First Date

1848 Words
Aldefan’s POV Kupandangi bayanganku yang memantul dari balik kaca. Aku tak tahu Rayya akan menyukai penampilanku atau tidak. Tapi kemeja dan sweater warna abu-abu dipadu celana jeans mungkin mungkin bisa dikatakan perpaduan yang pas. Rambut spike-ku kuberi sedikit wax, tak lupa parfum yang biasa aku pakai. Malam ini aku akan berkencan dengan istriku. Derap langkah Rayya terdengar keluar dari kamar ganti. Dia tak pernah berganti baju di depanku. Aku pun demikian. Rasanya kami masih terpisah bongkahan es yang besar. Memang pernikahan ini bukanlah impian kami, tapi kami melakukannya dengan sadar. Aku rasa aku bisa bebas melakukan apapun kendati statusku berganti menjadi suami, tapi ternyata aku tak bisa membiarkannya melewati hari-harinya sendirian. Ya aku bisa saja pergi bersama Derrel atau menghabiskan malam di apartemennya, namun rupanya tidak semudah itu. Aku tak tahu apa ini, apakah aku sedang berusaha menjaga hatinya? Atau sebatas menghargai pernikahan ini? “Kalau kamu terus ngaca kayak gitu, acara kita bakal batal,” suara Raya membuyarkan lamunanku. Kulirik dia yang tengah bersedekap. Dia mengenakan t-shirt warna ungu muda berbalut kardigan ungu tua. Seperti biasa dia memadukannya dengan celana jeans dan sepatu kets. Gayanya selalu kasual, tapi aku menyukainya. Setidaknya aku tak lama menunggunya seperti apa yang sering dikeluhkan Denis, rekan sesama dosen muda di kampus tempatku mengajar. Dia pernah mengatakan setiap mengajak pacarnya kencan selalu butuh waktu lama untuk menunggunya selesai berdandan. Aku lihat Rayya tak pernah mengenakan make up apapun. Aku hanya melihat beberapa produk skin care di meja riasnya seperti pelembab dan sunblock. Tapi dia tetap kelihatan manis natural. Aku berjalan mendekat ke arahnya. Rayya mengulas senyum, “kalau penampilanmu seperti ini, mungkin mahasiswamu nggak akan ngenalin kamu kalau misal kalian berpapasan.” Ucapannya membuatku tersenyum simpul. Ya bukannya narsis, tapi bayak yang bilang aku memiliki baby face, nggak kalah menawan dari mahasiswa-mahasiswa di kampus. “kamu juga keren Ray. Kamu selalu tampak keren, serius. Kayaknya kamu ini butchy yang paling diinginkan para femme.” Rayya tersenyum sinis, “aku tidak sepopuler itu. Aku jarang banget ngumpul-ngumpul dengan lesbian lain. Bagiku Andriana udah cukup, jadi aku enggan berkenalan dengan mereka. Kalau sedang libur kerja, aku pilih makan bareng Andriana atau jalan-jalan ke toko buku, ke mall, kemana aja.” Kami berjalan beriringan menuruni tangga. Rayya begitu gesit saat berjalan. Tubuhnya ramping dan tinggi badannya sekitar 170 cm, cukup serasi bersanding denganku yang memiliki tinggi 180 cm. Sesaat sebelum mencapai pintu, dia melirik padaku, “kamu pasti sangat populer diantara teman-teman gaymu. Aku rasa kamu tipe yang suka hang out ke club atau ketemuan dengan komunitas gay.” Aku hanya menyeringai, “dulu mungkin aku suka ke club. Tapi sejak aku bekerja, aku perlu menjaga sikapku kan? Apa jadinya kalau pihak kampus dan mahasiswaku tahu kalau aku ini gay. Kau tahu, insting gaydarku itu tajam. aku bisa tahu mahasiswa mana aja yang terindikasi gay hanya dengan melihat cara mereka menatap. Diantara mereka mungkin ada yang suka clubbing ke night club khusus gay. Bayangkan kalau aku ketemu mereka di sana, apa yang akan mereka pikirkan tentang aku?” Rayya mengangguk, “karena itu kamu lebih suka masuk forum dunia maya.” Tangannya menyentuh gagang pintu, namun secepat kilat aku berusaha mencapai gagang pintu itu lebih dulu, tapi yang ada jari-jari raya sudah lebih dulu menggenggam, dan jari-jariku menggenggam jai-jarinya. Kami terdiam beberapa detik menyaksikan genggaman kami. Mata kami saling menatap. Untuk sesaat waktu serasa berhenti. Begitu sulit mendeskripsikan wajah Rayya. Terkadang dia tampak cool sekali. Ibarat buah apel, ada rasa manisnya, ada juga asamnya. Rasa manis ini diibaratkan dengan wajah manisnya sebagai perempuan, dan rasa asam ini seperti wajah cakep ala laki-laki bertampang cute. Bahkan kurasa dia lebih cute dari Derrel. Ini pertama kalinya aku tertarik menatap lekat-lekat pada wajah perempuan. Rayya sepertinya salah tingkah. Ada rona merah bersemu di pipinya. Masing-masing dari kami seolah tak ada yang mau berinisiatif menarik tangan kami lebih dulu. Kugenggam saja jemarinya dan kutuntun membuka pintu. Dia terkesiap. Jari-jarinya sedikit bergerak, namun aku tetap menggenggamnya. “Nggak usah dilepas. Seumur-umur aku belum pernah bergandengan kayak gini ama perempuan Ray. Rasanya cukup nyaman.” Kuulas senyum kecil. Tangan kiriku menggandeng Rayya, sedang tangan tanganku mengunci pintu dari luar. Rayya tampak sedikit kikuk. Kutuntun dia menuju mobil, kubuka pintunya dan kupersilakan dia masuk. Rayya sedari tadi diam. Tapi aku rasa dia nyaman kuperlakukan begini. Kami sudah menikah dan tinggal seatap, rasanya kami perlu mengakrabkan diri. “Kamu sedang berusaha jadi suami yang manis ya?” Dia menolehku yang baru saja menghempaskan badanku di depan kemudi. Aku melempar senyum, “anggap saja ini cara agar kita akrab dan nggak canggung.” “Waktu awal ketemu, kamu nggak semanis ini. Malah cenderung cool dan cuek. Jangan bilang kalau kamu mulai tertarik padaku,” tatapan matanya penuh selidik dan menuduh. Aku tertawa kecil, “aku memang tertarik Ray. Bahkan status lesbian kamu juga bikin aku penasaran. Kamu aku sebut sebagai lesbian lurus karena belum pernah berhubungan seksual dengan pacarmu. Atau mungkin lebih tepat disebut SSA (Same s*x Attraction) ya dibanding lesbian?” Rayya menyilakan rambut depannya yang tidak seberapa panjangnya sambil mengulum senyum, “SSA atau lesbian, di mata masyarakat penyuka sesama perempuan selalu disebut lesbian. Aku nggak peduli akan label-label itu. Aku udah nggak mau melabeli diri aku sebagai lesbian. Aku ingin melabeli diri aku sebagai perempuan, perempuan yang sesungguhnya, yang tertarik dengan laki-laki.” Ada keteguhan tekad di setiap kata yang meluncur dari bibirnya. Bibir yang tipis dan ranum itu, yang kemarin aku kecup. Oh ya ampun, what’s happened with me? Is it a sign that I start feeling attracted to her? “Al, kenapa kamu diam?” Aku sedikit salah tingkah. Kuusap belakang kepalaku dengan senyum yang dipaksakan. “Nggak apa-apa. Aku kadang iri ama kamu, karena kamu udah mantap untuk berubah. Untuk ninggalin semua perasaanmu pada Andriana. Sedang aku, aku belum sanggup.” Rayya menggenggam tanganku. Entahlah, genggaman ini serasa menenangkanku. “Jangan terlalu memaksakan diri Al. Kalau kamu memang ingin berubah, pelan-pelan aja menjalaninya. Yang penting mantepin hati kamu dulu. Kamu tahu nggak, ada hal lain yang makin nguatin aku untuk berubah?” Aku menggelengkan kepala. “Saat aku sungkem ke ayahmu, aku nggak bisa nahan air mataku karena aku inget almarhum bapak. Aku akan merasa sangat bersalah seandainya bapak belum tenang di sana karena dosa-dosa yang aku lakukan. Kamu pasti tahu kan, bapak ibu kita akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat dalam mendidik anak-anaknya? Aku nggak mau nyusahin mereka di akhirat.” Jleb Deg Hatiku mencelos. Sebongkah rasa bersalah menghimpit dadaku. Serasa sesak, sakit dan untuk kesekian kali ingatan akan dosa-dosa yang pernah aku lakukan menyergap pertahananku. Aku hanya tertegun merenungi semua. “Al, kita malah jadi ngobrol di mobil. Yuk berangkat sekarang, nanti kita ketinggalan filmnya.” Rayya mengusap lenganku. Aku tersenyum padanya. Kehadiran Rayya seakan menjadi pengingatku untuk menjadi orang yang lebih baik. “Iya Ray, kita berangkat sekarang.” Kulajukan mobilku. Malam ini kami rencana akan menonton di bioskop di salah satu mall terbesar di kota ini. Kami sudah sampai di mall. Setelah memarkirkan mobil, kami masuk menuju bioskop yang ada di lantai tiga. Kulihat beberapa pasangan saling bergandengan tangan menuju pintu masuk. Aku beruntung karena aku tak perlu antri panjang untuk membeli tiket. Entah karena iri dengan kemesraan pasangan lain atau mungkin terbawa perasaan karena alunan musik syahdu yang menggema, kuraih tangan Rayya dan menggandengnya erat. Rayya agak terkejut, tapi dia tak menolak. Mungkin genggamanku pada tangannya sewaktu di rumah tadi telah membuatnya terbiasa. Sungguh berbeda rasanya saat berkencan dengan Rayya dan Derrel. Aku tak perlu canggung menggandengnya atau bahkan merangkulnya. Tidak akan ada yang menatap aneh. Beda saat aku pergi bersama Derrel, kami bersikap hati-hati agar tak menarik perhatian orang. Homophobic is everywhere. Kami duduk di barisan belakang. Malam ini kami memilih menonton IT. Sebenarnya aku tak begitu suka film bergenre horor, tapi Rayya menyukainya. Melihat poster film ini yang bergambar sekumpulan anak-anak, aku pikir film ini boleh ditonton anak-anak. Ternyata tidak diperuntukan untuk anak-anak karena R-rated, banyak adegan berdarah-darah di film ini. Kuperhatikan siluet wajah Rayya dalam kegelapan, namun masih ada secercah cahaya yang menyoroti. Dia serius sekali. Sesekali tertawa saat ada adegan lucu, kadang serius dan saat ada jumpscare scene, dia berteriak sambil menggenggamku kencang. Aku kaget bukan karena backsoundnya, tapi karena teriakannya. Sudah bisa dipastikan, teriakan penonton perempuan mendominasi ruangan ini. Aku akui, selera Rayya dalam memilih film cukup bagus. Film horor ini nuansa dramanya kental sekali. Aku suka dengan cerita persahabatan diantara para pemeran anak-anaknya. Chemistry diantara mereka sangat kuat. Akting si badut setan Pennywise juga cukup memukau dengan make up wajah yang cukup seram, meski efek CGI-nya kadang membuatku terganggu. Karena basicnya aku memang kurang suka film horor, maka aku tidak memanfaatkan waktuku untuk full menonton film ini. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Jika aku menonton bersama Derrel, pasti ada saja peluang yang kugunakan untuk menciumnya. Tapi menonton bersama Rayya, tak memberiku banyak improvisasi, kecuali sesekali menggenggam tangannya saat dia berteriak. Tentu saja aku belum menjadi straight. Karena itu aku tak mengerti bagaimana cara menikmati kencan ini dengannya. Tak terasa film ini habis juga. Durasinya cukup lama, sepertinya lebih dari dua jam. Kulihat Rayya tersenyum cerah saat lampu kembali dinyalakan. “Kalau ada sekuel keduanya, aku akan nonton lagi. Di sekuel kedua nanti, anak-anak the losers club akan tumbuh dewasa,” ucapnya dengan mata berbinar. Aku hanya meresponnya dengan seulas senyum. Kami melangkah keluar beriringan. Tak lupa, kugenggam tangannya. Dia terlihat lebih santai dan berkurang kikuknya. Setelah menonton film, kami berencana untuk makan di food court mall ini. Namun tiba-tiba sesuatu menghentikan langkahku. Kulihat Derrel berjalan dengan seorang pria, pria yang kukenal. Derrel jalan bareng Martin, mantan kekasihnya. Mata kami saling bertemu. Ekspresi wajahnya tak kalah terkejut sepertiku. Entahlah, sejenak kurasakan ada sesuatu yang sangat menyakitkan menghujam sampai ke ulu hati. Aku merasa dikhianati. Aku terbakar cemburu. Ekspresi wajah Derrel datar. Matanya menelisik hingga ke arah genggaman tanganku dan Raya. Ada setitik rasa tak suka terbaca dari wajahnya. Bukankah kami impas? Aku jalan bareng Rayya dan dia jalan bareng Martin. Namun tetap saja, aku merasa dialah yang mengkhianatiku. Dia jalan dengan seseorang yang pernah begitu ia cintai di masa lalunya. Dia gay, Martin juga gay, jelas setelah jalan-jalan di mall ini mungkin mereka akan menghabiskan malam bersama di apartemen Derrel atau Martin. Sedang aku? Ya aku memang menikahi gadis yang saat ini ada di sebelahku. Tapi aku gay, aku tak akan melakukan sesuatu yang lebih dengannya. Aku tak bisa terima. “Hai Alde, selamat ya atas pernikahanmu,” Martin menyodorkan tangannya untuk menjabatku. Senyumnya tampak picik dan seakan mengolokku, lihatlah aku berhasil merebut Derrel darimu... Kubalas jabatan tangannya dengan wajah datar, “terimakasih”. Sulit rasanya untuk membalas senyumnya. Derrel tak bicara sepatah katapun. Dia menghindari tatapanku dan sibuk melihat-lihat ke arah lain. Aku tak bisa berlama-lama berdiri di hadapan mereka. Lihat saja tampang para pengkhianat itu, mereka seperti sedang menghinaku. Aku pun berpamitan dengan alasan mau pulang. Rayya sempat menanyakan siapa dua orang laki-laki yang tadi berpapasan dengan kami. Saat aku menyebut nama Derrel, dia sepertinya cukup memahami kenapa suasana hatiku menjadi begitu buruk sekarang. Bahkan aku kehilangan selera makan. Untunglah Rayya begitu pengertian. Dia menyetujui usulanku untuk segera kembali ke rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD