Mencoba Bangkit Kembali.

1828 Words
"Bugh" tubuh Alula menabrak seorang laki-laki. "Maaf, saya...tidak fokus," ucap Alula. "Kuharap kamu ... bisa lebih hati-hati nona, karena kamu sedang di tempat umum!" Suara bariton seorang laki-laki tegap dan tinggi itu terdengar. "Mmmmmaaf sekali lagi tuan."Alula menundukkan kepalanya. Laki-laki tersebut berlalu pergi tanpa menjawab. "Huhhh, angkuh banget laki-laki itu!" gumam pelan Alula. ~~~~~~~~ Keesokan harinya, Alula masih terdiam di dalam rumah, berusaha merangkai kembali pikirannya yang berantakan. Hatinya masih dipenuhi dengan perasaan bingung, kecewa, dan hancur. Meskipun begitu, ia berusaha untuk tetap tenang dan tidak terburu-buru membuat keputusan. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin ia bisa memaafkan Reinaldi, bahwa mungkin semuanya masih bisa diperbaiki jika mereka berdua berbicara dengan jujur dan saling mengerti. Namun, saat Alula sedang termenung di ruang tamu, pintu rumahnya tiba-tiba diketuk keras. Ia mengangkat kepala, merasa sedikit terkejut, karena ia tidak mengharapkan siapa pun datang pagi itu. Ketika ia membuka pintu, seorang pria berpakaian rapi berdiri di depan rumahnya, memegang amplop putih yang tampaknya sangat resmi. “Selamat pagi, Nyonya Alula,” pria itu berkata dengan suara yang tenang namun tegas. “Saya dari kantor pengacara. Ini ada surat yang harus disampaikan kepada Anda.” "Iya pak, terimakasih. " SURAT UNDANGAN SIDANG PERCERAIAN "Ya... akhirnya, aku dan Reinaldi sudah berakhir, besok adalah awal dari perpisahan kami." Alula dengan suara lirih. Sementara Reinaldi tengah menikmati kebersamaan nya dengan Yasmin. "Sayang, bagaimana kabar perceraianmu dengan...Alula?" "Besok sidang perdana." Reinaldi dengan menarik napas pelan. "Owh, baguslah, sehingga kamu ... bisa secepatnya berpisah dengannya dan kita bebas, untuk bersama." Yasmin dengan nada manja. " Tentu sayang, itu yang aku inginkan,"ujar Reinaldi. "Kita nikmati malam ini bersama, bagaimana?" "Tentu saja," jawab Yasmin dengan mengulum senyumnya. ~~~~~~~ "Aku tidak bisa terus seperti ini," Alula berkata pelan, mencoba berbicara pada dirinya sendiri. "Aku harus bisa bangkit, meski aku terluka. Aku harus melanjutkan hidupku." Dengan mata yang berkaca-kaca, Alula menatap surat perceraian itu sekali lagi, lalu memutuskan untuk menyimpannya dengan rapat-rapat, memberi waktu pada dirinya untuk berpikir. Namun, satu hal yang pasti, ia tahu ia tidak akan membiarkan ini menghancurkan dirinya lebih lama lagi. "Ternyata... pernikahan selama 3 tahun ini sungguh tak berarti apa-apa," lirih Alula. Apa yang akan Alula lakukan selanjutnya untuk melanjutkan hidupnya setelah menerima kenyataan. ~~~~~~~~ Di ruang sidang yang penuh ketegangan itu, Alula duduk tenang meski hatinya bergejolak. Orang tuanya hadir dengan harapan bisa memperbaiki pernikahan putrinya, mereka bahkan memohon pada Reinaldi agar berpikir ulang. Namun Reinaldi tetap dingin. "Reinaldi... tidak bisakah, kamu mempertimbangkan hubungan kalian?" Ayah Alula dengan sikap penuh harap namun berwibawa. "Maaf, ayah, tidaj bisa. Kami memang harus berpisah." “Maaf Pak, Bu,” katanya di depan hakim dengan suara lantang, “Alula bukan istri yang baik. Dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri dan… dia tidak bisa memberi saya keturunan.” Kalimat itu terasa seperti pedang yang menusuk d**a Alula di hadapan semua orang. Sang ayah mengepal tangannya, dan ibunya nyaris jatuh lemas karena tak menyangka menantunya akan berkata sekejam itu. "Ayah, ibu, maaf, karena kalian harus menyaksikan hal yang membuat hati kalian sakit!" Alula menggigit bibir, menahan air mata yang menggenang. Ia menatap Reinaldi, pria yang dulu dia cintai sepenuh hati, dan saat itu pula, dalam diam, ia bersumpah luka ini akan menjadi alasan ia bangkit—bukan untuk kembali, tapi untuk berdiri lebih tinggi. "Nak, kenapa kamu tidak membela diri sedikitpun," ucap lembut sang ibu. " Percuma aku membela diri, dia memiliki uang dan pengacara yang membelanya," jawab Alula. Usai sidang yang menyakitkan itu, Alula keluar dari ruang pengadilan dengan langkah lemah. Namun, kedua orang tuanya segera menghampiri dan memeluknya erat. Sang ibu menangis pelan, membelai punggung Alula dengan lembut, sementara sang ayah memegang bahu putrinya dengan tegas namun penuh kasih. “Kamu sudah cukup kuat, Nak,” ucap sang ayah. “Kamu tidak sendiri. Kami selalu di sini untukmu.” "Ayah... maaf, Alula belum bisa membuat Ayah dan ibu bahagia." batin Alula. Alula hanya mengangguk, air matanya jatuh tanpa suara. Tapi dalam pelukan orang tuanya, ia merasa lebih kuat, seolah kegagalan itu bukan akhir, tapi awal dari perjalanan baru yang akan ia jalani dengan kepala tegak. Ibunya berbisik, “Jangan lihat ke belakang, Alula. Tidak semua orang pantas mendapat maaf. Tapi kamu pantas bahagia.” Alula mengangguk pelan dengan mata nya yang sudah berkaca-kaca. Berusaha menahan air matanya. Dia menyesalkan jika orangtuanya harus menyaksikan dirinya diceraikan oleh suaminya. Sesampainya di rumah, Alula merasa tubuhnya semakin lemah. Kepalanya berdenyut, perutnya terasa mual, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia sempat mengira itu hanya efek kelelahan dan stres dari sidang perceraian yang baru saja ia jalani. Namun, rasa mual itu semakin menjadi hingga ia berlari ke kamar mandi dan muntah cukup hebat. Setelah membersihkan diri, Alula terduduk lemas di lantai kamar mandi, tangannya memegang perut. "Apa aku telat makan ya, kok perutku mual?" Alula belum menyadari apapun tentang kondisinya. Yang dia pikirkan hanya menata hidupnya kembali. " Mungkin aku hanya masuk angin saja," gumamnya. ~~~~~~~ Hari-hari pertama setelah Alula meninggalkan rumah Reinaldi terasa begitu hampa. Ia duduk termenung di sofa tua apartemennya, selimut masih membalut tubuhnya meski matahari sudah tinggi. Matanya sembab, saluran air matanya seolah tak kunjung kering. Televisi menyala begitu saja, namun tidak benar-benar ia tonton. Jemarinya hanya sesekali menggulir layar ponsel, menatap kosong unggahan dunia luar yang seakan bahagia. Tak ada semangat. Tak ada gairah. Hingga sebuah ketukan terdengar di pintu. Alula tidak langsung menjawab, namun pintu itu akhirnya terbuka perlahan. Sosok yang sangat dikenalnya masuk membawa sekotak makanan hangat dan tatapan khawatir. “Lula...” suara lembut Raisa, sahabat yang selalu ada untuknya. Melihat sahabatnya begitu lemah dan patah, Raisa tak menahan pelukan. Ia duduk di samping Alula dan langsung memeluknya erat. Alula pun akhirnya meledak kembali, tangisnya pecah dalam diam, mengguncang tubuhnya kecil yang mulai kurus. “Aku… capek, Sa… aku bodoh banget, ya?” isaknya di pelukan Raisa. Raisa menggeleng, mengelus rambut sahabatnya. “Kamu nggak bodoh, Lula. Kamu cuma terlalu tulus sama orang yang salah.” Mereka duduk berlama-lama tanpa kata. Raisa kemudian menyodorkan makanan yang ia bawa. “Kamu harus makan. Kamu butuh tenaga, bukan buat balas dendam… tapi buat bangkit. Buat buktiin kamu jauh lebih dari cukup.” Alula menatap sahabatnya, matanya masih sembab, namun ada secercah kekuatan kecil yang mulai tumbuh. Raisa tak memberinya solusi ajaib, tapi kehadirannya adalah pengingat bahwa Alula tidak sendiri. Bahwa ada orang yang masih percaya pada dirinya. “Aku bakal bantu kamu berdiri lagi, Lula. Dari sini, kita mulai lembaran baru.” Raisa menatap Alula dengan senyum penuh harap setelah berhasil membuat sahabatnya makan meski hanya beberapa suap. “Lula, aku tahu kamu belum sepenuhnya pulih, tapi ini kesempatan bagus,” katanya sambil membuka tasnya dan mengeluarkan brosur. Alula menoleh pelan, matanya masih sayu. “Apa itu?” “Perusahaan tempat aku kerja—Liora Architect—lagi adain lomba desain untuk proyek terbaru. Temanya Musim Semi. Dan kamu tahu apa yang langsung aku pikirin?” Alula hanya menatapnya. “Kamu. Kamu yang paling bisa bikin desain dengan nuansa sehangat musim semi. Kamu yang dulu selalu bilang kalau setiap ruang harus punya ‘jiwa’. Aku yakin banget kamu bisa menang, Lula.” Alula tersenyum kecil, pertama kalinya hari itu. Tapi matanya masih ragu. “Aku… aku udah lama banget nggak pegang desain. Tangan aku kaku. Aku nggak tahu masih bisa atau nggak…” Raisa menggeleng cepat. “Kamu cuma perlu satu langkah kecil untuk mulai lagi. Kamu nggak perlu mikirin hasilnya sekarang. Coba aja, untuk dirimu sendiri.” Ia menyodorkan formulir pendaftaran lomba yang bisa diisi secara online. “Anggap ini bukan lomba. Tapi jembatan. Jembatan buat kamu pulang ke dirimu sendiri.” Alula memandangi layar formulir itu, hatinya mulai bergetar. Entah mengapa, tema Musim Semi terasa pas. Seolah alam semesta pun memberi isyarat bahwa saatnya musim baru dalam hidupnya dimulai. ~~~~~~~~~~ Seorang CEO yang kini sedang duduk di kursi kebesarannya mencoba mencari para desainer berbakat yang sudah seleksi oleh timnya. "Baiklah, aku akan membuat pilihan, kurasa ini yang paling menarik," ujarnya. "Baik pak, kami akan segera menghubungi desainer tersebut," ujar Deni asisten pribadinya. Argantara memang berbeda. Di mata banyak orang, ia sosok sempurna—muda, tampan, dan cerdas memimpin perusahaan konstruksi besar dengan tangan dingin. Tapi sikapnya yang selalu tenang dan dingin membuatnya tampak sulit didekati. Tak jarang, para staff wanita berusaha menarik perhatiannya—ada yang berdandan mencolok, ada yang mencari-cari alasan untuk berbicara dengannya, bahkan ada yang secara terang-terangan mengajaknya makan siang. Namun, Arga tetap tak terusik. Ia hanya menanggapi semua dengan kalimat singkat dan ekspresi datar. Baginya, urusan pekerjaan tetaplah pekerjaan. Sikap itu pula yang membuat para staffnya menjadi segan. Namun tak sedikit para model bahkan para anak pengusaha sudah berusaha mendekati, namun Argha tetap tidak terusik. ~~~~~~~~~ Sementara di sebuah Rumah Sakit. "Tidak mungkin... tadi aku... Astaga...” bisiknya gemetar. Ia buru-buru memeriksa ulang dokumen, mencocokkan waktu pengambilan sampel dan nama pasien. Tapi semuanya mengarah pada satu kesimpulan: sampel s****a tertukar. Panik dan hampir menangis, Mita berusaha menenangkan diri. Ia tahu, prosedur inseminasi Alula telah selesai dan tak bisa dibatalkan. Kesalahan itu bisa menjadi skandal besar, menghancurkan reputasi klinik dan menghancurkan kehidupan dua orang yang tak saling mengenal. Namun, hari itu berlalu tanpa satu pun orang mengetahui kebenaran. Alula pulang dengan senyum tipis, menyimpan harapan yang selama ini hanya menjadi doa sunyi. Suaminya pulang malam hari, membawa buket bunga sebagai permintaan maaf karena tak bisa mendampingi tadi pagi. Sementara itu, Argha menerima kabar bahwa prosedur untuk ibu penggantinya ditunda. Ia hanya mengangguk datar, tak menyadari bahwa s****a yang ia sumbangkan kini telah digunakan... untuk seorang perempuan bernama Alula. Dan Mita... hanya bisa duduk di ruang loker, menatap catatan yang mencatat kesalahanmenyingkirkan"Tuhan...apa yang harus kulakukan, apalagi dia orang besar apa yang akan terjadi padaku nanti, jika dia tahu?" Sudah satu bulan berlalu sejak prosedur inseminasi, namun Alula belum merasakan perubahan apapun. Tidak ada tanda-tanda kehamilan. Harapan yang sempat tumbuh perlahan mulai pudar, apalagi di tengah rumah tangganya yang makin retak. Reinaldi, suaminya, sejak awal memang hanya setengah hati mendukung program inseminasi. Ketika hasil belum menunjukkan apa pun, ia makin menjauh. Alula tak lagi bisa mempertahankan pernikahan yang terasa sepihak. Hingga akhirnya, perceraian mereka resmi digelar dan diputuskan secara sah di pengadilan. Alula kembali sendiri, kali ini benar-benar sendiri. Sementara itu, di tempat berbeda, Argha, pria yang menjadi pemilik s****a yang salah diberikan, mulai curiga. Pihak klinik berulang kali menunda jadwal untuk prosedur pada ibu pengganti yang telah ia pilih. Ketika ia mendesak penjelasan, manajer rumah sakit hanya memberikan jawaban mengambang. Akhirnya, Argha mendatangi langsung klinik itu dan meminta bertemu dengan kepala laboratorium. “Saya ingin tahu, apakah sampel saya sudah digunakan tanpa sepengetahuan saya?” tanyanya tegas. Mereka terdiam. Wajah pucat sang perawat, Mita, muncul dari balik ruang kaca, dan akhirnya kebenaran pun terungkap. Kesalahan terjadi. Inseminasi dilakukan kepada pasien yang tidak sesuai dengan identitas pemilik s****a. Argha menatap mereka semua, matanya dingin namun penuh tekanan. “Siapa wanita itu?” Mereka mencoba menolak memberikan data pribadi, namun Argha memiliki kuasa—ia adalah investor utama di jaringan klinik tersebut. Akhirnya, sebuah nama muncul di hadapannya: Alula Azzahra. "Alula Azzahra?" gumam pelan Argha. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD