"Jadi?" Karina mondar mandir ke depan dan belakang mengerutkan dahinya, tangan di pinggang, sementara dia melirik Salma. "Lo nolak Danu?"
Salma menoleh. "Yes! Bagi gue udah cukup pembahasan ini."
"Why?" Karina memanjangkan kata itu dengan frustasi.
"Lo tau jawabannya, Rin."
"Duda itu lagi?"
Jam istirahat telah menunggu mereka, jadi Salma segera menyambar kotak makanan kiriman kantin. Hari ini menu favoritnya; semur ayam. Dia bergegas ke kantin dengan Karina yang menggerutu di belakang.
"Liat deh, Sal." Karina menunjukkan ponsel begitu mereka duduk, layar benda itu menunjukkan sebuah artikel.
Salma menyingkirkan benda itu dari wajahnya.
Apa itu?
Sekilas Salma membaca tulisan, 'Beberapa Kerugian Mencintai Seorang Duda.'
Sifat keras kepala Karina memang menyusahkan. Adakalanya dia harus lepas dari urusan orang lain. Apalagi Salma paling tidak suka didikte seperti ini.
"Nyerah deh, Rin. Gue udah cinta mati ke Raga."
"Dia duda!"
"So?" Salma menatapnya. "Gue pikir lo bilang, nggak masalah sama duda."
"Nggak masalah, Sal," kata Karina. "Gue cuma khawatir. Ada banyak cowok di dunia ini, mereka pasti nerima lo dengan baik. Tapi duda itu—"
"Raga!"
"Whatever si duda Raga itu, dia jelas-jelas nolak lo. Dulunya dia pernah berumahtangga dan gagal, gimana kalau kalian nantinya membina rumah tangga dan kejadian itu terulang?"
"Itu masalah mereka, Rin. Manusia pasti belajar dari kesalahan. Nggak mungkin gagal berulang kali."
Di atas kursi berkapasitas dua orang, Karina menggeser b****g, berbisik pelan ke telinga Salma. "Duda itu bekas orang, Sal."
Bahu Karina didorong. "Apa pun yang lo bilang, perasaan gue nggak berubah."
Tidak ada jawaban dari Karina, tapi Salma tak bisa tenang barang sedetik. Dia yakin dengan kekhawatirannya saat Karina memperlihatkan layar ponselnya lagi, kali ini dengan artikel dengan judul lain;
Sebelum Menikah dengan Duda, Perhatikan Beberapa Hal Ini.
Salma cemberut.
"Baca ini."
Alih-alih menolak lagi, tangan Salma bergerak sendiri membaca beberapa point yang dijabarkan artikel tersebut. Melipat bibir. Salah satu point begitu dihayati dan cocok dengan yang harus hatinya lakukan.
Selama ini yang diketahui Salma, Raga belum benar-benar duda. Pertemuannya dengan Nindi tempo lalu—yang merupakan mantan istri atau mungkin masih menjadi istri—belum jelas terkuak. Raga tidak memberi clue apa pun meskipun pernah berkata bahwa mereka telah cerai. Tapi bagaimana mungkin mereka bercerai tapi masih tinggal di satu atap yang sama?
Oh. Gara-gara itu akhirnya Salma punya ide, sesuai point pada artikel tersebut;
Selidiki Latarbelakang Calonmu.
Itulah yang membawa Salma kembali ke rumah ini. Rumah Raga yang besar tempo lalu. Waktu itu Salma mengingat alamatnya secara singkat berharap bisa berguna di lain kesempatan, dan dia bersyukur kesempatan itu ada.
Saat berusaha masuk, ternyata gerbang terkunci dari luar. Harapan Salma membumbung tinggi. Jika Nindi masih istrinya bukan tak mungkin cewek itu akan menempati tempat ini, tapi kalau terkunci begini ... mungkinkah?
Tidak.
Salma tidak boleh lengah, kebetulan itu tidak ada.
Dia menoleh ke sekitar, keadaan sepi, dia memanjat pagar dengan lincah dan lompat ke dalam. Kakinya ngilu sedikit diabaikannya. Dia bergegas menuju pintu ganda. Seperti yang diduganya, gerbang terkunci dan tidak ada orang di dalam. Pintu juga terkunci rapat. Melirik ke jendela pun percuma. Seandainya Raga begitu ceroboh untuk meninggalkan kuncinya di selipan yang gampang dilihat.
Saat itu Salma tersenyum miring, dia melihat keset dan menariknya. Senyumnya langsung hilang secepat kilat. Kunci itu tidak ada. Ternyata Raga tidak ceroboh.
"Hm, apa gue kudu masuk a la pencuri kelas kakap di film-film? Pake jepit rambut?"
Salma melepas jepit lidinya dan menggunakannya di sela lubang kunci; tidak terjadi apa pun.
"Film-film ternyata hoax."
Tubuh Salma ambruk di lantai, tak sengaja menyenggol pot bunga kecil yang terbuat dari tanah liat. Benda itu jatuh tapi tidak pecah. Tanahnya berhamburan ke luar. Duri batang bunga Euphorbia itu menggores tangannya. Salma cemberut.
Tapi, ada sesuatu yang mengilat di tempat pot itu awalnya berada.
"Kunci!" Salma mengambil benda mini stainless itu. Bersorak girang. "Jangan seneng dulu. Ayo, kita coba."
Dan ternyata berhasil.
Salma menerobos masuk dengan jantung yang berdegup dengan gila. Gigih adalah nama tengahnya. Siapa pun yang tidak menyerah untuk meraih sesuatu pasti akan berhasil di kemudian waktu. Itu soal timing tepat dari Tuhan. Nampaknya, Tuhan setuju dia berjodoh dengan Raga.
Terima kasih, Tuhan.
Saat masuk ke rumah sepi itu, memang tidak ada yang diharapkan Salma selain informasi. Tapi ternyata kondisi rumah itu benar-benar memprihatinkan—sampah yang Salma lihat tempo lalu seperti tak bergerak dari tempatnya. Tidak hanya itu; perabot bahkan beberapa benda kecil berserakan seperti diterbangkan oleh makhluk tak kasat mata. Tunggu? Apa?
Salma langsung membuka gorden, membuat sinar segera menyeruak masuk.
Siang hari tidak ada hantu, kan?
Salma bersemangat seperti biasa. Tas jinjing dan segala sesuatu yang memberatkan pergerakkannya disingkirkan. Singsing lengan baju. Dia mulai memunguti sampah untuk langsung dikumpulkan pada karung yang dia temukan di belakang. Pekerjaan itu memakan waktu selamanya, rasanya tidak ada habisnya, sampai hampir sore.
Keringat Salma menetes dari dahi ke pipinya. Selesai sudah.
"Gini kali ya bujang kalau tinggal di kost sendirian," gerutu Salma.
Pintu terbuka di belakangnya. Salma berhenti bernapas, menoleh patah-patah.
Di sana, Raga muncul. Mata menatapnya berkedip, tidak ada tanda-tanda shock. Lebih seperti hal ini sudah diprediksinya jauh hari.
Omong-omong, rumah itu kinclong seperti baru.
"Kenapa lo masuk di rumah orang sembarangan?"
Dan, oh, Salma lupa dia bahkan tidak mendapat informasi apa pun yang menjadi tujuan awal.
"Jadi babu beres-beres." Salma berusaha berkelakar.
Tapi wajah Raga tetap serata kertas. Ini salah. Salma sepertinya melakukan hal yang salah.
"Udah?" tanya Raga tanpa intonasi.
Salma mengangguk kaku.
"Kalau udah, lo boleh pergi."
Dahi Salma mengerut dalam-dalam, sifat Raga sekarang memang menyebalkan, tapi dia tidak menyangka bakal seapatis ini. Salma semata-mata menjawab dengan mengangkat alis.
"Tunggu apa lagi?" Raga menegurnya. "Oh, makasih udah beres-beres."
"Sama-sama."
Eh, bukan—
"Ini nggak gratis!"
Raga tak menanggapinya secara langsung. Dia duduk di kursi terdekat sambil melonggarkan kancing kerah yang mencekik, ada setitik keringat di sana. Hari ini benar-benar melelahkan karena pekerjaannya bercampur aduk dengan banyak masalah.
"Lo mau dibayar berapa?" sahut Raga.
Serta merta Salma menyelinap duduk di sebelah Raga, memberinya tatapan rumit, tak menemukan jawaban dari apa yang ditanyakan Raga. Kalimat itu cuma keluar begitu saja dari mulutnya—hanya dengan maksud agar percakapan mereka tidak putus seperti yang sudah-sudah.
Lalu dia bersedekap. "Khusus buat lo gratis. Rumah lo berantakan jadi gue terpaksa beresin. Lagian emangnya lo ini bujang anak kost ya? Kenapa ada banyak sampah di rumah ini?"
"Lo emang jiwa maling."
"Hah?"
"Waktu itu lo ngintai rumah nyokap gue, sekarang lo berani masuk ke sini tanpa izin juga."
Salma gelagapan. Lupa tujuan awal. "Ya, itu kan ... gue nemu kuncinya di bawah pot. Makanya jangan taro kunci di situ! Untung aja cuma gue yang masuk."
"Cuma lo?" Raga menegaskan. "Mana tau kalau lo maling atau bukan? Coba gue cek barang-barang gue dulu."
Raga bergegas pada bufet rumahnya sambil dibuka satu-satu. Mulutnya komat kamit mengabsen barang-barangnya. Salma mendengus kesal dengan kelakuan cowok itu lalu mendekat dan menjambaknya.
"Gue bukan maling, Ragaaa!"
Raga kesakitan sehingga badannya membungkuk dan mengikuti tangan kecil Salma. "Sakit, Sal. Lepas!"
Kesiap, Salma melepaskan tangannya dan terdiam canggung. Raga menghela napas.
"Gue tau lo itu cewek yang nekat, tapi jangan maling sembarangan di rumah gue."
Kemarahan Salma kembali. "Gue bukan—"
Raga memotong cepat-cepat. "Iya, bukan. Rontok rambut gue gara-gara lo."
Beberapa helai rambut di tangan Raga membuat Salma merasa bersalah. Situasi seperti ini pasti tidak akan menguntungkannya di kemudian hari. Dia sudah membuat Raga marah. Tapi, Raga yang dulu tidak akan marah dengan hal seperti ini. Kalau bukan demi egonya untuk mendapatkan Raga, Salma tidak mungkin lepas kendali; sampai harus sesibuk ini menyelidiki rumah Raga seperti maling. Dia hanya ingin tahu satu hal.
"Maaf ya."
Salma menunduk menyesal.
Raga melayangkan pandang ke cewek kurus kecil yang berdiri tak jauh darinya untuk melihat ekspresi apa yang tengah diperlihatkan, tapi Raga tidak bisa melihat wajahnya.
"Kenapa lo masuk ke rumah gue?" tanyanya sambil duduk kembali ke sofa. "Apa yang lo cari?"
Kepalanya terasa berat untuk mendongan seolah-olah dia sedang dipaku, jadi Salma hanya menunggu sampai canggungnya hilang.
Selalu seperti ini berhadapan dengan Raga yang sekarang.
Gugup dan takut.
"Duduk sini deket gue," suruh Raga. Salma mendekat dengan menyeret kaki, tidak mendongak.
Sofa itu terasa seperti tumpukan bara panas di b****g Salma, membuatnya tak nyaman.
"Kenapa lo masuk rumah gue diem-diem?"
Salma terbata. "Gue ... maaf."
Raga sengaja terdiam untuk mendengarkan lanjutan kalimat Salma. Dia melipat lengan kemejanya sebatas siku, meraih remot meninggikan volume AC ruangan itu. Tercium bau karbol varian apel di penjuru rumah. Lantai di pijakannya sudah mengilat.
Jadi ini semua kelakuan Salma?
Karena Salma tak juga bersuara, Raga bertanya, "Lo mau nggak jadi pembantu gue?"
"Mau! Mau banget! Nggak masalah kalau lo duda! Gue terima lo apa adanya, Ga!"
Raga terbegong dengan jawaban super cepat dan lantang dan mantap itu. Serius kalimat itu keluar dari mulut Salma? Yeah. Ini Salma—itu pasti bukan salah dengar.
Raga tertawa geli untuk pertama kalinya. "Ya udah, mulai sekarang lo pembantu gue."
Senyum hampir melengkung di bibir Salma saat dia sadar. "Pembantu?"
Raga mengangguk.
"Kok pembantu?"
"Memangnya apa?"
Raga tahu kalau Salma salah dengar. Suara hati dan suara asing dari luar mungkin bercampur aduk membuatnya bingung.
Salma mengendur. "Kirain lo mau jadi suami gue."
Kali ini Raga benar-benar tertawa lepas. "Lo nggak pernah berubah. Nggak tau malu."
Keduanya terdiam. Raga menatap plafon putih rumahnya yang tergantung lampu hias cantik yang dibelinya ketika sedang memilih perabotan baru. Lampu itu punya banyak kelopak keramik yang diisi bohlam kecil dengan warna lampu yang redup. Karena Raga sangat menyukainya, dia membelinya tanpa pikir panjang. Kalau dipikir-pikir rumah ini adalah satu-satunya hasil kerja keras yang dimulainya dari nol. Rumah yang akan dia persembahkan pada istrinya.
Akan tetapi, Raga sengaja menutup eksistensi rumah ini dari orang lain, kenapa dia membawa Salma ke sini?
"Inget nggak, dulu lo pernah nembak gue di depan rumah lo waktu gue nganterin buku PR Olahraga?" Mata Raga menerawang jauh, mengingat-ingat. "Lo juga sesemangat ini."
Masa itu tak ingin diingat Salma. Pada saat itu dia meminta Raga menjadi pacarnya hanya untuk membuat pacarnya cemburu.
"Tapi, Sal, lo itu udah dewasa, jangan ngelakuin hal kayak gini lagi. Cewek itu harus punya harga diri supaya nantinya ada cowok yang bakal ngehargain lo dengan baik."
Salma menggeleng. Raga yang begini kenapa seperti Raga yang dulu; suka ceramah dan sangat cerewet.
Tanpa sadar Salma memegang tangan Raga. "Gue serius, Ga." Kali ini matanya berkaca-kaca. "Kali ini serius."
Raga tidak bisa berkata apa-apa.
Tangannya ditarik secara perlahan tanpa bermaksud menyakiti. Dan Salma tahu dia ditolak. Mentah-mentah. Raga bahkan tidak memberikan sedikit pun kesempatan bahwa Salma memang serius dengan kata-katanya.
"Emang lo mau sama duda?" Raga bertanya dengan enteng seakan-akan itu pertanyaan yang normal.
Mulut Salma tak bisa menjawab. Padahal pertanyaannya segampang itu.
Raga tertawa kering. "Pikirin lagi, Sal. Nikah sama duda nggak semudah bayangan lo."
Salma masih bersikeras membuka mulutnya. Dia hendak menjawab (dia suka Raga apa adanya, bukan dengan maksud tertentu dan melihat status) ketika sesuatu terbetik di benaknya. Dia terdiam untuk membiarkan otaknya berpikir sebelum menjawab.
Raga tidak akan mendengarkan kalimat apa pun. Dia menulikan telinga.
Pasti yang dipikirkannya hanya; apa yang akan dikatakan orang tentangnya tidak seharusnya dia percayai. Raga telah lama kehilangan rasa kepercayaan pada siapa pun. Apalagi kalau Salma mengutarakan semuanya sekarang. Tentang keseriusan. Tentang urgensinya. Ini cuma akan membuat Raga makin menjauh. Harus diingat baik-baik bahwa Salma pernah menyakitinya beberapa tahun silam. Mungkinkah Raga dendam?
Tapi akhirnya, Salma kalah dengan rasa cintanya. "Gue serius," katanya. "Apa lo mau jadi suami gue?"
Lagi-lagi Raga terbengong. Akhirnya tak bisa menahan diri untuk terkikik. "Jadi pembantu gue aja gimana?"
Tbc ....