Berusaha Menerima

1318 Words
David membawa Faiza yang masih gemetar menuju bangku taman terdekat di pinggir pantai. Wajah Faiza pucat, napasnya tersengal, dan matanya masih merah karena menahan air mata. David duduk di sampingnya, tetap menjaga jarak agar Faiza merasa aman. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut, memberikan botol air mineral yang ia ambil dari tas kecilnya. Faiza mengangguk pelan, meski jelas-jelas ia belum benar-benar tenang. Tangannya masih bergetar saat menerima botol itu. “Terima kasih… aku… aku hampir…” Suaranya tercekat. David menggeleng pelan. “Kamu nggak perlu menjelaskan apa pun sekarang. Yang penting kamu selamat.” Beberapa petugas keamanan resort akhirnya datang menghampiri, diikuti oleh manajer penginapan. Turis asing itu sudah diamankan, wajahnya babak belur akibat pukulan David. Para petugas meminta keterangan dari Faiza dan David, dan dengan perlindungan yang sigap, pihak resort segera memproses pelaporan insiden tersebut. Sementara itu, Reinaldi sedang duduk bersama Angel di salah satu restoran privat di resort itu, tanpa tahu apa yang baru saja terjadi. Angel sedang tersenyum manis, pura-pura tidak terjadi apa-apa, menikmati hidangan mahal di hadapannya. Namun, tak lama kemudian, seorang staf datang menghampiri dengan wajah serius. “Maaf, Pak Reinaldi… kami harus melaporkan sesuatu. Tadi terjadi insiden… tamu wanita yang bersama Anda—yang bernama Faiza—mengalami pelecehan oleh salah satu tamu asing. Tapi dia sudah diselamatkan oleh tamu lain bernama David.” Mata Reinaldi langsung membelalak. Ia berdiri dari kursinya, wajahnya tegang. “Apa?! Di mana Faiza sekarang?!” “Dia berada di klinik resort. Kami membawa dia ke sana karena mengalami syok.” Angel berusaha menahan Reinaldi. “Rei, kenapa harus repot? Lagipula dia pasti—” “Diam, Angel.” Suara Reinaldi rendah, namun tajam. Tatapan dinginnya menusuk. Tanpa menunggu lagi, Reinaldi berlari menuju arah klinik resort, sementara Angel hanya bisa menggigit bibir, kesal karena rencananya mempermalukan Faiza justru berbalik menjadi kekacauan. Sesampainya di klinik, Reinaldi menemukan Faiza sedang duduk di ranjang periksa, masih mengenakan hijab yang sedikit kusut. David duduk di kursi dekat pintu, mengawasinya seperti seorang penjaga. Reinaldi menatap Faiza penuh rasa bersalah. “Faiza…” Faiza menoleh perlahan. Matanya masih merah. Reinaldi mendekat, tapi David berdiri, seperti hendak melindungi Faiza lagi. “Tenang. Aku… temannya,” ujar Reinaldi cepat. David menatap tajam. “Kalau kamu temannya, kenapa dia bisa diganggu saat kamu bersama wanita lain?” Reinaldi terdiam. Kalimat David itu menamparnya lebih keras daripada pukulan fisik mana pun. “Maafkan aku… Faiza. Aku yang seharusnya melindungimu… bukan malah—” Suaranya parau. Faiza hanya menatapnya sekilas, lalu menunduk. David berkata pelan, “Kamu harus sadar, dia bukan perempuan sembarangan. Hijab di kepalanya bukan aksesori. Kalau kamu benar-benar peduli, berhenti memperlakukannya seperti orang tak penting.” Reinaldi tak bisa menjawab. Diam-diam, hatinya dihantam oleh rasa bersalah yang menggunung. Faiza hanya bisa tertawa pahit dalam hati saat mendengar Reinaldi memperkenalkan dirinya kepada David sebagai "teman." Teman? Laki-laki yang semalam menandatangani buku nikah bersamanya, yang kini terikat dalam status suami istri, malah menyebutnya sekadar teman di hadapan orang lain. Namun Faiza tidak bisa menyalahkan siapa pun. Ia sadar sejak awal, pernikahan ini hanyalah kontrak. Ia hanya pemeran pengganti—seseorang yang dipilih karena Angel tak direstui oleh keluarga Reinaldi. Hatinya memang sempat hangat ketika Reinaldi memperhatikannya saat sarapan, tapi itu mungkin cuma fatamorgana. Ia terlalu cepat berharap, dan kini ia mulai menuai luka. David menatap Faiza, seolah bisa merasakan guncangan emosi di balik senyumnya yang dipaksakan. Ia lalu berkata, "Aku ikut prihatin dengan yang tadi terjadi. Tapi kamu gadis yang kuat, aku salut." Faiza hanya mengangguk kecil. “Terima kasih, David.” Sementara itu, Reinaldi tampak risih. Ia tak menyukai cara David memandang Faiza. Namun karena Angel di sampingnya, ia memilih diam. Padahal di dalam dirinya, ada gejolak aneh—perasaan tak nyaman melihat Faiza bicara dekat dengan pria lain. Ia tak paham, kenapa bisa merasa seperti itu, padahal mereka hanya terikat kontrak. Angel yang peka, langsung menggenggam lengan Reinaldi. “Sayang, kita harus kembali ke vila. Aku mau renang bersamamu, hmm?” katanya manja. Reinaldi mengangguk pelan, tapi matanya masih melirik Faiza dari kejauhan. Ada sesuatu yang perlahan tumbuh dalam dirinya. Sesuatu yang tak ia sadari mulai sejak hari pertama ia melihat Faiza tanpa hijab itu—sederhana namun memikat. Ia mulai bertanya-tanya… apakah Faiza benar-benar hanya sekadar istri kontrak baginya? Faiza pun mulai menarik diri. Ia berjalan menyusuri bibir pantai, membiarkan ombak menyapu jejak langkahnya. Hatinya perlahan-lahan memupuk tekad: jika ini hanya sandiwara, ia akan memainkan peran sebaik mungkin, tanpa lagi berharap lebih. Namun, takdir kadang justru mempermainkan hati saat manusia mulai pasrah… "Kenapa aku harus menangis, bukankah sebelumnya aku sudah tahu, bahwa ini semua hanya pura-pura?" Batin Faiza. Dia berjalan menuju villa. Angin laut sore itu mulai bertiup lembut, menerbangkan helaian jilbab Faiza yang tampak lengket dengan air asin. Ia berdiri di tepian pantai, diam, menatap laut yang seolah menyimpan ribuan rahasia. Perasaannya campur aduk. Luka karena ucapan Reinaldi belum juga reda, sementara bayangan turis kasar tadi masih membekas. Tak jauh di belakangnya, langkah pelan terdengar mendekat. Faiza menoleh. David. "Aku tahu ini bukan urusanku," ucap David perlahan, berhenti tepat di sampingnya. "Tapi kupikir kamu butuh seseorang buat diajak bicara." Faiza menghela napas panjang. "Aku baik-baik saja." David tersenyum kecil. "Kamu nggak harus selalu baik-baik saja, Faiza." Faiza memandang David dengan tatapan lembut tapi lelah. "Aku sudah terlalu sering berharap pada hal yang salah. Sekarang, aku cuma ingin menyelesaikan semua ini dengan tenang." David mengangguk. "Kalau kamu butuh tempat aman... aku ada. Aku nggak akan menyentuh batas yang nggak seharusnya. Tapi aku bisa jaga kamu." Faiza sedikit tersentak. Kata-kata David terasa hangat, bertolak belakang dengan dinginnya sikap Reinaldi. Sementara itu, dari kejauhan, Reinaldi berdiri di balkon vila, memandangi Faiza yang bersama David. Angel sedang sibuk berswafoto, tak menyadari perubahan ekspresi Reinaldi yang mulai dihantui perasaan tak enak. “Kenapa dia bisa dekat dengan pria lain secepat itu?” gumamnya lirih, tapi matanya tidak bisa berpaling dari sosok Faiza. Angel mendekat, memeluk lengan Reinaldi dari samping. "Sayang, kamu lihat-lihat apa sih? Aku di sini loh." Reinaldi cepat-cepat mengalihkan pandangan, tersenyum paksa. "Nggak, cuma lihat pemandangan aja." Namun pikirannya sudah kacau. Faiza tak sadar bahwa dari kejauhan, hati seseorang mulai goyah. Ia hanya mencoba bertahan. Tapi mungkin, justru dalam kepura-puraan inilah perasaan-perasaan yang tulus mulai muncul. Entah dari dirinya, atau dari lelaki yang hanya menganggapnya ‘teman'. Malam itu begitu sunyi, namun tidak bagi Faiza. Di salah satu kamar resort mewah yang menghadap laut, Faiza menggulung tubuhnya dengan selimut tebal hingga hanya matanya yang terlihat. AC menderu lembut, namun hawa dingin bukanlah alasan dia membungkus diri seperti itu — melainkan karena hatinya yang terasa beku. Tablet kecil dari resep dokter baru saja ditelannya. Obat tidur. Ia tak kuat menghadapi malam ini dengan kesadaran penuh. Apalagi ketika suara samar dari kamar sebelah mulai terdengar... suara tawa Angel... disusul dengan desahan yang membuat d**a Faiza terasa diremas dari dalam. Ia menutup telinganya rapat-rapat. Tapi suara itu tetap lolos, meski pelan. Tangisnya nyaris pecah, namun ia paksa diam. Ia tidak punya hak untuk marah. Tidak boleh sakit hati. Dia hanya istri kontrak. Pemeran bayangan. Pelengkap status. “Aku kuat... aku cuma harus tidur,” bisiknya pada diri sendiri. Sebuah air mata jatuh, membasahi bantal putih resort yang wangi lavender. Sementara di kamar sebelah, Reinaldi duduk di tepi ranjang, menatap Angel yang masih berbicara sambil menggoda. Tapi pikirannya entah ke mana. Telinganya mendengar Angel, tapi bayangannya justru pada perempuan lain — perempuan yang kini terlelap dalam luka, yang seharusnya tak merasa hancur karena pria sepertinya. Reinaldi tiba-tiba berdiri. Angel mengerutkan kening. "Kenapa, sayang?" "Aku... mau ke dapur, haus," jawab Reinaldi cepat. Namun langkahnya justru mengarah ke balkon, ke tempat dia bisa melihat pantulan jendela kamar Faiza yang lampunya sudah mati. Hatinya terasa berat. “Kenapa aku malah mikirin dia sekarang...?” gumamnya, bingung. Malam itu menjadi saksi. Seorang wanita yang mencoba tidur dengan bantuan obat karena terlalu sakit untuk mendengar. Dan seorang pria, yang mulai merasa salah langkah, justru saat dia merasa telah mendapatkan apa yang dulu dia kejar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD