Faiza menutup pintu kamar dengan cepat dan menguncinya. Begitu punggungnya menyentuh permukaan pintu, tubuhnya melemas. Air mata yang sejak tadi ia tahan di pelupuk akhirnya luruh, mengalir tanpa bisa dihentikan.
Ia berjalan perlahan menuju tepi ranjang dan duduk sambil memeluk lututnya sendiri. Hatinya terasa penuh… tapi juga kosong. Perasaannya campur aduk. Marah, terluka, malu, dan... kecewa. Terutama kepada dirinya sendiri.
"Kenapa aku harus terpengaruh...?" bisiknya pelan sambil mengusap air mata, meski tak berhasil menghapus perih yang bersarang di dadanya.
Ia mencoba mengingat kembali. Seharusnya ini hanya kontrak. Seharusnya ia tetap kuat dan tak memedulikan Reinaldi. Tapi kenapa... saat mendengar ucapannya tadi, hatinya terasa seperti diiris? Dan kenapa... justru David yang mampu memberinya kenyamanan?
Faiza menggeleng, mencengkeram rambutnya frustasi.
“Aku bodoh... terlalu bodoh...”
Ia berjalan pelan ke balkon kecil yang menghadap pantai. Angin laut menyapu wajahnya, tapi tak mampu menenangkan hati yang kalut. Di kejauhan, matahari masih bersinar cerah, seolah tak peduli bahwa hatinya sedang hujan.
Faiza menatap cakrawala, berharap angin bisa membawa resahnya pergi. Tapi semakin ia mencoba melupakan, bayangan Reinaldi terus datang. Senyumnya, sorot matanya yang kadang tajam namun penuh perhatian… dan tatapan sinisnya tadi yang seperti menghina, namun terselip rasa cemburu di baliknya.
"Kalau memang kamu cemburu, kenapa kamu harus menyakitiku?" gumamnya lirih. “Kalau memang aku bukan siapa-siapa... kenapa kamu harus marah?”
Ia memejamkan mata, membiarkan air matanya kembali turun. Hatinya tak tenang. Ia merasa seperti berada di antara dua dunia, antara logika dan rasa. Antara kontrak dan kenyataan. Antara Reinaldi dan... David.
Dan yang paling menyakitkan, ia tak tahu harus memilih yang mana.
---
Malam hari tiba, suasana vila tampak hening. Di ruang makan, Angel terlihat santai menikmati makan malam bersama Reinaldi. Namun pria itu terus melirik jam tangannya, gelisah. Pikirannya tak tenang sejak sore tadi, sejak melihat Faiza pergi dengan wajah muram dan mata berkaca-kaca.
"Dia belum keluar dari kamar sejak tadi sore," gumam Reinaldi pelan, membuat Angel meliriknya heran.
"Siapa?" tanya Angel.
"Faiza," jawab Reinaldi singkat. Ia bangkit dari kursi, tak menyentuh makanannya sedikit pun. "Aku ke atas dulu."
Angel hanya menatap Reinaldi dengan tatapan penuh tanya, tapi tak menahannya.
Sesampainya di depan kamar Faiza, Reinaldi mengetuk pintu perlahan.
"Faiza?" panggilnya. Tak ada jawaban.
Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. "Faiza, kamu belum makan. Buka pintunya."
Hening. Tak ada suara dari dalam.
Jantung Reinaldi berdetak lebih cepat. Ia meraih gagang pintu dan mencoba membukanya, namun terkunci. Ia mengetuk sekali lagi, lebih keras. "Faiza! Hei, kamu denger nggak?!"
Masih tak ada jawaban.
Panik mulai menjalari dadanya. Tanpa pikir panjang, Reinaldi mendobrak pintu.
BRAK!
Pintu terbuka paksa, dan pemandangan di dalam kamar membuatnya terkejut. Faiza tergeletak di ranjang dengan wajah pucat, tubuhnya menggigil hebat meski sudah berselimut tebal. Keringat membasahi dahinya, dan bibirnya tampak kering.
"Faiza!" Reinaldi berlari menghampiri, menepuk pipi perempuan itu pelan. "Faiza, bangun! Kamu kenapa?!"
Faiza membuka mata sedikit, matanya sayu dan berkabut. "Dingin... aku dingin..."
Tanpa pikir panjang, Reinaldi langsung meraih ponselnya dan menelepon dokter vila. "Cepat ke kamar Faiza sekarang! Dia demam tinggi dan menggigil!"
Tak sampai lima menit, dokter pribadi vila datang dengan peralatan medis. Reinaldi duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Faiza yang dingin seperti es.
"Kenapa kamu bisa begini sih..." gumamnya lirih, nadanya penuh kekhawatiran. "Aku kira kamu cuma ngambek..."
Dokter memeriksa suhu tubuh Faiza dan menggeleng pelan. "Demamnya tinggi sekali, hampir 39,5°C. Kemungkinan kelelahan dan stres emosional."
Reinaldi terdiam. Ucapan dokter itu seperti tamparan baginya.
Setelah dokter menyuntikkan penurun panas dan memberikan infus, Faiza tertidur dengan napas yang mulai teratur.
Reinaldi masih duduk di sampingnya, menatap wajah Faiza yang lemah dengan perasaan campur aduk. Untuk pertama kalinya… ia merasa takut kehilangan wanita itu.
Dan mungkin… untuk pertama kalinya juga, ia menyadari bahwa dirinya telah melanggar satu perjanjian dalam kontrak pernikahan mereka:
"Tidak boleh jatuh cinta."
*****
Pagi hari datang perlahan, cahaya matahari menyusup masuk melalui celah tirai kamar. Burung-burung berkicau pelan, menciptakan suasana yang tenang dan damai.
Faiza membuka matanya perlahan. Kelopak matanya terasa berat, kepalanya masih sedikit pening. Ia mengerjap, mencoba membiasakan mata dengan cahaya.
Pandangan matanya masih buram, tapi perlahan ia melihat sesosok pria tertidur di kursi samping ranjang, dengan tubuh sedikit membungkuk dan satu tangannya menggenggam erat tangan Faiza.
Reinaldi.
Jantung Faiza berdetak pelan namun keras. Ia menoleh ke arah tangannya yang masih digenggam oleh pria itu. Jemarinya terasa hangat, bertolak belakang dengan rasa dingin yang sempat ia rasakan semalam.
Ia mencoba menarik tangannya perlahan, namun Reinaldi menggenggam lebih erat dalam tidurnya, seolah tak ingin dilepas.
Faiza menatapnya diam-diam. Wajah Reinaldi tampak lelah. Ada bayangan hitam di bawah matanya, rambutnya berantakan, dan ekspresinya dalam tidur sangat berbeda, tidak lagi dingin atau arogan. Tapi… khawatir.
“Kenapa dia di sini?” bisik Faiza dalam hati. Ia mengingat samar-samar kejadian semalam. Tubuhnya menggigil, rasa dingin yang menyiksa, suara Reinaldi yang memanggil namanya, lalu... gelap.
Tak lama kemudian, Reinaldi menggeliat pelan dan membuka mata. Ia langsung terkejut begitu melihat Faiza sudah sadar dan sedang menatapnya.
“Kamu... sudah bangun?” tanyanya cepat, suara seraknya terdengar lega.
Faiza mengangguk pelan. “Kenapa kamu di sini?”
Reinaldi menghela napas, lalu berdiri dan membetulkan duduknya. “Kamu demam tinggi semalam. Aku panik waktu kamu nggak buka pintu. Jadi aku dobrak. Dokter bilang kamu kelelahan dan stres.”
Faiza mengalihkan pandangan. “Maaf merepotkan…”
Reinaldi menggenggam kembali tangan Faiza. Kali ini dengan kesadaran penuh. “Kamu nggak merepotkan. Kamu... bikin aku takut.”
Faiza terdiam, menoleh perlahan ke arah Reinaldi. Ada getaran aneh yang muncul di dadanya mendengar suara lembut pria itu.
Reinaldi tersenyum tipis. “Kamu harus jaga diri. Aku tahu ini pernikahan kontrak. Tapi… aku tetap nggak bisa diam kalau kamu sakit begini.”
Faiza menatapnya dalam diam. Ada sesuatu di mata Reinaldi yang berbeda kali ini—lebih jujur, lebih hangat. Dan entah kenapa, itu membuat hatinya mulai goyah.
Mungkin... dia bukan satu-satunya yang mulai melanggar kontrak.
---
Sinar mentari siang menyusup hangat ke jendela kaca besar villa itu. Angel tampak menarik koper kecilnya sambil memeluk Reinaldi erat. “Maaf, sayang Aku harus balik ke kota, ada sesi pemotretan mendadak. Tapi aku bakal balik lagi begitu selesai, ya?”
Reinaldi mengangguk, mencoba tersenyum walau masih sedikit lemas. “Iya, nggak apa-apa. Hati-hati ya di jalan.”
Angel melirik sekilas ke arah Reinaldi yang berdiri tak jauh dari pintu, menyandarkan tubuhnya dengan tangan di saku. Pria itu hanya memberi anggukan kecil pada Angel. Tatapan mereka sempat saling bertemu sesaat sebelum Angel benar-benar melangkah keluar dan masuk ke mobil.
Begitu suara mesin mobil Angel menjauh, suasana villa mendadak sunyi.
Hening.
Kini, hanya ada Faiza dan Reinaldi di villa yang luas dan tenang itu.
Faiza kembali ke sofa, masih mengenakan sweater hangat. Tubuhnya sudah mulai membaik, meski belum sepenuhnya pulih. Sementara Reinaldi, tanpa berkata apa pun, masuk ke dapur. Tak lama, aroma bubur hangat memenuhi ruangan.
Ia datang dengan semangkuk bubur dan segelas air putih, lalu duduk di samping Faiza. “Makan dulu. Kamu belum makan apa-apa sejak kemarin.”
Faiza sempat ragu, tapi menerima mangkuk itu perlahan. Tangannya gemetar sedikit. Reinaldi dengan sigap mengambil alih.
“Biar aku aja.” Suaranya tegas namun lembut.
Dan Faiza hanya bisa menatap saat sendok itu mendekat ke bibirnya. Ia membuka mulut pelan, membiarkan pria itu menyuapinya.
Beberapa suapan berlalu dalam diam, tapi heningnya terasa... hangat.
“Kamu tahu nggak,” gumam Reinaldi tiba-tiba, “aku bukan tipe orang yang tahu cara merawat orang sakit. Tapi semalam... waktu lihat kamu menggigil kayak gitu, aku benar-benar takut kehilangan kamu.”
Faiza menatapnya. “Kita cuma kontrak.”
Reinaldi tersenyum miring, tapi matanya tampak jujur. “Iya. Tapi hati manusia kadang bodoh. Dia nggak ngerti kontrak.”
Faiza menunduk. Ia tahu perasaannya mulai rapuh. Namun Reinaldi... pria itu tak hanya merobek celah hatinya, tapi kini perlahan mulai masuk ke dalamnya.
Di luar, angin sore mulai bertiup, menyisakan suara dedaunan yang berbisik pelan.
Sementara di dalam villa, dua hati yang awalnya terikat oleh kontrak mulai berhadapan dengan kenyataan… bahwa mungkin, rasa itu telah tumbuh tanpa mereka sadari.
---
Malam mulai merambat, angin dari pegunungan membawa hawa sejuk yang menusuk kulit. Di ruang tengah villa yang diterangi cahaya lampu gantung kekuningan, Reinaldi dan Faiza duduk berhadapan di atas karpet tebal, sisa mangkuk bubur telah kosong di atas meja kecil.
Faiza menyandarkan tubuhnya ke sofa, tubuhnya masih lemas tapi matanya tak henti menatap lelaki itu. Reinaldi duduk bersandar di dekatnya, diam, namun sorot matanya tajam — penuh sesuatu yang belum sempat diucapkan.
Keheningan itu menggantung terlalu lama...
Sampai akhirnya, Reinaldi bergerak.
Dengan pelan namun tegas, dia mendekat, menangkup wajah Faiza dengan kedua tangannya yang besar dan hangat. Gerakannya membuat Faiza terkesiap.
“Pak Rein…” bisik Faiza pelan, dadanya mulai berdebar.
“Kita ini suami istri, Faiza,” ucap Reinaldi lirih namun dalam. “Di depan penghulu. Di hadapan keluarga. Dan aku... aku lelah terus pura-pura.”
Sebelum Faiza sempat menjawab atau menarik diri, Reinaldi menarik wajahnya lebih dekat. Dan tanpa memperhitungkan apa pun lagi… ia mencium Faiza.
Bibirnya menekan dengan paksa dan dalam. Faiza sempat menolak, tangannya mendorong d**a pria itu, tapi Reinaldi tak melepaskan. Ciuman itu terlalu tergesa, terlalu emosional, seperti meledaknya segala perasaan yang selama ini dipendam.
Faiza memukul pelan dadanya, mencoba lepas, tapi ciuman itu malah semakin dalam.
Baru setelah napasnya habis, Reinaldi tersadar dan menarik diri, napasnya terengah, begitu pula Faiza. Mata mereka saling menatap , Faiza dengan mata berkaca, dan Reinaldi dengan raut bersalah.
Faiza menyentuh bibirnya yang memerah, matanya bergetar menahan gejolak dalam d**a.
“Kamu nggak boleh… lakuin itu,” gumamnya, nyaris seperti bisikan.
“Aku tahu,” jawab Reinaldi, suaranya pelan. “Tapi aku... nggak bisa menahannya. Aku minta maaf Faiza.”
Faiza berdiri perlahan, berbalik menatap jendela, punggungnya gemetar.
“Kontrak itu... batas kita, Pak Reinaldi. Kamu yang bikin aturan itu. Kamu yang bilang ini cuma pura-pura... kenapa sekarang kamu yang melanggarnya?”
Reinaldi berdiri, tapi tak mendekat. Ia tahu dia salah. Tapi dia juga tahu... hatinya tak lagi bisa dibohongi. Entah apa yang dia rasakan saat ini pada Faiza.
---