NYSA. 4 CALON SUAMI

1012 Words
Nysa mengatupkan bibirnya, lalu duduk di sebelah Aryan. Tuan Hanan, dan Andin saling bertukar senyuman. Kehadiran Nysa membuat rumah Tuan Hanan jadi ramai dari biasanya. Namun suasana sarapan hanya dihiasi dengan suara denting sendok, dan garpu beradu dengan piring. Nysa merasa gelisah, ia terbiasa bicara saat makan. Berceloteh apa saja, dengan paman, dan acilnya. "Aku sudah selesai. Aku ke atas sebentar. Kamu cepat habiskan sarapanmu, jadwalku bukan cuma mencoba busana pengantin saja!" Aryan menatap Nysa, di saat Nysa juga tengah menatapnya. "Kamu mendengarkan aku?" "Iya, Pak." Kepala Nysa mengangguk. Aryan meninggalkan ruang makan. "Aku juga sudah selesai. Aku ke ruang kerjaku dulu, Andin, Nysa." "Iya, Tuan." Nysa menjawab cepat. Tuan Hanan meninggalkan ruang makan. "Bu, kenapa saya mencoba busana pengantin harus dengan Tuan Aryan, bukannya dengan Tuan Hanan?" Nysa menatap Andin yang duduk di seberangnya. Jarak mereka terhalang meja makan. "Memang begitu seharusnya." "Maksud, Ibu." Kening Nysa berkerut dalam. Andin mengambil tas dari kursi di sebelahnya. Diambil sesuatu dari dalam tas. Diletakan di atas meja selembar kertas, lalu didorong ke hadapan Nysa. Nysa membaca kertas yang diserahkan Andin. "Aryan Bakrijaya, dengan Nysa Khairunnisa. Jadi ...." Nysa menatap wajah Andin. Kepala Andin mengangguk. "Jadi aku tidak jadi punya suami tua?" Andin tertawa mendengar pertanyaan, dan ekspresi wajah Nysa. "Apa kamu senang, setelah tahu yang akan jadi suamimu bukan Mas Hanan, tapi Aryan?" Nysa terdiam sesaat, kemudian kepalanya menggeleng. "Usia tua tidak jadi masalah, kalau sikap, dan tutur katanya baik seperti Tuan Hanan. Saya yakin, beliau pasti pria yang sangat bertanggung jawab. Seperti Papi Zul." "Papi Zul itu siapa?" Andin menatap Nysa dengan rasa penasaran pada sorot matanya. Nysa tersenyum, ia membayangkan sosok Papi Zul yang nyatanya hanya tokoh fiksi belaka, dari novel yang ia baca. "Nysa!" "Oh ... maaf, Bu. Itu ... anu, Papi Zul tokoh novel yang saya baca." "Ooh ... Aryan, bagaimana menurutmu?" "Hmm ... Pak Aryan, seperti CEO pada umumnya yang ada di novel." "Bagaimana gambaran CEO di novel yang kamu baca?" "Dingin, cool, begitulah, terus galak, sok tidak butuh. Tapi, pada akhirnya, bucin, sebucin-bucinnya." Nysa tertawa pelan, ia sedang membayangkan Wahyu, tokoh cerita dalam novel yang dibacanya. Andin tersenyum mendengar ucapan Nysa. "Tugasmu, adalah membuat Aryan bucin, sebucin-bucinnya sama kamu, Nysa." Mata Nysa melebar mendengar ucapan Andin. "Kamu harus bisa membuat dia jatuh cinta padamu." "Kenapa dia harus dicarikan istri, Bu. Dengan penampilan bak artis India begitu, pasti mudah saja baginya mencari istri." "Dia duda." "Duda!?" Mata Nysa kembali melebar menatap Andin. Kepala Andin mengangguk. "Kenapa bercerai?" "Hey, kamu belum selesai juga? Cepat ganti pakaianmu, kita harus segera pergi!" Seruan Aryan membuat Nysa, dan Andin terperanjat. "Saya begini saja, ini sudah pakaian paling bagus yang saya punya." Nysa berdiri dari duduknya. Aryan menatap dari ujung kaki sampai ke puncak kepala Nysa. "Mbak Andin tidak membelikan dia pakaian? Memalukan, seorang calon pengantin keturunan Bakrijaya berpakaian seperti ini!" Aryan menunjuk ke arah Nysa dengan tatapan menghina. "Aku tidak sempat membelikan dia pakaian. Kami tergesa membawanya ke sini." "Apa masalahmu, Aryan. Bawa saja dia ke butik Karina. Biar Karina yang memilihkan pakaian untuknya." Tuan Hanan sudah berdiri di dekat mereka. "Tapi, kami harus segera ke perancang busana pengantin, tidak sempat lagi untuk mampir ke butik Karina." "Kalau begitu, ya biar Nysa begitu saja. Pakaiannya mungkin murah, tapi sopan, dan rapi." "Hah! Ya sudahlah, kita pergi sekarang. Kamu tidak membawa tas atau apa, aku tidak ingin, saat dijalan nanti kamu minta pulang, karena ada barangmu yang tertinggal di rumah." "Apa ada yang harus saya bayar? Saya tidak perlu membawa uang'kan. Saya cukup bawa ini saja." Nysa memperlihatkan ponsel yang diambil dari saku celana jeans-nya. "Ya sudah. Aku pergi dulu, Mas, Mbak Andin, Assalamualaikum." "Saya permisi, Assalamualaikum," pamit Nysa. "Waalaikum salam." Andin, dan Tuan Hanan mengiringi langkah Aryan, dan Nysa dengan tatapan mata mereka. "Bagaimana, Andin, menurutmu apa Nysa akan bisa membuat Aryan jatuh cinta?" Andin tersenyum. "Mungkin tidak mudah, tapi aku yakin, pasti bisa." "Menurutmu, apa yang akan Rosa katakan, saat tahu Aryan menikahi Nysa." "Apa yang bisa dia katakan. Dia menolak untuk memiliki keturunan, karena takut tidak cantik lagi, takut tak punya waktu untuk meneruskan karirnya, karena terlalu sibuk mengurus rumah tangga. Tentu dia harus menerima resiko dari keputusannya." "Aku berharap Rosa tidak mengganggu rumah tangga Aryan." "Yang aku harapkan, Aryan tidak lagi berharap kembali pada Rosa. Aryan masih sangat mencintai Rosa." "Andai mereka tidak punya anak, karena Rosa tidak bisa hamil, aku tidak akan ikut campur urusan rumah tangga mereka. Tapi, ini Rosa bisa hamil, tapi dia tidak ingin. Andai aku tahu sebelum mereka menikah, aku pasti tidak setuju mereka menikah." "Apa begitu penting bagimu, Aryan harus memiliki keturunan?" "Tentu saja penting. Ayahku putra tunggal. Aku tidak bisa memberikan keturunan, kamu tahu sendiri, aku mandul. Hanya Aryan harapan untuk meneruskan keturunan keluarga Bakrijaya." "Patut disyukuri, karena Aryan tidak menolak rencana pernikahannya dengan Nysa. Tapi kenapa harus Nysa?" "Seperti yang kamu katakan, menaklukan Aryan tidak mudah, dia perlu gadis berbeda dari yang biasa dia jumpai. Aku sudah menyelidiki gadis itu. Aku yakin, dia gadis yang pantang menyerah, konsisten, bertanggung jawab, juga tegas, meski masih terlihat polos, tapi dia bukan gadis bodoh." "Aku juga menilai Nysa seperti itu. Semoga, semua berjalan lancar, sesuai seperti yang kita inginkan, aamiin." "Aamiin." * Di dalam mobil menuju butik. "Pak, kaca jendelanya buka, dong!" "Tidak bisa!" "Kenapa, rusak ya, masa mobil sebagus ini jendelanya rusak?" "Bukan rusak!" "Kalau tidak rusak, kenapa tidak bisa dibuka? Bapak aneh ih!" "Bukan saya yang aneh, tapi kamu yang terlalu udik!" "Saya memang orang udik, tapi pemikiran saya bukan orang bodoh. Jangan berpikir, kalau orang kampung itu bodoh. Kami hanya berpikir dengan cara sederhana, agar masalah apapun yang kami ...." "Stop!" Aryan mengangkat satu tangannya. "Ini kota besar, banyak polusi udara. Paham maksudku!?" "Ooh ... saya pikir, tidak bisa yang Bapak katakan, karena jendelanya rusak. Yang jelas kalau bicara, Pak." "Hey! Saya lebih tua, dan lebih pintar dari kamu. Kamu cuma tamatan SMA, jangan mengajari saya yang S2 dalam bicara!" "Usia tidak menunjukan kedewasaan seseorang. Lulusan S2 kalau suka menghina seperti Bapak, dimana hebatnya. Bapak ini persis Papi Pram, suaminya Mami Hanum, pemarah. Saya sumpahin Bapak bucin sama saya nanti." "Apa!?" *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD