Setelah mereka sepakat berpura-pura, suasana di dalam villa menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Meski terlihat saling bekerja sama, Reinaldi tak bisa menghilangkan rasa aneh di hatinya—ada kekosongan yang semakin besar setiap kali ia melihat Faiza.
Di perjalanan menuju bandara, Reinaldi lebih banyak diam. Ia menyibukkan diri menatap keluar jendela, melihat deretan pepohonan yang mulai menguning tertiup angin musim gugur. Di sampingnya, Faiza sibuk dengan ponselnya, mungkin membalas pesan dari sahabatnya.
Reinaldi menarik napas dalam.
"Kenapa aku malah kesal? Bukankah aku yang bilang pernikahan ini cuma formalitas? Kenapa sekarang aku merasa… ditinggalkan?"
Setibanya di lounge bandara, mereka duduk berseberangan. Faiza membuka novel yang dibawanya, sementara Reinaldi tak bisa menahan kata-kata yang mengganjal.
“Faiza…” ucapnya perlahan.
Faiza mendongak, menutup bukunya. “Iya?”
“Aku sempat kecewa sama kamu,” ujar Reinaldi jujur, menatap matanya. “Padahal harusnya aku yang paling nggak pantas menuntut apa pun. Dari awal aku udah bilang aku nggak akan mencintaimu karena… karena aku mencintai Angel.”
Faiza terdiam, namun ekspresinya tetap tenang.
“Tapi sekarang… kamu terlalu kuat. Terlalu tenang. Terlalu jauh. Bahkan untuk pura-pura jadi istriku,” lanjut Reinaldi, suaranya pelan, nyaris getir.
Faiza menutup bukunya rapat-rapat. Ia menatap Reinaldi dalam-dalam sebelum menjawab,
“Mas kecewa karena aku tidak menuntut apa pun? Padahal bukankah dari awal itu yang Mas inginkan? Istri yang tak meminta cinta, yang hanya mendampingi sesuai kontrak? Aku cuma menjalankan peran itu.”
Reinaldi terdiam, merasa seperti ditampar oleh kata-kata Faiza. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa... kalah.
Dan dalam diamnya, Reinaldi menyadari sesuatu.
bukan Faiza yang berubah… tapi hatinya sendiri yang mulai rapuh.
Malam mulai turun saat Reinaldi dan Faiza tiba di apartemen mewah yang berada di lantai atas sebuah gedung pencakar langit. Kota Jakarta menyambut mereka dengan kerlap-kerlip lampu dan hiruk-pikuk yang terasa asing setelah beberapa hari di luar negeri.
Reinaldi terlihat sangat lelah. Jasnya hanya digantung asal di pundak, dasinya sudah dilepas sejak dari mobil. Ia tak berkata apa-apa selain gumaman pelan, “Aku ke kamar dulu.”
Ia langsung masuk ke kamar utama—ruangan luas bergaya modern minimalis dengan ranjang king size dan jendela besar menghadap langit kota. Ia merebahkan diri tanpa berganti pakaian, menutup mata sejenak, mencoba menenangkan pikiran yang masih kalut.
Sementara itu, Faiza dengan langkah ringan menuju kamar tamu. Koper ditaruh di sudut ruangan, lalu ia mengganti pakaian dengan daster rumah sederhana. Tanpa banyak bicara, ia menuju dapur. Dapur bersih dan elegan itu perlahan dipenuhi aroma tumisan bawang putih dan wangi nasi hangat.
Faiza memasak sendiri malam itu—menu sederhana: sup ayam hangat, telur dadar, dan sambal terasi buatan tangan. Ia tahu Reinaldi suka makanan rumahan meski selama ini selalu disajikan oleh asisten rumah tangga atau dipesan dari restoran mahal.
Setelah makan malam tersaji di meja makan kecil dekat balkon, Faiza berdiri sejenak, memandangi ruangan itu yang begitu megah, namun terasa hampa. Hatinya remuk, namun wajahnya tetap teduh.
Tak lama, ia mengetuk pintu kamar Reinaldi dengan pelan.
“Mas Reinaldi... makan malamnya sudah siap.”
Tak ada jawaban. Tapi ia tak menunggu. Ia kembali ke meja makan, lalu mulai menyendok sup ke mangkuknya sendiri. Makan dengan tenang dan tanpa suara.
Di balik pintu kamar, Reinaldi sebenarnya mendengar suara Faiza. Tapi entah mengapa... ia tidak punya keberanian untuk keluar.
Karena setiap kali ia melihat Faiza, ia diingatkan akan janji yang telah ia khianati sendiri.
Pintu apartemen terbuka dengan mudah, karena Reinaldi memang belum mengganti akses masuk sejak terakhir kali Angel sering berkunjung ke tempat itu. Angel melangkah masuk dengan percaya diri, mengenakan dress kasual elegan berwarna pastel dan aroma parfumnya yang khas langsung memenuhi ruangan.
Ia tidak melihat Faiza di ruang tamu—yang saat itu sedang berada di dapur mencuci piring dengan tenang, memakai celemek dan kerudung polos.
Angel melangkah ringan ke arah kamar utama, tempat di mana Reinaldi terbaring dengan mata terbuka menatap langit-langit, pikirannya masih dipenuhi tekanan dari sang ayah dan situasi pernikahan palsunya dengan Faiza.
Tanpa mengetuk, Angel membuka pintu kamar dan masuk pelan-pelan. Ia tersenyum kecil, lalu berjalan mendekat dari arah belakang.
Dan…
“Mas…” bisiknya lembut, sebelum memeluk Reinaldi dari belakang, tangannya melingkar ke d**a pria itu yang duduk di sisi ranjang.
Reinaldi tersentak, tidak menyangka. “Angel?” ucapnya kaget, langsung menoleh.
Angel mengeratkan pelukannya. “Aku kangen…” ucapnya manja.
Reinaldi terdiam. Pelukan itu seharusnya membuatnya bahagia. Bukankah ini wanita yang ia cintai sejak lama? Yang selalu ia impikan jadi pendamping hidupnya?
Namun hatinya terasa… tak utuh. Ada sesuatu yang mengganjal—terutama karena hanya beberapa meter dari kamar itu, istri sah-nya sedang mencuci piring makan malam yang baru ia tolak.
“Kenapa kamu masuk tanpa izin?” tanya Reinaldi pelan, suaranya lebih dingin dari biasanya.
Angel tersenyum kecil, mengabaikan nada bicara Reinaldi. “Kamu lupa? Dulu kamu sendiri yang bilang aku bisa datang kapan saja… Ini apartemen kita, bukan?”
Reinaldi berdiri perlahan, melepaskan pelukan itu. “Dulu, iya. Tapi sekarang aku sudah menikah, Angel.”
Angel mengerutkan alis, kecewa. “Dengan dia? Faiza? Reinaldi, kamu serius dengan semua ini?”
Reinaldi menatap Angel dalam-dalam, matanya redup.
“Aku juga nggak tahu lagi, Angel. Tapi semua sudah terjadi.”
Ia menghela napas panjang. “Dan aku nggak mau tambah rumit…”
Sementara itu, di balik dinding dapur yang sepi… Faiza mendengar semuanya. Tapi dia hanya menatap piring terakhir di tangannya. Air matanya tak jatuh. Hanya jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
Angel perlahan mendekat kembali setelah Reinaldi berdiri dan mencoba menjauh. Dengan gerakan halus namun menggoda, ia menyentuh lengan Reinaldi lalu naik ke d**a pria itu, menatap dengan mata penuh kerinduan.
“Kamu masih sayang aku, kan?” bisiknya, jemarinya kini menyentuh sisi rahang Reinaldi.
Reinaldi nyaris goyah. Sentuhan Angel menghidupkan kembali memori lama—kenangan tentang ciuman pertama mereka, tawa mereka saat bersama, dan malam-malam penuh kerinduan yang dulu mereka lewati.
Tubuhnya menegang, namun hatinya mulai rapuh. Angel kini berdiri sangat dekat. Nafas mereka bersentuhan.
Tangan Reinaldi nyaris menyentuh pinggang Angel, tapi…
Wajah Faiza melintas di benaknya.
Wajah polos gadis itu saat memberinya segelas teh tadi malam. Senyum tulusnya saat menyajikan makan malam. Tatapannya yang tidak pernah menuntut.
Ingatannya membentak: "Faiza istriku. Dia tidak bersalah. Dia tidak pernah salah."
Reinaldi langsung mundur satu langkah, menarik napas dalam.
“Cukup, Angel.” ucapnya tegas, suara berat menahan emosi.
Angel tertegun. “Rei…?”
“Aku nggak bisa,” katanya lagi, matanya menatap Angel dengan getir. “Dulu mungkin. Tapi sekarang… semua sudah berbeda.”
Ia menunduk, suaranya melemah, “Aku nggak tahu kenapa… tapi Faiza terus muncul di pikiranku. Wajahnya… tatapannya… Dia nggak pernah minta apapun, tapi aku terus ngerasa bersalah.”
Angel menatap Reinaldi dengan marah yang tersembunyi. Ia merasa ditolak—oleh pria yang dulu begitu mencintainya, pria yang rela menentang siapa pun demi dirinya.
Namun kini…
Pria itu berpaling karena seorang wanita sederhana bernama Faiza.
Angel mengepalkan tangannya diam-diam.
“Baik. Kalau itu yang kamu pilih…” ucapnya pelan namun tajam.
Reinaldi menutup matanya sejenak, lalu melangkah ke pintu.
“Aku akan bicara sama Faiza,” ucapnya lirih.
“Aku harus jujur—terutama pada diriku sendiri.”
Angel mendekat dengan perlahan, tangannya kembali menyentuh wajah Reinaldi—kali ini lebih lembut, lebih menggoda. Reinaldi terdiam, tubuhnya mematung, tapi tatapan matanya mulai goyah. Hatinya kacau, pikirannya berperang.
Angel tersenyum tipis, lalu berbisik, “Kita tahu kamu belum melupakanku.”
Reinaldi ingin mengelak, tapi tak ada kata yang keluar.
Ia hanya menatap Angel yang kini semakin mendekat, menatapnya dengan mata penuh rindu dan kenangan masa lalu yang sempat membuatnya tergila-gila.
Dan saat bibir Angel menyentuh bibirnya… Reinaldi membalas.
Mereka kembali tenggelam dalam ciuman yang penuh gairah dan kenangan.
Tapi…
Di balik matanya yang terpejam, bayangan Faiza muncul—
Gadis itu yang menatapnya dengan wajah polos, yang semalam membungkus makan malam untuknya, yang menyambutnya dengan tenang meski tahu suaminya menyimpan cinta untuk wanita lain.
Wajah Faiza mengganggu ciuman itu.
Tapi Reinaldi menepis bayangan itu dalam hati.
"Ini bukan karena aku punya rasa. Ini cuma rasa bersalah. Bukan cinta. Nggak mungkin."
Ia meyakinkan diri sendiri.
Ia menolak menerima kenyataan bahwa hati kecilnya mungkin mulai condong pada wanita yang kini menyandang status istrinya.
Angel semakin berani, tangannya melingkar ke leher Reinaldi.
Ciuman mereka makin dalam, makin terbawa emosi masa lalu…
Namun jauh di dalam d**a Reinaldi, ada yang terasa sesak.
Dan bukan karena Angel.
Tapi karena satu nama yang tak bisa ia usir dari pikirannya yaitu Faiza.
Tiba-tiba, terdengar suara jeritan Faiza dari arah dapur.
Reinaldi terkejut dan segera melepaskan diri dari pelukan Angel.
Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar kamar, dan dia terkejut melihat Faiza.
"Faiza!" panggilnya cemas.
Begitu sampai di dapur, lantai sudah basah oleh air yang memancar deras dari keran yang terlepas. Panci dan peralatan dapur berserakan, genangan air mengalir hingga hampir menyentuh ruang tengah.
Faiza berdiri terpaku, tubuhnya basah kuyup, pakaian yang ia kenakan sudah menempel di kulitnya.
Tangannya berusaha menutup saluran air, tapi sia-sia. Wajahnya terlihat kaget dan dingin.
Reinaldi langsung bertindak cepat, menunduk dan mematikan sumber air dari katup bawah wastafel. Air perlahan berhenti.
Suasana mendadak sunyi.
Faiza hanya menunduk, tubuhnya gemetar karena kedinginan. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia berjalan perlahan melewati Reinaldi dan Angel yang berdiri tak jauh di belakang.
Tidak menatap siapa pun. Tidak bertanya apa pun. Tidak mengeluh.
Ia hanya masuk ke kamar tamu dan menutup pintunya dengan tenang.
Reinaldi masih terpaku di tempatnya. Napasnya berat.
Saat ia menoleh ke belakang, Angel menatapnya dengan bingung dan agak kesal, seolah momen mereka yang panas barusan telah hancur begitu saja.
Namun, bagi Reinaldi, momen itu memang sudah hancur.
Dan yang tertinggal hanyalah bayangan wajah Faiza yang dingin, diam, dan basah kuyup dalam kesedihannya.