Angel mendengus keras, wajahnya memerah menahan amarah. “Baiklah, Rein. Kalau itu yang kamu mau,” katanya dengan nada getir. Ia meraih tas tangannya dengan gerakan kasar, lalu menatap Reinaldi sekali lagi. “Tapi ingat, kamu yang bikin aku begini. Jangan salahkan aku kalau aku pergi.” Tanpa menunggu jawaban, Angel melangkah cepat ke pintu. Suara hak tingginya berdetak keras di lantai marmer, semakin menjauh hingga akhirnya hilang bersama bunyi pintu yang dibanting keras. Reinaldi berdiri terpaku. Keheningan ruang kerjanya terasa menekan, seakan dinding-dinding itu tahu betapa kacau pikirannya. Ia menyandarkan tubuhnya ke meja, kedua telapak tangan menutup wajahnya. Bayangan Faiza kembali muncul—matanya yang terkejut, bibirnya yang bergetar menahan tangis, langkah kakinya yang tergesa ke