Part 1

1249 Words
Sigap, Nadira menyelinap di balik rak. Dadanya berdesir melihat lelaki di depan. Bagaimana tidak, dua tahun lalu, lelaki itu pergi menghilang di hari pernikahan mereka. Nadira tidak ingin berpapasan denganya. Ia memilih menjauh. Saat langkahnya tergesa-gesa, tak sengaja, ia melihat Dena sedang sibuk memilih sabun. "Dena ... Apa kabar? Kemana saja kamu, dihubungi nggak pernah bisa?" Wajah Nadira semeringah menghampiri Dena, lalu memeluknya. Kerinduan pada sahabat terbaiknya itu, membuat lupa pada Lendra. Dena terkejut saat Nadira menyapa, walau gelagepan, ia membalas pelukan itu. "Nadira? Ya ampun, kok bisa ketemu di sini?" "Iya, aku sedang belanja bulanan, kamu sendirian?" Sesaat Dena terdiam, ditatapnya Nadira sendu. Senyumnya sedikit tertahan. "Nad ... Aku turut prihatin, atas kegagalan pernikahan kamu dengan ... Mas Lendra. Sungguh, aku tidak tahu kalau ... Mas Lendra senekat itu, ninggalin kamu." "Ah, santai saja, aku nggak butuh laki-laki seperti itu, bagus lah, dia pergi sebelum kami menikah, jadi aku nggak perlu jadi janda, iya, kan? Ahaha ...." Tawa Nadira terhenti seketika saat melihat Lendra yang muncul dari belakangnya, dan kini berada tepat di hadapannya. Lelaki itu merangkul pinggang Dena, saat melihat Nadira, Lendra buru-buru melepaskan rangkulannya. Dena salah tingkah. Jantung Nadira seakan berhenti berdetak. Ia sulit bernapas, tak percaya dengan apa yang dilihat. Sejak kapan mereka dekat? Apa Lendra meninggalkannya karena Dena? Oh Tuhan, sungguh sakit penghianatan ini. Jika ini benar, Nadira bersumpah akan membalas penghianatan mereka, bagaimanapun caranya. "Nad, kamu jangan salah faham, aku tidak pernah berniat merebut Mas Lendra dari kamu. Aku ...." Suara Dena tercekat di tengorokan, betapapun ia ingin menjelaskan, tapi nyatanya Lendra sudah menjadi suaminya. Lendra mematung, ia juga sama tak enak hati pada Nadira. Setelah membatalkan pernikahan mereka sepihak, Lendra tidak pernah menemui Nadira sekedar meminta maaf. Napas Nadira naik turun, mata berkaca-kaca, wajahnya merah padam. Tanpa menjawab, ia pergi meninggalkan keduanya. Nadira tergesa gesa pergi, ditinggalkannya semua belanjaan yang sudah masuk keranjang. Nadira melaju mobil dengan kecepatan tinggi. Hatinya teramat sakit, lebih sakit dari sebelumnya. Bukan karena Lendra, tapi penghianatan Dena. Bagaimana bisa wanita itu merebut calon suaminya? Ini kah balasan atas semua pengorbanannya? Apa wanita itu lupa, Nadira lah yang selalu mengerjakan tugas-tugas kuliahnya, menyelesaikan skripsi, hingga ia bisa lulus kuliah? Lalu, siapa yang menemaninya di rumah sakit saat oprasi pengangkatan rahim? Nadira, cuma gadis itu yang sabar menemani Dena. Nadira meradang, bukan karena cemburu, tapi karena penghianatan. Pantas saja, Dena menghilang tanpa kabar, ternyata wanita itu merahasiakan sesuatau darinya. Nadira tidak pernah peduli dengan lelaki sampah itu, lelaki yang telah menoreh aib di keluarganya. Tapi Dena, wanita tidak tahu balas budi itu membuatnya kalap. Sesampainya di apartemen, Nadira menghempas ke kasur, amarahnya tak kunjung reda, gadis itu bangkit lalu berwudhu, kemudian menegakkan shalat. Ia membaca ayat-ayat suci sembari terisak. Setelah mengucap salam, ia mengangkat tangannya tinggi. Mengadukan semua sakit di hati, memohon pembalasan yang setimpal untuk kedua penghianat itu. Nadira mengambil quran, lulu membacanya dengan terisak. Melepaskan semua sesak di dada, berharap sakit itu segera hilang. Nadira tidak mau berhenti, ia terus membaca dan membaca, hingga tubuhnya lelah dan tertidur di sajadah. Di sana, di supermarket, Lendra dan Dena lanjut berbelanja. Keduanya berjalan bergandengan. Hanya sesaat, mereka sudah bisa melupakan ekspresi Nadira. Bagi mereka, Nadira hanya butuh waktu untuk mengobati luka hatinya. *** Pagi ini, mentari bersinar terang. Semburat kemilau cahaya terpantul dari kaca jendela. Nadira terbangun dari tidurnya, matanya terbelalak melihat jam dinding. Pukul tujuh pagi, jam delapan dia sudah harus berada di kantor klien. Nadira kocar kacir, ini meeting pertama bersama klien kelas kakap itu, apa jadinya jika dia terlambat. Bukan hanya mendapat teguran dari klien, tapi juga pasti dapat peringatan dari kantornya. Nadira mandi ala kadarnya, lalu melaksanakan salat subuh mirip patuk ayam, tergesa-gesa. Busana yang dipakainya standart saja, rok batik panjang dan kebaya putih serta jilbab putih. Ia memesan ojek online, agar sampai lebih cepat. Kosmetik dipakai di dalam lift dan disambung saat menunggu ojek. Tak lama kemudian, ojek online pesanannya datang, lalu membawa Nadira melesat menembus macetnya ibu kota. Tepat pukul delapan, Nadira sampai di kantor klien. Setengah berlari ia menuju lift. Sesampainya di lantai sepuluh, Nadira mempercepat langkahnya. Ia tergopoh-gopoh membawa laptop dan tas yang berisi berkas-berkas, belum lagi tas tangannya. Setelah menunjukkan kartu identitas diri, Nadira dipersilakan masuk. Semua mata teruju padanya. Dialah yang mereka tunggu, konsultan hukum untuk proyek raksasa yang akan mereka bangun. "Maaf saya terlambat," ujar Nadira pasrah. Tak ada jawaban, kecuali tatapan aneh yang ia rasakan. Hanya dia satu-satunya perempuan di ruangan itu. Tanpa banyak bicara gadis itu menunduk lalu memberi hormat kemudian duduk di kursi yang telah tersedia. Ia tidak berani menatap satu-persatu peserta meeting di ruangan itu. Andai dia tahu ada sepasang mata yang menatapnya tajam, mungkin mentalnya akan semakin jatuh. Lendra duduk tepat di depannya. Memandangnya dengan tatapan gusar. Bagaimana bisa, Gadis itu menjadi konsultan hukum yang akan mendampinginya? Lendra menciut. Dulu, ia meninggalkan Nadira karena sorot mata itu, mata yang selalu tajam, kokoh bagai batu karang. Ia merasa mandul saat berhadapan dengan Nadira. Gadis perkasa, seolah tak gentar dengan apapun. Siapa pun akan kagum pada gadis itu, tegas, terpancar dari sorot matanya, dan itu mbuat Lendra ragu menjadi imam untuknya. Ada rasa kurang nyaman saat membayangkan hari-hari ke depan yang akan dilewatinya bersama Nadira, calon pengantin wanita yang dulu ditinggal kabur olehnya. Bryan sebagai CEO perusahaan, mengenalkan Nadira pada anak buahnya, sekaligus menjelaskan apa apa saja hak dan kewajibannya. Bryan sedikit tidak suka pada Nadira, terlihat dari tatapan dan nada bicaranya. Siapa dia, berani terlambat untuk acara sepenting ini. Poin Nadira berkurang, kesan pertama yang harusnya di manfaatkan dengan baik, semua berantakan karena tidur kemalaman. Andai saja dia tidak meratapi nasibnya yang dihianati oleh Dena, mungkin pagi ini ia tidak perlu terlambat. Seperti biasa, Nadira cepat menguasai situasi. Ia konsentrasi penuh menyimak dan mencatat apa saja yang berhubungan dengan tugas-tugasnya kedepan. Jantungnya hampir berhenti berdetak, saat Bryan menyebut satu nama yang akan menjadi mitra kerjanya, Lendra. Matanya membulat melihat lelaki yang duduk didepannya. Oh, Tuhan, apa dia tak salah lihat? Lelaki sampah itu yang harus dia dampingi? Lendra berusaha tenang, menyembunyikan gusar, saat mata Nadira membulat menatapnya. "Nona Nadira, selesai meeting dengan Pak Lendra, tolong ke ruangan saya." ujar Bryan tegas. "Baik, Pak." jawab Nadira cepat. Ia tak peduli nada bicara Bryan. Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali berusaha memperbaiki citranya yang rusak di hari pertama. Setelah mendengar jawaban Nadira, Bryan merapikan catatannya, kemudian pergi. Satu persatu peserta meeting meninggalkan ruangan, tinggalah Lendra dan Nadira. Mereka masih harus melanjutkan meeting, membahas permasalahan yang di hadapi sebagai pimpinan proyek. Hening, tidak ada yang mulai bicara. Nadira tak suka situasi ini, membuang waktu! Dia tidak ingin citranya semakin jelek di hadapan Bryan. Nadira memasang wajah serius, dingin tanpa ekspresi. "Maaf, Pak Lendra, ada, yang ingin anda konsultasikan?" Lendra gelagapan, mata macan betina itu, seolah siap merobek hatinya. Lendra membongkar berkasnya, tapi konsentrasinya buyar, pertanyaan yang sudah ditulis dalam sebuah catatan, hilang entah kemana. Keringat jagung merembes melalui pori pori di kening. Ruangan yang begitu dingin, tak mampu menghilangkan gerah di tubuh lelaki itu. "Eee .... Saat ini belum ada, mungkin besok atau nanti jika ada masalah, saya akan konsultasikan pada ...." Lendra menghentikan kalimatnya, ia tidak tahu harus panggil apa, Anda? Ah, tidak, dia tidak suka sapaan itu, Kamu? Hem, sepertinya dia sungkan, malu pada diri sendiri. Bayangan dirinya loncat dari jendela melarikan diri di hari itu, membuatnya tak sanggup sok akrab pada Nadira. "Oke, kapan pun Anda butuh bantuan, silakan hubungi saya, ini kartu nama saya." Nadira merapikan barang barangnya, setelah menyerahkan kartu nama pada Lendra, ia beranjak pergi. Lendra ternganga, sikap Nadira biasa saja, seolah tak pernah terjadi sesuatu pada meraka. Atau tepatnya, seolah mereka tidak saling kenal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD