Faiza terperangah. Tubuhnya kaku ketika tangan Reinaldi menahan pergelangannya, menariknya ke pangkuan. Jarak mereka seketika hilang, mata bertemu mata. “Rei…” Faiza berbisik lirih, suaranya gemetar. Namun sebelum sempat ia mengelak, Reinaldi sudah menunduk. Bibirnya menempel lembut di bibir Faiza—bukan ciuman paksa seperti sebelumnya, melainkan perlahan, hati-hati, seakan takut merusak sesuatu yang rapuh. Degup jantung Faiza berpacu. Otaknya berteriak menolak, mengingat perjanjian kontrak, mengingat Angel, mengingat semua yang seharusnya membuatnya menjaga jarak. Tapi hatinya… hatinya justru berkhianat. Ia tidak bisa menyangkal hangatnya perasaan yang muncul dari ciuman itu. Reinaldi, di sisi lain, tak lagi merasa bersalah. Entah sejak kapan wajah polos Faiza, senyumnya yang sederhana