Beberapa jam kemudian, setelah Alula tenang dan diperbolehkan duduk, Argha masuk ke ruangan. Ia membawa air mineral dan sekotak makanan ringan, meskipun ia tahu mungkin Alula belum bisa makan apa-apa.
Alula menatapnya lemah, masih dalam kondisi bingung.
“Kamu yang tadi... juri?” suaranya lirih.
Argha mengangguk. Ia duduk perlahan di kursi samping ranjang. Ada jeda yang panjang sebelum ia mulai bicara.
“Aku harus jujur, Alula. Ini mungkin akan terdengar gila… tapi kamu berhak tahu kebenarannya.”
Alula mengernyit, menunggu.
Argha menghela napas. “Tiga bulan lalu, aku melakukan prosedur pengambilan s****a untuk program bayi tabung dengan ibu pengganti. Tapi—ada kesalahan. Rumah sakit… mereka keliru menamai sampel.” Ia menatap Alula, serius. “Sampel itu... diberikan padamu.”
Alula membeku.
“Apa maksudmu?”
“Bayi yang kamu kandung… bukan dari suamimu yang dulu. Tapi… dari aku.”
Alula terdiam. Wajahnya memucat. “Kamu bercanda, kan…?”
Argha menunduk. “Tidak. Aku bahkan mencarimu sejak tahu soal ini. Tapi kamu menghilang. Aku baru sadar ketika melihat namamu di daftar finalis, dan wajahmu—aku langsung yakin.”
Air mata mengalir di pipi Alula. Tangannya gemetar, memegang perutnya.
“Ini... ini tidak adil…” isaknya. “Aku menjalani semua ini sendiri. Aku kehilangan suamiku, hidupku berubah total. Dan sekarang kamu bilang, anak ini… bukan dari dia?”
“Aku minta maaf. Ini kesalahan sistem. Tapi aku tidak akan lari. Aku akan bertanggung jawab, apapun yang kamu butuhkan.”
Alula menggeleng, air matanya jatuh makin deras. Ia merasa seluruh dunianya goyah. Kebahagiaan yang baru ia rasakan, kini berubah jadi teka-teki yang menyakitkan.
---
Beberapa hari berlalu sejak percakapan mengejutkan itu. Alula masih mencoba mencerna kenyataan pahit yang datang begitu tiba-tiba. Ia belum siap membuka pintu untuk Argha, tapi ia juga menyadari bahwa hidup tak bisa berhenti di titik itu.
Ia memandangi pengumuman resmi lomba desain di akun resmi perusahaan. Seperti dugaan, ia hanya mendapat posisi ketiga. Juara satu jatuh pada seorang desainer profesional dengan karya yang memang luar biasa.
Namun, Alula tak merasa kalah. Ia mendapatkan sesuatu yang lebih penting—ia kini tahu dirinya tengah mengandung sebuah kehidupan.
Dan ia harus kuat untuk itu.
Hari itu, ia memberanikan diri kembali ke kantor perusahaan tempat lomba itu diselenggarakan. Ia mengenakan kemeja longgar dan scarf polos, menutupi perubahan kecil pada tubuhnya.
Ia bertemu dengan resepsionis, lalu berkata pelan, “Saya ingin bertemu Pak Argha. Katakan padanya… saya Alula.”
Tak butuh waktu lama, Argha muncul. Wajahnya terkejut, namun juga penuh harap.
“Alula…”
“Aku datang bukan untuk membahas anak ini,” potong Alula cepat, “Aku hanya ingin satu permintaan… Terima aku bekerja di perusahaan ini. Aku tahu mungkin aku belum sehebat juara pertama, tapi aku punya kemampuan. Aku butuh penghasilan tetap.”
Argha memandangi perempuan di hadapannya. Ia tak melihat kelemahan. Ia melihat kekuatan. Seorang calon ibu yang tak minta dikasihani, tapi ingin berdiri di atas kakinya sendiri.
Ia mengangguk pelan.
“Kamu tidak perlu memohon, Alula. Kapan pun kamu siap, kami akan menyiapkan tempat terbaik untukmu.”
“Jangan beri aku tempat karena kasihan, atau karena bayi ini,” ucap Alula dengan tegas. “Nilai aku dari karyaku.”
Argha tersenyum. “Baik. Kalau begitu, mulai Senin, kamu bisa bergabung dengan tim kreatif utama. Bukan karena belas kasihan—tapi karena aku sudah melihat potensimu dari awal.”
Alula mengangguk, menunduk sedikit.
Dalam hatinya, ia tahu hidup masih panjang. Tapi setidaknya hari ini, ia sudah membuat satu langkah baru—bukan sebagai korban, tapi sebagai pejuang.
Malam itu apartemen Yasmin tampak temaram dengan lampu-lampu redup yang menciptakan suasana romantis. Yasmin mengenakan pakaian santai namun menggoda, memutar musik lembut sambil membawa dua gelas wine. Ia mendekati Reinaldi yang duduk di sofa sambil menatap layar ponsel yang baru saja menampilkan wajah Alula dari unggahan media sosial.
"Mas, kenapa bengong?" tanya Yasmin manja, lalu duduk di pangkuan Reinaldi dan mencium pipinya dengan lembut. "Kita ‘kan akhirnya bisa seperti dulu lagi. Santai, nggak perlu sembunyi-sembunyi."
Reinaldi mengangkat wajahnya dan memaksakan senyum. “Iya… aku senang kita bisa begini lagi.”
Mereka berbincang ringan, menonton film, dan tertawa bersama. Yasmin tertawa ceria, sesekali menyandarkan kepala di bahu Reinaldi, lalu mencium bibirnya dengan lembut. Namun, di sela semua itu, pandangan Reinaldi sesekali kosong. Ia mencoba menikmati kehangatan di pelukan Yasmin, tapi pikirannya melayang pada satu sosok: Alula.
Yasmin menyadari tatapan kosong itu. “Masih mikirin dia, ya?” bisiknya, nadanya setengah kesal.
" Ck, enggaklah sayang barang yang sudah dibuang untuk apa dipungut lagi."
Reinaldi tidak menjawab. Ia hanya memeluk Yasmin lebih erat, seolah berusaha menutup luka yang sudah ia ciptakan sendiri.
°°°°°°°°°°°
"Hei... kamu yang direkomendasikan pak Argha itu kan? kamu kerjakan semu proposal ini, soalnya besok mau ada presentasi dan ingat, jangan pulang kalau belum selesai." Seorang staff senior bernama Angela memberikan tumpukan file pada Alula.
"Hufft Baiklah, semangat Alula demi bayi dalam kandungan kamu, " Alula merasakan perutnya mual namun dia menahannya.
Malam itu kantor sudah sunyi. Sebagian besar lampu telah padam, menyisakan cahaya dari ruang kerja desain tempat Alula masih sibuk menyelesaikan revisi layout. Jemarinya terus menari di atas keyboard, sesekali menghela napas saat merasa buntu.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam.
Alula mengira semua orang sudah pulang, termasuk Arga. Tapi tanpa ia sadari, dari kejauhan, seseorang memperhatikannya.
Argantara berdiri di balik sekat kaca, memperhatikan Alula yang tampak kelelahan namun tetap fokus. Ia tidak masuk, hanya berdiri di sana beberapa menit sebelum akhirnya menyandarkan punggung ke dinding, memeriksa jam tangannya, lalu berjalan pelan ke arah ruang desain.
Tok tok.
Alula menoleh, sedikit terkejut. “Pak Arga? Maaf, saya belum selesai revisinya. Saya akan kirim malam ini.”
Arga melirik layar laptop lalu menatap Alula. “Nggak apa-apa. Saya cuma mau pastikan kamu nggak sendirian di kantor. Ini sudah malam.”
Alula terdiam. Dadanya sedikit sesak mendengar kalimat itu—sederhana, tapi hangat.
“Maaf kalau merepotkan. Saya tadi nggak sadar waktu,” ucap Alula.
“Sudah pesan taksi atau ojek?” tanya Arga lagi, kali ini lebih serius.
Alula menggeleng. “Belum, saya mau pesan habis kirim file.”
Arga mengangguk pelan. “Saya tunggu sampai kamu pulang. Nggak baik perempuan sendirian malam-malam di gedung kosong.”
"Enggak usah pak, saya ... sendiri juga tidak apa-apa kok."
Alula ingin menolak, tapi sorot mata Arga terlalu tulus untuk diperdebatkan. Ia pun kembali mengetik, kini dengan perasaan campur aduk.
"Sayangnya...saya tidak menerima penolakan, bayi yang kamu kandung adalah anak saya, saya wajib menjaga kalian!"
Saat file terkirim dan laptopnya ditutup, Arga langsung berdiri dari kursi tunggu.
“Saya antar ke bawah,” katanya singkat.
Mereka berjalan berdampingan di lorong kantor yang senyap. Tak banyak bicara, namun cukup untuk membuat jantung Alula berdetak lebih cepat.
Berikut kelanjutan cerita:
---
Baru beberapa jam Alula duduk di meja barunya, bergabung bersama tim kreatif utama perusahaan Argha. Ia berusaha fokus, menunjukkan bahwa ia pantas berada di sana bukan karena belas kasihan, melainkan karena kemampuannya.
Namun, tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda yang tak bisa ia abaikan.
Perutnya tiba-tiba mual hebat. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia menggenggam ujung meja, mencoba bertahan, namun gelombang rasa ingin muntah itu terlalu kuat.
Tanpa banyak bicara, ia berdiri dan berjalan cepat ke arah kamar mandi.
Seorang rekan kerja sempat memanggil, namun Alula hanya melambaikan tangan.
Tak lama kemudian, Argha yang sedang melakukan presentasi di ruang sebelah diberi tahu oleh salah satu staf: “Pak, Alula tiba-tiba ke kamar mandi. Katanya wajahnya pucat sekali.”
Argha langsung menghentikan pembicaraannya.
Tanpa pikir panjang, ia menuju kamar mandi wanita, menunggu di luar dengan gelisah.
Beberapa menit kemudian, Alula keluar. Wajahnya pucat, matanya berkaca-kaca.
“Aku… aku mual,” gumamnya pelan. “Baru kali ini rasanya seberat ini.”
Argha langsung menyodorkan air putih yang dibawanya. “Kamu nggak apa-apa? Mau ke klinik lagi?”
Alula menggeleng, tapi ia terlihat rapuh. Tangannya refleks memegang perutnya. “Aku baru benar-benar merasa... ada kehidupan di sini.”
Kata-kata itu menghantam hati Argha.
Untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa nyata semua ini. Bahwa ini bukan sekadar tanggung jawab, bukan pula sekadar konsekuensi medis. Ini adalah nyawa—anak mereka—yang sedang tumbuh di dalam tubuh perempuan itu.
“Kalau kamu mau, aku bisa siapkan ruang istirahat untukmu di kantor. Atau kamu bisa kerja dari rumah dulu. Apa pun yang kamu butuh, aku akan siapkan.”
Alula menatapnya. Kali ini tanpa amarah, tanpa curiga. Hanya ada kelelahan, dan setitik rasa aman.
“Boleh... tapi hanya sampai aku merasa cukup kuat. Aku tak mau anak ini tumbuh dari seorang ibu yang lemah.”
Argha mengangguk. Dalam hati, ia tahu rasa hormatnya pada Alula baru saja bertambah.
~~~~~~~~
Keesokan paginya, Alula datang sedikit lebih siang dari biasanya. Wajahnya tampak letih, dan tubuhnya makin kurus. Pakaian longgar yang ia kenakan tak sepenuhnya bisa menutupi perubahan kecil di tubuhnya. Mual di pagi hari tak kunjung reda, membuat nafsu makannya turun drastis.
Melihat itu, Argha merasa tak tenang.
Ia memanggil asistennya, Deni, lalu memberi instruksi tegas, “Belikan bubur ayam hangat dan jus jeruk segar untuk Alula. Sekalian s**u almond. Pastikan semuanya steril dan sehat. Cepat.”
Deni sempat melirik ke arah ruang kerja Alula. Ia mengangguk, meski dalam hatinya ada rasa heran.
Setengah jam kemudian, Deni datang dengan kantong makanan. Ia meletakkannya di meja Alula yang sedang mengetik presentasi.
“Ini titipan dari Pak Argha,” ucapnya singkat, lalu berbalik pergi.
Dan seperti yang sudah bisa diduga, bisik-bisik segera terdengar.
“Wah, spesial banget ya. Baru masuk udah dapet perhatian bos.”
“Masa sih cuma karena dia pingsan kemarin langsung diistimewakan?”
“Cantik sih, tapi ya gitu... tahu caranya naik cepat.”
Alula menunduk. Nafasnya tertahan. Ia menatap bubur hangat itu, lalu kembali mengetik, berusaha pura-pura tak peduli. Tapi suara-suara itu seperti duri, menusuk perlahan tapi pasti.
Tak lama, Argha berjalan ke arah ruangannya. Tapi saat melewati meja Alula, ia sempat berhenti dan berkata pelan, hanya untuk didengar mereka berdua.
“Jangan pedulikan omongan orang. Yang tahu kebenarannya hanya diri kita sendiri."
Alula tak menjawab. Tapi sorot matanya berkata banyak. Ia kuat, tapi lelah. Ia tegar, tapi sunyi. Dan di tengah badai itu, ia harus tetap berdiri—demi anak dalam kandungannya, demi hidup yang ia pilih sendiri.
Bersambung...