1. AWAL MULA KEHANCURAN
Suara rintik hujan mulai reda setelah turun begitu derasnya pada malam yang dingin. Akan tetapi, berbanding terbalik dengan suasana di sebuah rumah yang hanya ditinggali oleh anak dan ibunya. Keadaan tegang, terdengar isak tangis yang tidak terbendung berbalut kekecewaan dan kemarahan.
Rhaellia Joseph tengah berlutut dengan wajah tertunduk di hadapan ibunya – Sarika. Wanita yang sudah menginjak usia 40an tahun itu menatap nanar putrinya yang sudah membuatnya kecewa. Kondisi Sarika kurus dengan cekungan mata yang terlihat jelas. Tubuhnya lemah namun harus menopang beban dan kekecewaan yang sangat berat di waktu yang bersamaan.
“Bagiaman bisa kamu melakukan ini kepada ibu dan kakak kamu, Rhae. Apa dosa kami sampai kamu tega membuat ibu dan Rhaharnia sekecewa ini?”
Tangis Rhae semakin tidak terbendung, tubuhnya gemetar bahkan untuk mengangkat wajah tidak sanggup. Rhae terlalu takut melihat bagaimana luka yang ia torehkan kepada ibunya.
“Jadi, siapa yang menghamili kamu?”
Rhae menggigit bibirnya, mencoba untuk tetap diam. Ia tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya kepada ibunya yang sudah nampak tidak memiliki tenaga karena sakit yang mendera.
“Jawab Rhae! Siapa yang menghamili kamu padahal kamu belum menikah?”
Suara meninggi Sarika membuat Rhae terkejut dan semakin panik. Ia pun memberanikan diri mengangkat wajahnya yang sudah basah karena air mata. Melihat bagaimana terluka ibunya, hati Rhae semakin sakit.
Sarika mengangkat alat tes kehamilan yang tidak sengaja ditemukan di dalam kamar Rhae saat akan membawakan makanan kepada anaknya. Rhae mengalami sakit beberapa hari tapi Sarika tidak menyangka dengan apa yang ia lihat di sana.
“Jangan bohong, nak. Bukti ini sudah jelas kalau kamu hamil. Apalagi kamu sudah sakit beberapa hari tanpa tahu kapan sembuhnya. Ibu sudah pernah mengandung dua kali, ibu tidak bisa lagi kamu bohongi.”
“Aku …aku hamil anak dari Mas Kael, Bu,” ucap Rhae dengan suara bergetar. Ia langsung bersujud di kaki ibunya setelah melakukan pengakuan. “Aku minta maaf, Bu. Tolong ampuni aku,” lanjutnya sambil terisak.
Sarika terhenyak mendengar pengakuan putrinya. Matanya menatap kosong dengan tubuh yang semakin lemas. Alat tes kehamilan yang dipegang jatuh ke lantai saking terkejutnya mengetahui anaknya melakun dua kesalahan yang sangat fatal.
“Bu, tolong maafin aku, Bu. Aku tahu aku salah tapi semua ini benar-benar di luar keinginanku,” ucap Rhae lagi.
“Di luar keinginan? Bagaimana bisa kamu ngomong begitu disaat kamu sudah mengandung anak dari laki-laki yang sangat mencintai kakakmu?”
“Bu …”
“Bahkan belum kering air mata Ibu karena kepergian Rhaharnia tapi kamu justru tidur dengan Kael. Apa kalian memang sudah berhubungan jauh sebelum meninggalnya kakak kamu?” tanya Sarika dengan air mata terus mengalir.
Rhae menggeleng. “Bu, aku sama Mas Kael sama sekali tidak punya hubungan. Aku sama sekali nggak ada perasaan sama dia. Aku Cuma …”
“Cuma apa?”
“Ini semua hanya kesalahan semalam,” gumamnya dengan wajah kembali tertunduk
“Apa maksud kamu?” tanya Sarika dengan suara meninggi namun justru wanita itu jadi semakin lelah. “Jangan bertele-tele. Ibu sudah tidak sanggup mendengar semua ini, Rhae.”
***
Rhae menghela napas panjang melihat Kael duduk tidak sadarkan diri di sebelahnya. Tatapan matanya penuh dengan rasa kasihan. Pria itu nampak menyedihkan. Sejak kepergian pacarnya yang tidak lain adalah kakak Rhae sendiri, kehidupan Kael sangat berantakan. Seperti malam ini, ia kembali mendapat telepon dari sebuah bar kalau Kael mabuk berat.
“Aku juga sama sakitnya karena kepergian Mbak Nia. Tapi Mas Kael harusnya jangan begini. Mbak Nia pasti sedih lihat Mas Kael mabuk hampir setiap malam,” gumam Rhae.
Sadar jika malam semakin larut, Rhae pun segera mengantarkan Kael pulang ke apartemennya. Pria itu tidak punya keluarga di Jakarta karena mereka tinggal di Singapore. Itu sebabnya Rhae sering membantu Kael jika ada kesulitan setelah kakaknya meninggal. Melihat pria itu hancur karena kehilangan Nia, Rhae dan ibunya tidak tega. Itu sebabnya mereka masih mencoba untuk tetap menjalin komunikasi.
Sesampainya di apartemen, Rhae membawa Kael dibantu oleh salah satu satpam yang berjaga. Ini sudah menjadi kejadian yang kesekian kalinya sehingga satpam di apartemen Kael menjadi hafal. Bahkan mereka juga turut sedih dengan apa yang menimpa pria berusia 22 tahun itu.
Rhae menghela napas panjang begitu Kael berhasil dibaringkan di tempat tidur. Satpam hanya membantunya sampai depan saja. Meski usianya masih 19 tahun tapi tubuh Rhae cukup kuat membantu Kael masuk ke apartemen.
“Mas, semoga ini yang terakhir ya,” gumam Rhae.
Seperti biasa, Rhae membantu membuka sapatu yang Kael kenakan. Setelah memastikan pria itu tidur dengan nyaman, ia mengambil air untuk ditaruh di kamar, sebelum Rhae pergi dari tempat itu.
“Mas Kael, kenapa bangun?”
Rhae terkejut melihat pria itu sudah duduk di atas kasur. Kondisinya setengah sadar namun matanya menyiratkan bagaimana terlukanya dia karena kehilangan.
“Mas mau minum?”
Tanpa menjawab, Kael memeluk Rhae dengan sangat erat. Pria itu menangis dalam pelukan. Tangis yang membuat dadAa Rhae menjadi nyeri.
“Aku merindukanmu, Nia. Kenapa kamu tega ninggalin aku,” ucapnya sambil terisak.
“Aku bukan mbak Nia, Mas. Aku Rhaellia,” ucap Tsana. “Rhae menghela napas, membiarkan Kael meluapkan emosinya. “Sabar ya, Mas. Aku juga berat dan hidupku hampa kehilangan Mbak Nia. Tapi kalau aku terus terpuruk, kasihan sama ibu.”
Perlahan Kael mengurai pelukannya. Namun kedua tangannya masih memegang lengan Rhae dan menatap gadis itu dengan lekat.
“Sekarang tidur ya, Mas.” Rhae mengusap air mata Kael. “Ayo belajar mengikhlaskan Mbak Nia, demi ketenangan dia.”
Tanpa Rhae duga, Kael justru menciumnya. Ciuman yang bukan hanya singkat tapi dalam. Rhae berusaha berontak, namun justru Kael semakin dalam menciumnya. Ia pun bisa merasakan pria itu menangis saat melakukannya.
Tidak ingin terjadi hal yang lebih jauh, Rhae mendorong kuat tubuh Kael. Ketika berhasil lepas, jantungnya berdegup kencang dengan napas tersengal.
“Mas kamu kenapa?”
“Jangan tinggalin aku. Tolong, jangan pergi, aku mohon.”
Melihat bagaimana tatapan memohon Kael, seketika melumpuhkan kewarasan Rhae. Tubuhnya mematung di tempat, dengan air mata menetes. Dan ketika Kael melakukannya lagi, Rhae tidak berontok. Karena ia merasakan, ciuman Kael mengandung kesedihan yang sangat mendalam.
Rhae sudah tidak waras. Rasa kasihan membuatnya diam saat ciuman itu tidak berakhir begitu saja. Ketika Kael melucuti pakaiannya, Rhae lupa kalau ini adalah awal mula kehancuran hidupnya.
***
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Rhae begitu gadis itu selesai bercerita. Ibu mana yang tidak sakit hati putrinya berbuat hal yang tidak pernah ia ajarkan dari dalam kandungan sampai sebesar ini.
“Ibu tidak tahu harus gimana lagi, Rhae. Kamu benar-benar buat Ibu kecewa dan marah.”
“Bu, aku bod0h. Aku terjebak dalam rasa kasihan dan juga kehilangan. Tolong ampuni aku, Bu. Rasanya aku sudah giIla dihantui rasa bersalah kepada Mbak Nia. Tolong Ibu mengerti posisiku.”
“Mengerti?” Napas Sarika mulai tersengal menahan semua gejolak di dalam dadanya. “Apa yang tidak pernah Ibu mengerti dari kamu, Rhae?”
“Lalu aku harus gimana biar Ibu mau maafin aku?”
Sarika tersenyum miris. “Harusnya Ibu yang tanya, apa yang kurang dari Ibu merawat kamu dengan baik agar tidak terjadi kesalahan itu? Apa selama ini Ibu kurang baik membesarkan kamu dan juga kakak kamu?”
Rhae menggeleng. “Ibu adalah Ibu terbaik di dunia ini. Aku yang salah, aku yang berdosa.”
“Ibu terlalu lelah, Rhae. Biarkan Ibu istirahat.”
Sarika beranjak dari duduknya, meninggalkan Rhae yang masih menangis keras karena penyesalan. Wanita itu masuk ke kamar, lalu menutupnya dengan rapai.
“Maafin aku, ampuni aku. Tolong Bu, aku mohon,” ucap Rhae penuh sesal.