NYSA. 2 TIBA DI JAKARTA

1010 Words
Nysa terperangah, begitu melihat bangunan rumah milik Tuan Hanan. Ia tiba di sana bersama Andin, sedang Tuan Hanan langsung menuju kantornya. "Persis rumah yang ada di sinetron ...." gumamnya, dengan tatapan penuh rasa kagum. Rumah di depannya terlihat sangat tinggi. "Ayo masuk." Andin menjawil lengan Nysa. Nysa mengikuti langkah Andin. Dua lembar daun pintu kokoh berwarna putih terbuka. Begitu mereka melangkah masuk, mulut Nysa terperangah. Bukan karena melihat luasnya ruang tamu, dan bagusnya perabotan yang ada. Melainkan karena banyaknya wanita yang memakai pakaian seragam tengah berdiri berjejer di hadapan mereka. Dan hanya ada satu pria yang ikut berdiri di sana. "Nysa, mereka adalah semua pegawai wanita di rumah ini. Ini Bu Yanti, beliau kepala pelayan. Dan ini Bu Kiki, beliau kepala dapur di rumah ini. Dan, ini Pak Toha, beliau kepala pegawai pria. Kalian semua, ini Nysa, dia akan menjadi nyonya kalian sebentar lagi." "Assalamualaikum, selamat siang." Nysa merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya. Ia memang orang kampung, tapi ia tahu tata krama, dan sopan santun. Ia banyak belajar dari novel yang ia baca, juga dari apa yang ia tonton di televisi. "Walaikum salam, selamat siang, Nyonya." Semua pelayan menjawab sapaan Nysa sambil sedikit membungkukkan tubuh mereka. "Bu Yanti, tolong antarkan Nysa ke kamarnya." "Baik, Bu Andin. Mari Nyonya." "Ikutlah dengan Bu Yanti." "Baik." Nysa mengikuti langkah Bu Yanti. Mereka menaiki anak tangga yang memutar. Tiba di depan sebuah kamar. Bu Yanti membuka pintu. "Silakan, Nyonya." "Jangan panggil Nyonya, Bu. Saya merasa jadi sangat tua," pinta Nysa. Bu Yanti tersenyum. "Saya memang harus memanggil Nyonya, karena Nyonya akan menjadi istri Tuan Muda saya." "Tuan muda? Tidak salah, Tuan Hanan disebut Tuan muda?" Mata Nysa melebar, mendengar Bu Yanti memanggil Tuan Hanan, Tuan muda. Bu Yanti hanya tersenyum, ia sadar sudah sedikit kelepasan bicara. "Silakan masuk, Nyonya. Semoga Nyonya betah tinggal di rumah ini." Nysa melangkah masuk, diedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Kamar yang lebih luas dari rumah kontrakan tempat tinggalnya dulu, bersama kedua orang tuanya. Dinding kamar dicat warna putih, perabot berwana coklat tua. Ada ranjang dengan kasur yang sangat besar. Ada satu set sofa, beserta televisi yang menempel di dinding. "Ini ruang wardrobe." Bu Yanti membuka sebuah pintu. Nysa melangkah masuk. "Seperti kamar artis," gumamnya. "Ini kamar mandi." Bu Yanti membuka pintu yang ada di ruangan itu. "Tuan Hanan kayanya bukan kaleng-kaleng ...." gumam Nysa saat melihat kamar mandi yang luas, dengan bathtub, di sudut kamar mandi. Di dekat jendela kaca. "Kalau mandi di sini, apa tidak terlihat orang di luar!" Nysa menatap Bu Yanti. Bu Yanti tersenyum. "Yang di dalam bisa menatap ke luar, yang di luar tidak bisa melihat ke dalam." "Ooh ... syukurlah. Pertanyaan saya bodoh ya, Bu. Tentu saja orang luar tidak bisa melihat saya mandi. Saya terlalu terpesona, ini jauh di luar bayangan saya." Nysa tertawa pelan. Bu Yanti hanya tersenyum saja. "Mari saya tunjukan teras." Bu Yanti melangkah ke luar, diikuti oleh Nysa. Bu Yanti membuka dua buah daun pintu. Nysa terperangah, sungguh semua seperti di sinetron yang pernah ia tonton. "Ooh ... luar biasa, saya merasa menjadi Nagita Slavina ...." gumam, Nysa. Bu Yanti tersenyum, ia senang dengan Nysa yang banyak bicara. "Maaf, Nyonya, saya harus kembali ke lantai bawah. Nyonya silakan istirahat. Jika perlu sesuatu, tekan saja bel di dekat kepala ranjang. Salah satu pelayan akan datang, untuk melayani Nyonya." "Terima kasih, Bu." Bu Yanti ke luar dari kamar. Nysa menutup pintu. Lalu duduk di tepi ranjang. Digoyangkan tubuhnya, lalu ia berdiri di atas kasur, dan melompat-lompat sambil tertawa ditahan. "Katro, nedeso, kampungan! Masa bodoh! Suamiku Boss cuyy! Tapi tua! Biarin tua, yang penting Sultan! Ini mimpi bukan ya?" Nysa kembali duduk, ditepuk kedua pipinya cukup kuat. "Sakit! Berarti ini bukan mimpi. Emh ... andai Bapak, dan Ibu bisa merasakan ini juga. Eh ... tapi kalau Bapak, dan Ibu masih ada, tentu aku masih berada dalam dekapan mereka. Maafkan anakmu ini, Bapak, Ibu. Ini pilihan terbaik yang aku miliki ...." Nysa terisak, ingat akan orang tuanya, dibaca doa agar orang tuanya damai di alam sana. * Nysa sempat tertidur. Setelah mandi, dan salat dzuhur, ia turun ke lantai bawah. "Nyonya sudah bangun. Nyonya ingin makan?" Tanya seorang pelayan yang mendekatinya. "Iya, aku lapar." "Silakan duduk di ruang makan, Nyonya. Biar saya siapkan makan siang untuk Nyonya." "Terima kasih." Nysa mengikuti langkah pelayan menuju ruang makan. Pelayan menarik satu kursi untuk Nysa duduki. Nysa duduk sambil mengedarkan pandangannya. Meja makan hanya dengan enam kursi saja, tidak terlalu besar, untuk ruang makan yang cukup luas. Nysa merasa sedikit cemas, kalau makanan yang dihidangkan tidak cocok dengan lidah kampungnya. Lidahnya memang sulit beradaptasi dengan makanan yang bukan selera kampung. Makan ayam goreng tepung saja ia tidak suka. Bu Kiki datang bersama pelayan yang tadi. Mereka meletakan apa yang dibawa di atas meja makan, di hadapan Nysa. "Silakan, Nyonya. Kalau ada kekurangan, tolong beritahu saya," ucap Bu Kiki dengan suara lembut. Nysa menatap hidangan yang ditata di hadapannya. Ikan nila goreng, sayur bening, dan sambal terasi. Mata Nysa berbinar, nafas lega ia hembuskan perlahan. "Boleh dihabiskan?" Mata Nysa menatap Bu Kiki. Bu Kiki tersenyum. "Silakan, Nyonya." "Terima kasih, aku lapar sekali." "Silakan menikmati, saya permisi." "Silakan." Bu Kiki pergi, namun pelayan yang tadi, berdiri tidak jauh dari Nysa. "Kamu sudah makan?" Nysa menatap pelayan yang ia perkirakan usianya tidak jauh beda dari dirinya. "Sudah, Nyonya." "Aku makan ya." "Silakan." "Kamu duduk saja, jangan berdiri saja, capek." "Tidak apa, ini sudah biasa," jawab si pelayan. 'Hmmm ... sepertinya di rumah ini, kurang memanusiakan manusia. Ini seperti di telenovela saja. Pelayan berdiri menunggui majikannya makan. Kalau majikan ingin tambah, pelayan yang mengambilkan. Ambil sendiri, apa susahnya sih. Eeh ... mereka banyak duit. Mungkin bingung duitnya untuk apa. Jadi dipakai untuk menggaji pelayan.' Nysa menyuap makanan, sambil benaknya terus menganalisa hal yang baginya perlu untuk dianalisa. Tapi, ia menghindari untuk memikirkan apa yang akan terjadi pada dirinya nanti. Nysa sudah pasrah pada apa yang akan terjadi pada dirinya. Ia merasa nyaman meski rumah ini asing baginya. Nysa bisa menilai, kalau mereka yang ia temui beberapa waktu ini adalah orang-orang yang baik. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD