urusin aja urusan Mas.”
Zahira mengambil satu buku. Abinaya melirik sarung tangan yang ia kenakan. Sebelumnya Zahira tak pernah mengenakan sarung tangan. Dia ingat saat Zahira bertabrakan dengan laki-laki di coffee shop, Zahira segera mengelap telapak tangannya dan sempat marah pada laki-laki itu. Mungkin itu cara Zahira untuk menjaga diri dari kemungkinan bersentuhan dengan laki-laki ajnabi.
“Saya permisi dulu Mas.” Zahira berlalu dari hadapannya tanpa seulaspun senyum. Entah kenapa dia justru penasaran dengan perubahan sikap Zahira terhadapnya. Namun buru-buru ia enyahkan rasa ingin tahunya. Mungkin ini memang lebih baik meski dalam hati ada rasa bersalah pada gadis itu.
Abinaya sadar benar dia juga bersalah karena tidak bersikap gentle saat menyatakan penolakan pada perjodohan mereka. Dia malah membebankan hal ini pada Zahira untuk mengatakannya lebih dulu. Seharusnya sebagai laki-laki dia mengakui secara jantan dan berani mengatakan penolakannya. Nasi sudah menjadi bubur. Dia tahu hubungan keluarganya dan keluarga Zahira tak bisa kembali hangat seperti semula meski kedua pihak sama-sama bersikap biasa.
Tiba-tiba ia mendengar sedikit keributan di tempat pemrosesan buku pinjaman. Zahira tampak berdebat dengan salah satu petugas perpustakaan. Abinaya melangkah mendekat.
“Ada apa ya?”
“Ini Pak, kartu perpus tetehnya nggak terbaca di komputer. Mungkin karena baru dibuat jadi belum bisa dipakai. Atau datanya belum diproses ya?”
“Ya udah pakai punya saya saja.” Abinaya menyerahkan kartunya.
Petugas perpus tersebut mengembalikan kartu Zahira. Zahira hanya terdiam. Seusai memroses buku pinjaman Zahira, Zahira kembali menuruni tangga, diikuti Abinaya. Bahkan Zahira belum mengucapkan terima kasih sama sekali.
“Za nanti kalau mau balikin, kasih saja bukunya ke aku, nanti aku yang balikin.”
Zahira menatap Abinaya sejenak, “Okay, makasih.” Zahira segera berbalik dan keluar dari perpustakaan. Abinaya hanya terpaku menatap kepergiannya. Abinaya tak tahu, hati Zahira sudah bergerimis sejak pertama kali melihat Abinaya di perpustakaan.
******