Wedding

1721 Words
Keyra’s POV Rasanya masih seperti mimpi. Setelah beberapa jam yang lalu acara ijab qobul berjalan lancar, sekarang ini aku bersanding di sebelah Giandra Daniswara sebagai istrinya. Bagaimana perasaanku? Ada rasa lega meski aku tak tahu pasti, entah kesedihan atau kebahagiaan yang mendominasi. Tentu aku menikah dengannya karena tertekan, karena suatu kondisi yeng memaksaku untuk mengambil keputusan ini. Tapi di satu sisi aku begitu terharu akan penerimaan pak Angkasa atas diriku, tak peduli betapa absurdnya asal-usulku. Sejak SMA aku selalu punya ketakutan memandang sebuah pernikahan. Aku takut calon suami maupun calon mertua tak bisa menerimaku dengan segala latar belakang dan cerita masa laluku yang pahit. Aku tak yakin ada satu keluarga yang sanggup menahan malu kala di cara ijab qobul, kata “binti” disematkan di belakangku bukan kata “bin”, karena anak hasil perzinahan nasabnya ada pada ibunya. Dan mungkin tak ada satupun keluarga yang mau menerima calon menantu dengan wali hakim karena calon menantunya ini adalah anak di luar pernikahan. Karena itu bisa diterima di keluarga ini, yang dikenal sebagai keluarga terpandang menerbitkan rasa syukur dari dasar hatiku, bukan karena status sosial mereka tapi karena untuk pertama kali aku merasa memiliki sebuah keluarga, meski ibu mertua dan adik iparku belum mau menerimaku seutuhnya. Tapi aku sudah merasa cukup karena mendapat sambutan hangat dari ayah mertua dan kakak-kakak Giandra. Mungkin seharusnya aku marah dan menangis karena aku harus menikah dengan seseorang yang telah mencabik harga diriku dan melukaiku begitu hebat. Tapi entah kenapa hati kecilku mengatakan Giandra belum melakukan sesuatu yang jauh hingga membuat kehormatanku terampas. Aku percaya aku masih suci. Ya mungkin seluruh tubuhku sudah disentuh olehnya, tapi aku yakin dia belum mengambil keperawananku. Meski perbuatannya sudah bisa dikatakan keterlaluan dan menginjak-nginjak harga diriku tapi aku belajar untuk memaafkannya. Aku berusaha menyingkirkan segala sakit hati meski aku tahu, luka yang sudah terlanjur menganga terkadang sulit untuk mengering dan ketika sudah mengering, bekas itu akan tetap ada. Aku berterimakasih untuknya karena ia tak mengambil milikku yang paling berharga kendati saat itu dia memiliki kesempatan untuk melakukannya. Aku berterimakasih padanya untuk membatalkan rencana penggusuran panti dan aku berterimakasih karena dia menyimpan rapat-rapat video itu dan tidak menyebarkannya. Aku sadar, jika dipikirkan lebih jauh, jelas kebenaran seakan berpihak padaku. Namun sekarang bukan saatnya untuk saling menyalahkan dan merasa paling benar. Menikah dengannya adalah suratan takdir dan aku tengah berusaha untuk berjiwa besar menerima status baruku sebagai istri dari Giandra Daniswara. Kutepis semua rasa perih. Kulupakan moment terburukku di saat aku jatuh dan menangis sesenggukan karena perbuatannya. Aku tak mau mengingat lagi masa dimana aku hampir depresi dan sempat berpikir bahwa mati lebih baik daripada hidup seperti ini. Aku enyahkan segala bayang-bayang di kala aku berpikir bahwa aku begitu membenci Giandra hingga aku berangan seandainya membunuh tidak berdosa, maka orang pertama yang akan aku bunuh adalah Giandra. Kuhempaskan semua sakit hatiku dan aku akan belajar membuka hatiku untuknya. Tamu yang diundang di resepsi begitu banyak. Tentu saja, rekan bisnis, kerabat, bahkan rekan selebritis adik Giandra yang akrab dengan keluarganya juga diundang. Semua guru dan karyawan SMA Flamboyan turut diundang, penghuni panti asuhan Matahari, baik pengurus maupun sebagian anak-anak juga datang menyaksikan pernikahanku. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan saat Bagas menyalami Giandra. Dia menghindari kontak mata denganku. Aku pun cukup tahu diri untuk tak menatapnya. Dulu aku pernah berpikir bahwa dia mungkin menjadi satu-satunya laki-laki yang aku harapkan akan melamarku suatu saat nanti. Namun kini, aku telah berusaha mematikan perasaanku padanya. Aku akan belajar untuk mencintai Giandra meski aku tak mencintainya. Ada tiga penyanyi yang cukup tenar, yang diundang keluarga Giandra untuk menyanyikan lagu romantis di sepanjang acara pernikahan kami. Saat sang penyanyi menyanyikan lagu “I wanna grow old with you”, sang penyanyi memintaku dan Giandra untuk berdansa di tengah panggung. Rasanya begitu canggung. Aku tahu pada malam itu, Giandra telah melakukan lebih dari sekedar pelukan, namun saat berdansa dengannya dan dia memeluk pinggangku, jantung ini berdebar tak menentu. Aku begitu deg-degan menatapnya sedekat ini. Bisa kurasakan jantung Giandra pun berdetak kencang. Apa untuk ukuran seorang pria yang mungkin sudah berpengalaman berkencan dengan banyak perempuan, berdansa dengan perempuan seperti saat ini akan membuatnya gugup? Atau mungkin karena hari ini adalah hari bersejarah dalam perjalanan hidup kami, jadi dia terlihat bergitu nervous. Kami berdansa dengan tatapan yang terkadang kami alihkan ke tempat lain untuk menghindari kontak mata. Rasanya masing-masing dari kami enggan saling menatap. Rasa lega menguasai hati kala sang penyanyi menyelesaikan lagunya. Aku bersyukur karena acara resepsi berakhir sore hari, tidak sampai malam. Rasanya ingin cepat-cepat mengguyur badan dengan air hangat dan merebahkan badan. Bukan hanya kaki saja yang terasa pegal, tapi seluruh badan serasa remuk redam, benar-benar melelahkan. Aku dan Giandra tidak langsung pulang ke apartemen Giandra. Kami menginap semalam dulu di rumah orangtua Giandra. Rasanya badan terasa segar kembali setelah mandi dan berganti gaun tidur dengan model rok sepanjang lutut. Giandra bahkan pernah melihatku lebih polos dari ini, jadi aku pun tak begitu canggung untuk tampil tanpa hijab di depannya. Aku lihat dia juga tengah berganti piyama sehabis mandi. Kami duduk bersebelahan di ujung ranjang dengan suasana yang begitu beku, seperti es. Tak ada yang berinisiatif memulai pembicaraan. Kami saling menatap sejenak lalu mengalihkan pandangan kami masing-masing. Aku menghela napas dan kuberanikan untuk mengawali perbincangan. Aku hampir salah sangka, menduga Giandra akan mengawali semua dengan sikap agresifnya karena aku melihatnya begitu agresif dalam rekaman adegan panas kami waktu itu. Namun ternyata semua yang ada di anganku meleset. Giandra begitu dingin dan cuek. “Giandra aku ingin bertanya sesuatu.” Giandra menolehku sejenak, “silakan.” “Kenapa kamu menikahiku?” Giandra manatapku tajam, “aku udah pernah bilang kan kalau akan bertanggungjawab menikahimu setelah apa yang terjadi antara kita.” Aku semakin yakin Giandra telah membohongiku. “Semata ingin bertanggungjawab? Bisa kamu ulangi apa yang kamu lakukan malam itu? Aku ingin tahu lebih jelas. Waktu itu kamu melakukannya di saat aku tidak sadar kan?” Aku lihat raut wajahnya tampak begitu terkejut. Mungkin sekarang dia berpikir aku cewek m***m dan tak tahan ingin disentuh olehnya. Aku tak peduli apapun pandangannya terhadapku. Aku hanya ingin tahu kenapa dia bisa begitu dingin dan arogan. “Kamu memancingku? Untuk apa aku melakukannya lagi? Aku tak akan menyentuh perempuan kedua kali.” Nada bicaranya terdengar begitu datar. Ada sesuatu yang ganjil. Harusnya malam ini dia memanfaatkan kesempatan untuk menyentuhku karena aku sudah resmi menjadi istrinya. Dia tak perlu menjebakku dengan wine dan obat perangsang. “Jadi karena aku sudah disentuh terus kamu nggak mau nyentuh aku lagi. Kalau gitu untuk apa kamu menikahiku?” Intonasi suaraku meninggi. Dia tak membalas apapun. “Dengar Giandra. Aku tahu malam itu kamu tidak melakukan sesuatu yang lebih padaku. Kamu hanya ingin merekam adegan kita, sebagai senjata untuk melumpuhkanku. Kamu menikahiku pun semata untuk memenuhi ambisimu. Kamu ingin memperbaiki imagemu, ingin mengembalikan citra baikmu dan mungkin kamu punya serangkaian rencana jahat lagi untuk menghancurkanku.” Giandra menyeringai., “kamu pintar menarik analisa Key. Aku memang ingin membalaskan dendamku padamu Key. Itu kenapa aku menikahimu. Dan ternyata tindakanku tepat kan? Pernikahan kita menjadi viral, namaku kembali baik, citra perusahaan juga kembali positif. Jangan pernah berharap aku akan menyentuhmu.” Aku begitu terperanjat mendengar perkataannya. Giandra memang benar-benar tak punya perasaan dan kejam. Aku beranjak, “aku berharap pernikahan ini membawa kebaikan. Bahkan aku tengah belajar untuk memaafkanmu. Aku lupakan sakit hatiku. Tapi ternyata kamu tipe yang nggak bisa kooperatif. Ini pertama kalinya aku bertemu orang searogan dan sekejam dirimu.” Giandra tertawa. Sungguh aku tak suka caranya tertawa. Begitu licik. Dia ikut beranjak dan kini kami saling berhadapan. Giandra mencengkeram lenganku begitu kuat hingga membuatku meringis kesakitan. ”Dengar Key, aku nggak akan pernah membiarkanmu menang dariku. Dan akan kupastikan, aku nggak akan pernah mencintaimu seperti seorang suami yang mencintai istrinya. Jangan terlalu berharap pada pernikahan ini.” Mata kami beradu. Aku bisa melihat dendam dan amarah begitu nyata ada di kedua matanya yang tajam. “Segitu dendamkah kamu sampai merencanakan semua ini? Bukankah kita udah sama-sama impas? Aku udah minta maaf di publik dan meralat semua ucapanku. Perusahaanmu juga sudah mulai stabil kan? Nama baikmu juga sudah pulih. Kenapa kamu masih ingin menyiksaku?” Giandra melepaskan cengkeramannya namun tatapan awasnya masih tertuju padaku. “Kata siapa perusahaan udah mulai stabil? Aku udah kehilangan trilyunan rupiah Key. Banyak proyek yang lepas. Para pemegang saham baru sebagian yang bergabung kembali. Butuh waktu untuk mengembalikan semua seperti semula. Menyiksamu juga mungkin nggak akan cukup menggantikan semua. Dan satu hal yang perlu kamu tahu.” Tatapan Giandra begitu menghujam seakan menusuk jantungku. “Aku benci perempuan berhijab. Terlebih lagi jika dia begitu keras kepala, menyusahkan dan berani menentangku apalagi mempermalukanku.” Aku tersenyum sinis. “Aku pikir kamu nggak hanya membenci perempuan berhijab, tapi semua perempuan.” Giandra mengernyitkan dahi, “maksud kamu?” “Kamu mungkin emang nggak punya ketertarikan terhadap lawan jenis.” Giandra menyeringai, “kamu pikir aku gay? Apa rekaman kemarin nggak cukup sebagai bukti?” “Kemarin kamu melakukannya karena untuk kepentingan perekaman.” Tiba-tiba Giandra meleapas bajunya dan aku jadi deg-degan bukan main. Kecemasan semakin menguasaiku. Giandra membuka baju tidurku dengan paksa dan menghempaskan tubuhku di atas ranjang. Giandra menindihku dan mencium bibirku tanpa aku siap untuk mengantisipasi. Dia menciumku begitu rakus. Sejenak aku berpikir untuk mendorong tubuhnya, namun aku tahu Giandra hanya ingin melihatku terluka. Dia hanya ingin menyiksaku. Lebih baik aku membalas ciumannya agar ia tahu, perlakuannya sama sekali tak berpengaruh apapun dan dia tak bisa menjatuhkanku semudah ini. Aku balas ciuman Giandra dengan lebih liar, mengikuti insting. Meski aku belum pernah berpengalaman berciuman dengan siapapun, tapi aku bisa mengikuti ritme ciuman Giandra. Giandra meneruskan kecupannya di leherku, membuatku sedikit mengerang kala kurasakan ia menciumku lebih dalam, rasanya agak sakit. Aku tahu Giandra melakukan semua ini tanpa ada sedikitpun rasa. Satu tujuannya adalah membalaskan dendamnya. Kami melepaskan ciuman kami dan saling menatap dengan gempuran napas tak beraturan. “Kenapa kamu nggak menolak? Kenapa kamu membalasnya?” Tanyanya dan posisi badannya masih menindihku. “Karena aku sudah jadi istrimu.” Kutatap dia dengan tatapan tertajamku. Giandra menjauhkan badannya. Dia meraih atasan piyamanya yang sempat ia jatuhkan di lantai lalu mengenakannya kembali. “Aku tidur di kamar sebelah.” Ujarnya lalu dengan sewotnya berjalan menuju pintu kamar dan meninggalkanku sendiri. Sejenak aku terpekur. Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi. Mungkin ke depan, Giandra akan terus membuat hari-hariku seperti di neraka. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD