Meninggalkan Joseph di ruang berlatih, Jill masih mengenakan pakaian latihan kala menemui Dreyfus. Wanita itu melangkah dengan anggun. Dadanya tampak membusung, punggung tegak, dan dagu terangkat. Jill mengayun kaki jenjangnya menuju ruang kerja Dreyfus yang terletak cukup jauh dari tempatnya berlatih bersama Joseph.
Ruang kerja Dreyfus terlihat jauh dari tempat berlatih karena untuk menuju ke sana, perlu melewati beberapa pintu serta lorong yang bisa menyesatkan siapa saja yang belum hafal dengan markas Carnicero. Oh, dan jangan lupakan bahwa Jill harus menaiki lift untuk dapat menjangkau tempat tersebut. Bahkan Joseph sekalipun belum pernah datang ke ruang kerja Dreyfus. Hanya beberapa orang yang memiliki akses khusus yang bisa datang ke sana. Para Gladiator adalah salah satunya.
Setelah berjalan melewati jalur yang berputar-putar, Jill tiba di depan sebuah pintu besi dengan kunci digital yang ada di samping pintu. Dia harus menekan beberapa kombinasi angka untuk membuat pintu itu terbuka.
Bukan! Pintu itu bukanlah pintu ruang kerja Dreyfus. Itu hanya sebuah kamuflase sebelum Jill dapat menjangkau lorong terakhir menuju ruang kerja pemimpin Carnicero.
“Apa yang ingin dibicarakannya denganku?” gumam wanita itu setelah pintu besi terbuka.
Kaki jenjang wanita itu kembali bergerak setapak demi setapak menuju pintu berwarna silver tepat di ujung lorong yang dijaga oleh dua orang berbadan tegap.
“Dreyfus memintaku untuk datang kemari,” kata Jill pada dua penjaga yang bersiaga di samping pintu.
Salah satu penjaga membukakan pintu untuk Jill hingga wanita itu dapat memasuki ruangan terlindungi di mana pemimpin Carnicero sedang duduk di kursi kebesarannya.
“Oh, Jill!” seru Dreyfus ketika melihat salah satu Gladiatornya memasuki ruangan.
“Sepertinya ada hal penting yang ingin kau bicarakan denganku,” tebak Jill tak membalas sapaan pria berjambang itu.
Dreyfus terkekeh hingga bahunya bergerak naik dan turun. Tanpa menjauhkan punggung dari sandaran, Dreyfus memutar kursi kerjanya hingga menghadap sepenuhnya ke arah datangnya Jill.
“Duduklah!” titah Dreyfus seraya menunjuk kursi yang ada di depan meja kerjanya.
Patuh, Jill lantas menarik kursi tersebut dan duduk dengan nyaman.
“Aku melihat apa yang kau lakukan di ruang berlatih,” ujar Dreyfus setelahnya.
“Hehem,” sahut Jill. “Lalu?”
“Dan aku juga melihat bagaimana Hunter melawanmu.”
Jill tak menanggapi. Wanita itu masih terus mendengarkan dengan seksama karena dia tahu Dreyfus belum selesai bicara.
“Dengan kemampuan Hunter sekarang, apa kau akan merasa direpotkan?” tanya Dreyfus seraya menyatukan ujung-ujung jarinya yang merenggang di depan dagu.
Jill menghela napas. “Beruntung dia tampan dan cukup menggoda,” ujar Jill yang mengundang kekehan Dreyfus.
“Aku tahu kau tertarik padanya,” komentar pria berjambang itu. “Tapi kau harus ingat, jangan sampai ketertarikan itu menjadi kelemahanmu.”
“Aku tahu,” sahut Jill. “Kau tidak perlu meragukan profesionalitasku.”
“Bagus. Aku selalu suka dengan cara kerjamu, Jill,” ungkap Dreyfus jujur. Meski dia sering memberikan misi pada Jill yang mengharuskan wanita itu berkencan dengan targetnya, namun Dreyfus sangat yakin bahwa Jill adalah orang yang sangat profesional dalam bekerja.
Pria berambut hitam di atas bahu itu menghela napas panjang. Kemudian mencondongkan badan ke depan dan menumpukan siku di atas meja. Menatap lurus pada Jill.
“Aku ingin meminta pendapatmu,” ujarnya dengan mimik wajah serius.
“Katakan saja,” balas si wanita.
“Aku tahu kau sudah mendengar tentang misi kita selanjutnya. Pemerintah memberikan harga yang sangat tinggi untuk meringkus pemimpin The Demon. Kau pasti juga tahu bahwa misi ini akan sangat berbahaya.” Dreyfus menjeda ucapannya seolah sedang menunggu reaksi yang akan ditunjukkan oleh Jill. “Apakah sepadan dengan apa yang akan kita dapatkan?”
Jill meneguk saliva. Pandangannya sama sekali tak beralih dari Dreyfus, yang mana itu cukup menunjukkan bahwa dia tidak gentar sama sekali.
“Sebelum menyetujui kesepakatan itu, aku yakin kau sudah mempertimbangkannya dengan matang. Kau pasti sudah memperhitungkannya dari segala aspek, termasuk sumber daya yang kau miliki. Jadi, jika akhirnya kau sepakat dengan semua itu … kurasa tidak akan ada masalah. Semua akan jadi sepadan jika kita memiliki satu pandangan yang sama.” Jill mengucapkannya dengan tegas.
Wanita itu tidak asal bicara. Bertahun-tahun dia bekerja sama dengan Dreyfus, tentu dia sangat mengenal tabiat pria berusia akhir empat puluhan itu. Dreyfus sangat jeli dalam memperhitungkan segala risiko yang harus dihadapi, baik dan buruknya. Sehingga pertanyaan ini seharusnya tidak pernah terlontar dari mulut pemimpin Carnicero.
Terukir sebuah senyum tipis di bibir kehitaman Dreyfus. Senyum yang menunjukkan kepuasan atas jawaban yang disampaikan oleh salah satu Gladiatornya tersebut.
“Aku tahu aku bisa mengandalkanmu, Jill.” Dreyfus menarik tangan dari atas meja lalu bersandar pada kursi kebesaran sambil menyilangkan kaki. “Untuk misi kali ini aku memang akan memilihmu sebagai eksekutor. Tentu kau tahu bahwa aku akan mengikutsertakan Hunter dalam tugas ini. Jadi … aku tidak akan mengambil keputusan sendiri tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan misi kali ini. Aku ingin kau yang mengambil keputusan final. Karena kau yang akan turun ke lapangan. Termasuk tentang kesiapan Hunter dalam misi ini.”
“Dia belum siap,” seloroh Jill.
“Aku sudah melihat pertarungan kalian,” balas Dreyfus.
“Dan kau pasti sudah melihat seperti apa caranya bertarung.” Jill menatap penuh maksud pada pemimpinnya. “Dia masih memiliki empati yang cukup tinggi. Dan itu sangat berbahaya dalam misi yang akan kita ambil.”
“Dan aku juga melihatnya.” Dreyfus menyahut cepat.
“Lantas … apa yang kau ingin kulakukan?” tanya Jill kemudian.
Untuk beberapa saat, Dreyfus memandang Jill dengan mata sedikit menyipit. Meski tak mengatakan apa pun, namun isi kepalanya sedang bekerja cukup keras. Seorang pemimpin tidak akan dengan sengaja mengambil keputusan yang dia tahu akan membuat anak buahnya celaka. Begitu pula dengan Dreyfus. Ini bukan kali pertama dia membuat kesepakatan dengan pemerintah. Hanya saja … untuk kesepakatan kali ini, dia sedang mempertaruhkan sesuatu yang sangat besar. Orang yang akan dia hadapi bukanlah orang sembarangan. Jika sampai misi ini gagal, maka tidak menutup kemungkinan riwayat Carnicero akan tamat hanya sampai di sini.
“Aku mau kau melatih Hunter dengan tanganmu sendiri. Pastikan dia siap untuk misi ini,” kata Dreyfus.
Jill mengangkat dagu dengan tarikan napas panjang. Dia tahu Joseph memiliki potensi sebagai seorang petarung. Namun, untuk membangun karakter seseorang, tentu akan membutuhkan waktu. Tidak akan bisa jika dilakukan dengan tergesa-gesa.
“Kau yakin dengan hal itu?” tanya Jill meragukan perintah Dreyfus.
“Bukankah aku sudah mengatakan padamu jika aku ingin kau yang mengambil keputusan final tentang misi ini?” Dreyfus memiringkan kepala seraya mengangkat alis.
“Ya, aku tahu. Tapi ….” Wanita itu menggantung ucapannya.
“Lakukan saja. Ambil waktu yang kau butuhkan untuk melatih Hunter menjadi petarung yang andal. Aku yakin dia mampu belajar dengan cepat,” ujar pria berjambang itu.
Sorot yang terpancar dari netra satin grey wanita itu tampak menajam. Sikap Dreyfus kali ini membuatnya bertanya-tanya. Sebesar apa risiko yang akan dihadapinya ketika mengambil misi ini?
The Demon. Jill tahu kartel itu memiliki anggota yang sangat banyak. Menumpas kartel itu memang tidak akan mudah sekalipun pemerintah turun tangan sendiri. Sudah banyak yang dicurigai dan diringkus sebagai pemimpin tertinggi The Demon, namun pada akhirnya bukti-bukti yang sudah didapat harus dipatahkan dengan kenyataan bahwa mereka hanyalah tangan kanan lakon utama. Dan sekarang, ketika pemerintah sudah memilih aliansi dengan Carnicero, maka mereka sudah benar-benar putus asa dalam mengungkap siapa sebenarnya pemimpin kartel tersebut. Kini, giliran tangan-tangan hitam pemerintah yang akan mengeksekusi. Biarkan kegelapan menelusup dalam gelap dan mengisap seluruh kekuatan The Demon.
“Akan kulakukan,” putus Jill setelahnya.